Akar 36

10 4 7
                                    

"CACA! ADA ULAR, CA!" teriak Hanin histeris sambil lari tunggang-langgang menghampiri Caca yang berada di ruang kaluarga.

Ula dan Una yang mendengar itu ikut panik, ibu-ibu anak satu itu berlari ke luar rumah, meminta bantuan tetangga.

Mata caca bergerak awas, mengamati tiap sudut lantai yang mereka pijak, mewaspadai munculnya hewan melata tersebut di sekitar mereka.

"Ca ...." Hanin melirik Caca yang maju selangkah, mendekati tempat singgah ular tadi: kamar Caca. "Gue tahu lo pengen jadi hero di depan cewek kayak gue, tapi JANGAN!"

Caca sudah melompat maju, masuk ke dalam kamar. Tak mengindahkan peringatan Hanin yang sebenarnya baik, namun sedikit kepedean. Jantung Caca berdegub kencang kala matanya menyapu pandang ke tiap sudut kamarnya. Namun taka da tanda-tanda adanya hewan melata itu, kamarnya pun selalu bersih. Atau Hanin yang salah lihat?

"Ca ... di plafon," ucap Hanin pelan.

Benar juga, Caca hanya membersihkan dalam kamar, bukan atas kamar. Rasanya, dada Caca bergemuruh makin kencang. Patah-patah, dipanjangkannya lehernya, melongok ke atas. Detik itu, tepat satu meter setelah pintu masuk kamar, persis dua meter di atas kepala Caca, Caca baru sadar plafonnya bolong. Lubang berdiameter 20 senti itu terlihat tertutupi sesuatu, tertutupi motif loreng coklat putih keemasan yang besar. Susah payah Caca meneguk ludah saat ingat bahwa Caca takut dengan hewan tanpa kaki seperti ini.

Krek.

Dalam sekecap, plafon putih itu retak panjang, dari ujung ke ujung. Tak menunggu waktu lama, benda itu koyak dan jatuh sebagian.

"PITON, HAN, ITU PITON!" Caca berlari keluar kamar, lalu balik lagi ke dalam setelah mengambil pisau besar. Didekatinya lagi kamarnya, terperanjat kaget saat ular sebesar paha Hanin itu sudah jatuh ke lantai. Panjangnya nyaris memenuhi kamar.

"LARI, ANJIR, CA!" Hanin menarik Caca menjauh, jarak ular itu dengan Caca hampir satu meter.

"DIA NAIK KE KASUR GUE, HAN! HARUS DIKASIH PAHAM INI!" Caca merangsek maju, entah sejak kapan tangan kirinya sudah memegang senjata: golok. Dua tangan bersenjata itu terangkat. Walau sangat berpengalaman menjinakkan ular betina seperti Hanin, Caca masih amatiran menghadapi ular sungguhan. Namun apalah itu rasa takut, setahunya ular piton tak menggigit. Lain hal jika ternyata ini ular kobra yang belum mengembang. Tapi siapa peduli, bahkan Uma saja tak dibolehkannya naik ke kasur, apalagi ular (kiriman) ini.

Dua tangan Caca terayun, menghantam tubuh ular, yang hanya membuat golok dan pisau Caca seperti terjatuh ke trampolin.

"CA! Kabur, Ca, biar bapak-bapak aja!" Uma tiba-tiba saja sudah ada di kamar, bersama dengan gerombolan bapak-bapak yang mengambil alih senjata Caca. Uma kemudian menyeret anaknya, keluarga kecil itu: Caca, Ula, Uma, & Hanin, berkumpul di ruang keluarga bersama para tetangga yang penasaran.

Uma mengelus tangan anaknya yang bergetar, menenangkan Caca dalam diam. Suara pertempuran di dalam kamar terdengar hingga luar. Bapak-bapak memegang besi berujung runcing yang membengkok menyusul masuk ke dalam kamar. Ibu-ibu bergidik ngeri kala ekor ular besar itu nampak dari luar kamar. Hanin sudah bersiap menelepon pamadam kebakaran, namun urung saat satu laki-laki dewasa keluar kamar dengan tangan menyeret besinya. Ujung besi yang diseretnya tertancap pada tubuh ular, sedangkan kepala ular itu ditutupi dengan kain, kemudian dipikul oleh bapak yang lain.

Uma menghela napas lega. Lewat plafon kamar Caca yang sudah bolong, warga bersama-sama memeriksa semua sisi plafon, memastikan tak ada lagi ular berbahaya yang bersembunyi. Rasa tegang yang menggelayuti Caca sirna kala mereka mendeklarasikan bahwa rumah sudah aman. Uma dan Ula segera menghubungi tukang bangunan, meminta untuk memasang plafon baru di kamar.

ManiacTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang