Ibu, ibu, ibu lalu ayahmu.

34 31 10
                                    

Aku ingat benar bagaimana ibuku menangis saat ia kehilangan ibunya tahun kemarin, matanya sembab bak kehilangan arah, aku takut aku merasakan hal yang sama, aku takut jauh darinya.

Ibuku sudah mulai tua dan tak lagi muda, sedangkan aku jauh darinya, aku tinggal bersama ayah kandungku, Jika ayah tiriku bekerja pasti ibuku bertinggal diri dalam rumah bersama kedua adekku yang masih kecil, tidak ada yang di jadikan tempat berbincang dan pengaduan dalam lelahnya.

Pernah tahun kemarin saat aku kecelakaan disini ia datang jauh jauh dari rumahnya, matanya basah akan tangis saat melihatku, ku ucapkan lagi dia cantik dengan semua kelebihan dan kekurangannya, dia cantikk dari miliyaran wanita di dunia ini.

Banyak makanan enak yang sudah pernah aku coba namun jika dibandingkan dengan masakan ibuku semua makanan itu akan kalah sedapnya dengan masakan wanita hebatku, walaupun lauk yang apa adanya.

Ku lihat rautan wajahnya yang menua lewat sosial media ku menuturkan kata dalam suatu aduan padanya, ku sebut "mamak" panggilan hangatku padanya, yang mana saat ada rezeki selalu tak segan memberi padaku, hanya dirinya saat aku salah ia membenarkan bukan membiarkan, lalu saat aku mencoba dia antusias luar biasa.

Semua baju yang ia pakai cocok, ingin baju berwarna putih, hijau bahkan warna apapun ia selalu cantik di mataku, ia mengungkapkan juga bahwa aku selalu cantik bagaimanapun bentuk badanku, bentuk wajahku, bentuk fashionku.

Lalu ku peluk dirinya, tidur bersamanya setiap malam adalah aktivitas favorit ku dulu sebelum kini aku jauh darinya dan memilih tinggal bersama ayah, tubuh ibu terasa wangi walau dia belum mandi sekalipun.

Aku sering kali menceritakan kegiatanku padanya, orang orang yang menyakitiku, atau apapun itu, aku suka gaya bicaranya saat menanggapi aduan aduan kecilku, aku maklum saja di matanya aku adalah anak kecil yang sedang merengek didengarkan ceritanya, cerita yang menurutnya hanya beberapa lembar kertas hidup yang baru saja dimulai.

Jujur saja aku merindukannya dari kejauhan berharap lagi aku bisa memeluknya hangat setiap pagi hari dengan memberikan ciuman ku yang mendarat pada pipinya yang tak lagi mulus.

Ku lihat keriputan mulai mendemonstrasikan cara bagaimana aku menangis setiap malam perihal itu, atau gigi yang tak lagi lengkap dengan seiring bertambah usianya.

Rapuh, ya itu yang aku rasakan ketika aku tidak tahu lagi ku utarakan rindu pada seorang ibu, walau lewat telefon genggam yang berulang kali ku isi pulsa untuk menelponnya, itu tak menghilangkan rasa rindu, itu menambah rindu.

Lalu mulai ku perdebatkan kembali otak dan fikiranku bersamaan dengan hati, apakah aku bisa membawanya ke kedalaman kebahagiaan bak dalamnya Palung Mariana, atau kubawa ia bahagia bak seluas benua Asia yang ku tempatkan hari ini, atau bisa jadi ia ku muliakan sebagaimana aku muliakan diriku sendiri.

Ia tak berharap akan keuanganku ataupun kepintaran otakku, ia berharap aku menjadi manusia yang memanusiakan, makhluk yang menghargai makhluk lain, lalu aku di ajarkan berbicara santun kepada manusia lain.

Ia mengajarkanku cara berbicara dan bertapak kuat layaknya kuda, tapi katanya aku tetap manusia cantik paling cantik daripada gadis lain yang pintar bergaya.

Ku ulangi lagi aku ingin membahagiakannya, untuk sekali saja membawanya tawaf mengelilingi Ka'bah, untuk sekali saja membawanya mencium Hajar Aswad di dalam hidupnya, untuk sekali saja membuat ia tersenyum karena sikapku yang luar biasa terpuji.

Rasanya aku ingin membawanya pergi dari dunia dan bersantai di dalam surga yang sudah Allah ciptakan dengan segala kehendak-Nya, di sana lalu ku pinta pada Allah segala hal apapun yang ibuku mau, lalu kami berkumpul satu keluarga layaknya cemara.

Mempunyai empat orang tua bukan hal yang aku benci, aku hanya membenci kemana aku tinggal, ibu atau ayah?.

Kemana aku memijak, sungguh tanpa ibu hidup rasanya monoton tak terjawab dan terus berulang sedangkan tanpa ayah kaki ku lemah tak siap melangkah. Bagaikan soal tanpa jawaban dan kaki yang berdarah untuk menjawab walau bibir bisa berbicara.

Aku sudah remaja dan aku sudah bisa berfikir dengan otak lalu sebaik baiknya. Aku sudah bisa merasakan takut kehilanganmu, kamu sosok ibu. Aku takut kehilangan usapan lembut tangan keriput milik ibu, aku takut tak dapat lagi mendengar suara nya saat menyuruhku makan takut maag menyerang dan aku takut tak dapat lagi mendoakan nya dengan semangat tanpa tangis, aku ingin bahagia dahulu bersamaan dengan bertambah umurnya.

Mana suka aku dengan ulang tahun keempat orang tuaku, mana suka aku merayakannya berulang ulang disetiap tahun, aku lebih ingin membaca novel daripada ini. Menurutku keempat orang tuaku tak perlu mendapat perayaan ulang tahun karena hal itu hanya membuatku sedih bukan main karena berkurangnya umur mereka dan sialnya orang di luar sana mengucapkan.

Aku bercermin menatap wajahku yang mirip sekali dengan wajah lembut milik ibuku, namun sikapku mirip ayah, pendiam dan sering sekali marah dengan diamnya.

Aku menyayangi ibuku dan juga ayahku, namun ibu yang tahu betul bagaimana aku, bersama ibu aku dipeluk dalam kasih sayang yang rasanya tiada tara sebagimana lagu "kasih ibu kepada Beta tak terhingga sepanjang masa".

Seorang anak bisa gila tanpa dampingan ibu, itu menurutku. Ayahku pendiam jadi aku tidak tahu sikap aslinya, sedangkan Ibuku sangat cerewet saat memarahiku namun ia juga selembut melebihi sutra saat sudah menyayangiku.

Bagaimanapun aku tidak akan lahir tanpa adanya mereka yang bersatu namun mereka berpisah kembali dan mempunyai jodoh terbaik masing masing, aku bersyukur di lahirkan.

Semoga senyum ibu awet ya, hingga aku mampu menjadi seorang ibu dan nenek, semoga senyum ayah juga hingga penggantimu bertambah menua. Hingga aku menikah yang tanggung jawab seutuhnya adalah suamiku ya.

Semoga panjang umurmu sampai saat dimana kalian tak lagi berdaya dan aku merawat dengan ikhlas bak bagaimana kalian merawatku saat bayi, membersihkan kotoranku, menemaniku berjalan, menggantikan ku pakaian atau bahkan tak lagi merawat diri kalian sendiri hanya untuk merawat gadis nakal yang sering kali menangis setiap malam seperti aku.

Izinkan aku menangis bersamaan tersenyum karena sudah merawat kalian berempat kelak, terlebih lagi ibu kandungku. Wajah kita sama, semoga kelak kita sama sama berada di surga yang dimana engkau tak lagi merasakan siksa dunia yang luar biasa menyakiti mental kita ya Mak.

Mak, jika Herlin sudah dewasa dan tumbuh begitu baik, gadis ini akan membuatmu seperti terbang bersamaan awan awan yang rasanya manis seperti kapas, dibuat lebur dengan lautan yang rasanya hangat dan manis seperti banyaknya madu, aku tak akan membuatmu kembali lelah dengan banyak hal termasuk tentangku, aku menyayangimu.

Herlin dari Galaksi PuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang