Third Person's POV
Seperti yang Niwa lakukan dengan sang ayah sebelumnya, Niwa dan si kembar juga melakukan penyamaran, walaupun awalnya mereka enggan melakukan hal tersebut karena merasa tidak ada yang perlu di khawatirkan. namun, setelah mendengar alasan dan penuturan ayahnya.Pada akhirnya si kembar mau melakukannya.
Setibanya mereka bertiga di tempat yang sama dengan pada saat Niwa dan Zhenova berteleportasi, ketiganya pun dengan girang melangkah keluar dari dalam sebuah gubug kecil di pinggiran kota.
"Hari ini kakak berdua mau mengajak Niwa kemana?"tanya Niwa terlihat begitu excited.
Si kembar saling menatap kemudian dengan pose serius seperti tengah berpikir keras. Di tempat lain tak jauh dari posisi mereka berdiri, tampak bayangan seseorang yang memperhatikan mereka diam-diam.
Niwa yang tiba-tiba merasa aneh, memutuskan untuk menoleh ke belakang. Namun, seperti yang diperkirakan bahwa tidak ada apapun dan seorangpun di sana.
Ravan yang sedari tadi sibuk berpikir tak sengaja melihat Niwa yang terlihat sedikit gusar.
"Ada apa Niwa?" tanyanya kini ikut memercingkan matanya ke arah pandangan Niwa tertuju.
"Hmm?? Tidak ada apa-apa kok, cuman perasaan Niwa saja, ayo pergi."Jawab gadis manis itu seraya menyeret kedua kakak kembarnya meninggalkan lokasi.
Karena tak mau merusak suasana, Ravin yang mendapatkan kode dari Ravan kemudian memberikan sinyal pada kelima pengawal yang tengah menyamar disekeliling mereka.Untuk mencari tau apakah sebenarnya yang dilihat oleh Niwa saat itu.
Sementara itu si kembar dengan wajah santai dan senyum lebar menggandeng adik perempuan tercinta mereka kesuatu tempat.
Meski si kembar sudah menyamarkan penampilan mereka dengan mengubah warna mata dan rambut mereka menjadi hitam pekat.
Hal tersebut sama sekali tidak mengubah kenyataan bahwa mereka menjadi pusat perhatian dimanapun mereka melangkah.
Seolah magnet berjalan, tak satupun dari para pejalan kaki maupun pemilik kedai yang ada di sepanjang jalan tersebut menahan padangan mereka untuk tidak memperhatikan sikembar.
Niwa sudah membatin dalam hatinya, kedua kakak lelakinya memang tampan tak tertandingi dan seandainya saja Count Rekhan ada di sini bersama mereka ...
Pemikiran tersebut kemudian terputus secara tiba-tiba ketika Niwa menyadari betapa tidak masuk akalnya. Bagaimana bisa dirinya memiliki pemikiran seperti itu.
Niwa menepis pikiran tersebut yang sudah bercabang kemana-mana dengan memfokuskan diri pada situasinya saat ini.
Hingga tanpa disengaja, Niwa melihat seseorang yang sangat familiar tengah berjalan ke suatu arah. Jarak mereka cukup jauh mungkin sekitar 30 meter namun Niwa mampu melihatnya dengan sangat amat jelas.
Niwa ingat ciri-ciri orang tersebut.
Dia adalah Gayle, Putra Duke Ruclas, pamannya yang iya yakini adalah orang yang akan berbuat buruk padanya dimasa yang akan datang.
Tapi Niwa tidak mau melakukan hal-hal yang ia anggap tidak perlu.Saat ini yang terpenting adalah menghabiskan waktu dengan si kembar. Dia tidak ingin apapun merusak waktu kebersamaan mereka, bahkan meskipun hal tersebut mungkin adalah salah satu petunjuk yang bisa mereka dapatkan sebagai salah satu rumus mimpi Niwa.
Tapi, rupanya ekspresi Niwa terbaca dengan sangat jelas oleh si kembar yang amat sangat peka dan sensitive jika sudah menyangkut adik perempuannya itu.
Kembali Ravan memberikan sinyal untuk bersiap. Namun, sebelum itu Ravin bertugas untuk menanyakan dan mengkonfirmasi hal tersebut kepada Niwa.
"Apa kamu melihat seseorang yang kamu kenal?" tanya Ravin tiba-tiba membuyarkan lamunan Niwa.
"Ya?" tanya gadis itu keheranan.
Meskipun berusaha untuk tidak memperlihatkannya Ravin tau bahwa ada hal yang mengganggu perasaan adik mereka saat ini.
"Apa kamu tidak ingin mengatakannya pada kakak?" rayu Ravin lagi memelas.
Niwa yang masih tidak memahami maksud kakaknya itu kini menoleh ke arah Ravan, seolah meminta bantuannya untuk keluar dari situasi yang membingungkan ini.
"Kakak sedih loh kalau kamu masih juga menyembunyikan perasaan kamu sendiri?"Kali ini Ravan yang menatapnya dengan puppy eyes.
"Apa kamu tidak akan mengatakan pada kami siapa yang sebenarnya kamu lihat tadi?" sambungnya lagi kini terlihat mengiba.
Niwa terkejut ketika Ravan mengatakan hal tersebut, Niwa kini sadar bahwa kedua kakak lelakinya itu telah melihat kelakuannya.
Meskipun ragu, pada akhirnya Niwa pun menyerah pada ekspresi memelas si kembar."Itu ... sepertinya Niwa melihat Gayle."Jawab Niwa hampir berbisik.
Ravan mengendus dengan senyum di bibirnya, dengan lembut dibelainya puncak kepala adik perempuan kesayangannya itu, penuh sayang.
"Good girl."
"Tidak apa-apa, kamu tidak perlu cemas bahwa hal itu akan merusak acara kita. Jadi kamu tenang saja." Kali ini Ravan yang menepuk lembut puncak kepala adiknya.
Hal tersebut tentunya mampu membuat Niwa kembali tersenyum lega.Setelah puas menjelajah beberapa tempat dan membeli beberapa kebutuhan, Niwa mengajak kedua kakak lelakinya untuk berisitirahan di toko kue yang waktu itu sempat dikunjungi olehnya dan Zhenova.
"Entah kenapa aku merasa percuma kita menyamar seperti ini kalau tetap saja menjadi pusat perhatian." Gumam Niwa menggunakan penyebutan orang pertama.
Si kembar yang menyeruput minuman favoritenya masing-masing, saling melirik sebentar sebelum kemudian bersama-sama memamerkan senyum menggoda.
Kedua kembar itu melakukan gerakan yang hampir bersamaan seperti refleksi cermin, Niwa memperhatikan kedua kakak lelakinya itu bertopang dagu dengan masih menyunggingkan senyum.
"Tujuan kita menyamar hanya agar mereka tidak tau siapa kita sebenarnya.""Bukan berarti kita harus menutupi pesona kita."
"Kita menyamar hanya agar orang-orang tidak melihat kita dengan rasa takut, curiga dan waspada, kakak hanya ingin kamu bebas berekspresi dan melakukan apapun tanpa harus mengkhawatirkan sekitamu."
"Tapi bukan berarti mereka tidak boleh melihat kita dengan penuh keterkaguman, kan?!"Ucap si kembar bergantian.
Niwa terkekeh dengan penjelasan kedua kakak kembarnya itu.
Benar-benar narsis yang dimaafkan.Gumamnya masih menahan untuk tidak tertawa lepas.
"Sayang jangan lari seperti itu nanti kamu jatuh."
"Hehehe ibu ayo cepat~"
Perbincangan seorang pejalan kaki dengan anak perempuannya menarik perhatian Niwa, gadis itu menatap kearah seorang gadis kecil yang kini sudah menggandeng lengan ibunya dengan senyum ceria.
Sang ibu yang terlihat gemas, mencubit pipi anak perempuan itu dengan lembut yang membuatnya terkekeh.
Niwa ikut tersenyum dibuatnya, dirinya tidak menyangka bahwa hal tersebut malah membuat sikembar menatapnya dengan ekspresi galau.
"Niwa ..."Panggil Ravin sembari menggenggam telapak tangan mungil adik perempuannya itu di atas meja.
"Ya?"Jawab Niwa bertanya-tanya dengan kelakuan dan ekspresi Ravin.
"Kami akan selalu ada di sini bersamamu ..."Kali ini Ravan membelai pipi Niwa.
Niwa terlihat begitu tertegun dan bingung sebelum kemudian dengan senyum di bibirnya dia mulai bertanya.
"Kenapa tiba-tiba mengatakan hal itu, kak?"Niwa mengangkat sebelah alisnya, heran.
Ravan dan Ravin saling bertatapan sebelum menghela nafas pendek.
"Apa kamu ... kangen ibunda?"Tanya Ravin sedikit ragu.
"Ya?"Respon Niwa yang kembali bertanya-tanya.
Si kembar hanya terdiam menatap Niwa yang masih tidak mengerti apa maksud kedua kakaknya, namun ekspresi sedih dan galau itu membuat Niwa yang kebingungan akhirnya kembali bertanya.
"Apa maksud kakak? Aku sama sekali tidak mengerti ..."
"Maaf jika membuatmu bingung dengan pertanyaan kakak yang tiba-tiba.""Kakak melihatmu memperhatikan mereka ... jadi kami pikir apakah kamu merindukan ibunda?"Jelas Ravan kali ini.
"Oh!?"
Niwa pun akhirnya memahami bahwa tingkahnya beberapa saat yang lalu membuat si kembar berpikir bahwa dia merindukan sang Ibu.
Niwa tersenyum dan kembali terkekeh, rupanya meskipun terlihat santai menikmati suasana, kedua kakak kembarnya itu benar-benar tidak melewatkan apapun dan masih juga terlalu peka dan sensitive dengan segala ekspresi dan tingkah adik perempuannya.
"Niwa baik-baik saja, kak ... jujur saja Niwa bahkan tidak memikirkan hal apapun selain bahwa mereka berdua terlihat begitu bahagia."
"Bukan berarti Niwa tidak merindukan ibunda, tapi Niwa hanya tidak mau kakak berpikir bahwa Niwa merasa sedih atau iri dengan pemandangan tersebut."Jelasnya panjang lebar.
"Ngomong-ngomong apa Niwa boleh bertanya?"katanya yang membuat si kembar sedikit tertegun sebelum kemudian mengangguk bersamaan.
"Apa kalian ..."Ucapan Niwa terhenti seolah ragu apa benar tidak apa-apa menanyakan hal se-sensitive itu.
" ... apa kami merindukan ibunda kami?"sambung Ravan seolah mampu membaca isi kepala Niwa.
Gadis itu sedikit terkejut yang malah membuat si kembar mengendus lucu.
"Kamu ini masih saja suka memotong sendiri kalimat yang mau ditanyakan."Kali ini Ravin dengan gemas mengusap-usap kepala adik perempuannya.
"Untuk menjawab pertanyaanmu yang menggantung itu.""Tidak!"ucap sikembar hampir bersamaan.
"Kami sama sekali tidak merindukan ibunda bahkan keluarga dari pihak ibunda.""Yah kalau mau bilang rindu, tentu saja itu hanya tertuju untuk ibunda latu gorria."Jelas mereka lagi.
"Ayahanda pasti sudah menceritakannya, bukan?!""Jadi bagaimana bisa kami merindukan sosok wanita yang meninggalkan kami secara sadar setelah mengetahui kebenarannya."Sambung Ravan kini bersandar dengan kedua tangannya terlipat di dada.
"Kalau bukan karena ibunda latu, entah bagaimana nasib kami yang bahkan tidak mendapatkan perhatian dari ayahanda."
"Bahkan keluarga ibunda juga sama tidak tahu dirinya."Ungkap Ravin menopan dagunya dengan ekspresi cuek.
Ekspresi marah, kesal dan masa bodo terlihat jelas di wajah tampan kedua kakak kembar Niwa.
"Apa ... itu artinya kalian tidak akan bertemu dengan mereka lagi?"Tanya Niwa kini memberanikan diri.
"Kalau kami sih tidak, benar kan!?""Yep~"Tegas keduanya.
"Ah tapi sebenarnya hari ini ibunda Runako akan datang ke mansion." Ucap Ravan kini dengan senyum sedikit sinis.
"EH??""Ta-tapi, bukannya ayahanda dan Runako bilang mereka akan berada di akademi sampai sebelum makan malam!? Inikan masih tengah hari!! Apa tidak apa-apa?"
Tanya Niwa yang memperlihatkan ekspresi terkejut dan panik yang imut.
"Tidak perlu dipikirkan.""Lagipula ayahanda sudah mengabarkan bahwa hari ini beliau tidak akan berada dimansion sampai larut malam."
"Itulah sebabnya kita juga berada di sini sekarang."Jelas Ravan mencubit pipi Niwa lembut.
"Apa ... ayahanda tidak mau Niwa bertemu dengan beliau?"Tanya Niwa lagi penasaran.
"Benar, Runako saja tidak mau bertemu dengan orang itu jadi kenapa kita harus menemuinya.""Yah walaupun aku yakin wanita itu tetap akan memaksa masuk dan menunggu kita pulang."
"Dia kan memang tipe yang tidak mau mendengarkan orang lain dan selalu menganggap dirinya yang paling benar.""Tidak jauh berbeda dengan wanita itu."Ucap sikembar bergantian.
Niwa tidak menyangka bahwa si kembar akan menyebut ibunda Runako dan ibu mereka sendiri dengan 'wanita itu'.
Seolah bukan siapa-siapa bagi mereka berdua.Sedalam itukah kebencian mereka terhadap orang yang dengan susah payah melahirkan mereka dengan taruhan nyawa, namun dapat dengan mudahnya meninggalkan mereka untuk alasan yang serakah.
Pemikiran Niwa tersebut seolah terbaca dengan jelas di wajahnya membuat sikembar kembali mencubit pipi dan mengusap-usap puncak kepala adik perempuan mereka itu dengan gemas.Ravan tertegun saat merasakan sesuatu dan mengambil sesuatu itu juga dari saku pakaiannya.Niwa melihat kakaknya itu mengeluarkan batu yang seperti moonstone.
"Bukannya itu moonstone?"Tanya Niwa penasaran.
"Yah tapi lebih tepatnya ini adalah batu komunikasi."Jelas Ravan kemudian meletakkan batu tersebut di atas meja.
[Dimana kalian sekarang? Apa semuanya baik-baik saja??]Suara Zhenova muncul terdengar dari dalam batu tersebut.
"Ayahanda?"Tanya Niwa kaget.
[KAK NIWA~ RUNAKO KANGEN KAKAK~]Suara imut Runako yang merengek juga terdengar di sana.
"Ada apa ayah? Jangan bilang kalau kalian mau menyuruh kami pulang?"Ucap Ravan sudah terlihat sedikit keki.
[Tidak, jangan pulang. Ayahanda mendapatkan kabar kalau wanita itu sedang menunggu kita di mansion.]
Niwa tertegun dengan bagaimana ayahnya juga menyebut ibunda Runako yang entah benar sudah menjadi mantan istrinya atau belum dengan 'Wanita itu'.
Niwa bahkan bisa mendengar bagaimana ayahnya menghela nafas panjang dan berat.
[Pergilah ke Hotel Servhina. Ayahanda akan kesana juga nanti bersama Runako setelah urusan di sini selesai.]
Katanya lagi yang dibalas dengan "oke" oleh si kembar tanda mengerti.
[Niwa, apa kamu bersenang-senang di sana, sayang?] tanya Zhenova tidak melupakan hal yang paling penting yaitu memastikan perasaan Niwa.
"Iya ayah, Niwa sangat bersenang-senang di sini. Jadi ayahanda tenang saja. Oh iya ngomong-ngomong Niwa sekarang sedang berada di toko kue yang waktu itu ..."
Di tempat lain.
Zhenova yang tengah mendengarkan celotehan anak perempuannya itu merasa jauh lebih baik setelah hampir setengah hari dirinya dipenuhi dengan kekesalan selama berada di akademi.
Setelah berbincang sedikit dan memberikan salam perpisahan pada ketiga anaknya, Zhenova memutus panggilan tersebut sebelum kemudian mengajak Runako kembali untuk menuju kesuatu tempat.
Setelah tidak berhasil mendapatkan ijin agar Niwa tidak perlu tinggal di dormitori akademi dikarenakan aturan sekolah tersebut hanya bisa diubah oleh pemilik akademi, yang mana adalah adik dari yang mulia baginda Ratu.
Meski awalnya Zhenova sangat kesal sampai-sampai ingin menghancurkan ruang kepala sekolah, Zhenova pun mengalah setelah emosinya mereda berkat Runako yang mengusulkan untuk menelpon dan menanyakan kabar Niwa.
Si kecil yakin bahwa ayahandanya akan baik-baik saja dan bisa kembali berpikir jernih setelah mendengar suara anak perempuannya.
Dengan terpaksa Zhenova akhirnya memutuskan untuk pergi ke istana Lakdiva untuk menemui Viscount Tigriya, adik sang ratu sekaligus pemilik akademi.Demi mendapatkan ijin tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Was Doted On and Loved by My Villains
VampirNiwa adalah namaku dan sosok yang selalu kulihat di setiap pantulan cermin, kaca maupun air adalah benar diriku sendiri walaupun aku terlihat lebih muda belasan tahun dari usia asliku, tapi aku tidak pernah salah mengenali wajah dan tubuh itu dari s...