Songo

5 2 0
                                    

Kepalanya bergerak-gerak, mengintai sang pujaan dengan cermat. Tangannya meremat dinding, antara takut ketahuan atau sakit hati lantaran melihat lelaki impiannya tengah bercengkerama dengan perempuan lain. Gadis bertubuh pendek itu telihat lunglai tanpa semangat. Dirinya keluar dari persembunyian kala pangeran-nya telah pergi meninggalkan gadis yang baru saja diajaknya berbicara.

Si penguntit—Eca—duduk bersandar di dinding, menghela napas. Pasrah menyelimuti, sesak melapisi. Matanya masih memandangi pangerannya—Caca—yang baru saja melaju pergi bersama motornya. Netranya kemudian berganti melihat pada perempuan yang baru saja berbicara dengan Caca. Eca tak kenal perempuan itu, wajahnya asing. Eca tak pernah melihatnya di angkatan mereka. Mungkin adik kelas, atau bahkan kakak kelas.

Tingkat keramahtamahan di perbincangan Caca dengan gadis itu juga tak intens, lebih terasa canggung dan formal.

Sebenarnya, tak seharusnya Eca memiliki perasaan seperti ini. Terkesan mengekang dan melawan keadaan. Tapi apa yang bisa dilakukan? Eca mencintai ketua kelasnya itu tanpa merasa dicintai balik. Eca memang belum menyatakan perasaannya langsung, tapi itu belum kan? Bukan berarti selama ini Eca tak pernah secara blak-blakan menyatakan rasa Sukanya. Bahkan satu kelas tahu kalau Eca suka Caca. Eca juga berani bertaruh kalau Caca sudah mengetahui perasaan yang disembunyikan Eca.

Kobaran api semangat untuk tak menyerah itu mendadak menyusut saat dia mengingat apa yang dilihatnya tadi pagi di kelas, saat dia tak sengaja melihat Caca mendapat pesan berupa emotikon hati. Eca tahu betul bagaimana gaya ketikan Ibu Caca, bahkan Hanin, yang notabenenya perempuan terdekat Caca. Lirikan tak sengaja tadi pagi membuat rencana Eca hancur total. Bukan rencana tepatnya, tapi perasaannya. Rasa berani yang sudah dia bulatkan tebal-tebal, mendadak melebur hanya dengan mengetahui fakta bahwa Caca mendapat pesan manis dari gadis lain.

Siapa orang itu? Siapa sosok dari balik pemilik akun virtual tersebut?

Eca masih ingat, penggalan nama depan pemilik pesan itu La.

La.

La?

Lala-kah? Siapa Lala? Lara? Layka? Lani? Lana?

Secepat kilat muncul sebelum guntur, secepat kedipan mata, rasa semangat menyatakan perasaan mendadak berubah menjadi semangat mencari tahu siapa.

...

Ina:

Mau cerita

Caca:

Come in

Waktu itu, hari Jumat. Hari di mana saatnya sekolah Ina melakukan senam pagi dengan bahagia. Ina bersama sahabatnya—Lea—sudah berbaris rapi di lapangan terbuka. Instruktur senam sudah bersiap di depan, hendak memimpin senam. Guru-guru sudah ikut berbaris rapi memeriahkan. Pengeras suara disiapkan, menyetel volume tertinggi.

Angin berhembus menenangkan dengan sinar matahari lembut menyapa. Ina dan Lea tertawa menimpali topik perbincangan kali ini. Sesekali Lea memperbaikin hijabnya yang tertiup angin, merapikan puncak segitiga di kepalanya. Ina membantu menarik perlahan untaian hijab di depan dada Lea yang tersingkap.

"Ngapa lo? Iri, ya?" tanya Lea tiba-tiba, membuat Ina mengernyit. Kemudian Lea menambahkan, "Lo kan tepos. Gue di depan kaca kamar sering ngetattin baju, ngeliat body gue yang montok."

Rasanya hati Ina dicubit sampai ujung terkecil. Hinaan Lea terasa nyata di relung hatinya. Meski yang menjadi bahan cercaan adalah murni pemberian Tuhan yang sulit diubah manusia, tetap saja Ina merasa sedikit tidak adil. Entahlah apakah Lea berbicara seperti itu dengan tujuan bercanda. Namun apa pun tujuan Lea mengatakan itu, Ina tetap sakit hati.

ManiacTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang