Bilangan yang habis dibagi Lima

62 39 95
                                    

Cacah:

Gue panggil lo Ina ya? Panjang lainlain

Lainlain:

Bacot anjir, gue lagi typ curcol nih

Cacah:

Siap, Ina

Lainlain:

Hueheuheuee lo dapet Ina dari mana

Kenapa ga Lala aja

Cacah:

Udah banyak nama Lala

Ina aja

Lainlain:

Y

Setelah itu, teman online dadakan Caca bercerita.

Kata Lainlain, hari itu Sabtu pagi. Hari yang cocok untuk beristirahat dari lelahnya lima hari beraktivitas dengan jadwal penuh dan formal. Jadi, pada jam lima pagi ini, siapa yang tidak tergoda untuk tetap bergelung dalam salimut? Ina merapatkan selimut dan meringkuk Bagai bayi. Sayup-sayup dia sudah mendengar suara ayam berkokok, juga rengekan bayi yang haus. Namun apalah semua itu, tak akan mampu membunuh rasa nyaman Ina di tempat tidur.

Brak.

"INA!" seru Ayah setelah sengaja membentur pintu kamar ke dinding.

Ina terperanjat, langsung memaksa matanya terbuka.

"Anak gadis belum bangun jam segini tu mau jadi apa? Hari libur tu bangun pagi, beres-beres, urus rumah." Ayah berteriak murka, matanya melotot tajam, membuat Ina turun dari kasur dan keluar kamar melewati laki-laki dewasa itu. Namun, bagai bentakan belum cukup, Ayah menahan pergelangan tangan Ina, mencerca hal yang menggores luka di hati bungsu perempuannya. Masih dengan pelototan tajamnya, Ayah berseru, "Udah lima hari sekolah gak bantuin apa-apa, hari libur bukannya bantu-bantu malah males-malesan. Kurang ajar."

Mendengar itu, Ina menoleh, beradu pandang dengan Ayah, bermodalkan netranya yang setengah layu memberat menahan beningnya air.

"Apa? Mau pukul Ayah? Pukul, sini!" Ayah menyodornya kepalanya, namun beberapa detik tak mendapat respon, malah Ayah yang mengangkat tangannya, memukul bahu Ina. Tapi dengan Gerakan cepat, Ina menahannya, balik mendorong Ayah.

Menyadari dirinya yang sudah melawan sang Ayah, Ina mulai merasa tanggung. Jadi, patah-patah, mulutnya berbicara. "Aku ... lima hari sekolah, juga sama capeknya kayak Ayah. Aku sekolah bukan berarti sebelum sama sepulang sekolah gak ngurus rumah! Aku urus adek, cuci baju, ngepel, nyapu, beres-beres, siapin makan Ayah, disuruh-suruh sama Ayah, cuci piring. Gak lihat?"

Ayah hanya diam, membuat Ina makin gencar. "Semalem Ayah bilang aku boleh tidur sepuasnya hari ini!"

Bug.

Pukulan kedua itu berhasil ditepis Ina lagi. Rasa marah juga menjalar tiap sudut hati Ina, tumbuh Bagai jamur yang sudah menggerogoti seluruh perasaannya. Ina adalah anak kandung ayahnya, tak sulit bagi Ina untuk membaca serangan fisik sang Ayah. Enam belas tahun menyaksikan aksi KDRT tak membuat Ina menjadi pelawan amatir. Rasanya, ini tidak adil. Ayahnya egois dan berakhlak negatif. Tak melihat kaum hawa yang melayaninya di rumah sampai mengorbankan fisik, bahkan mental. Entah titisan iblis mana ayahnya itu.

Ina menoleh ke belakang saat sadar dirinya dikunci di luar, di teras rumah. Ina menghela napas, terduduk pasrah. Pasrah dengan dirinya yang bodoh untuk setuju dilahirkan dari hasil pembuahan ayahnya. Andai Ina seperti Rei dari The Promise Neverland yang sudah bisa mengingat dan berpikir sejak di dalam rahim, Ina bertanya-tanya apa yang membuat dirinya dulu setuju untuk turun kasta dengan tinggal di bumi?

ManiacTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang