BAB 18: Muffin Cokelat dan Bunga-Bunga Kecil Kuning

112 43 7
                                    

Pagi ini terasa kabur bagiku. Beberapa jam lalu aku berhadapan dengan ibuku di meja makan, menyantap telur, bacon, serta kentang tumbuk tanpa membicarakan sesuatu yang berarti, kemudian kini pada siangnya aku duduk berdampingan dengan Tuan Butler di beranda rumahnya.

Aku memutuskan untuk mengunjunginya setelah usahaku mengenyahkan mimpi-mimpi tentang Ronald Waine yang kembali terputar sia-sia saja. Jelas aku membutuhkan sesuatu untuk mengalihkan perhatianku dari hal itu.

Sesuai dugaanku, pria tua itu sangat menyenangkan. Dia tak mengingat pasti berapa umurnya, tetapi dia mengatakan bahwa rasanya sudah beratus-ratus tahun lalu ketika dia seusiaku dan Jackson. Ternyata tempo hari ketika Jackson mengantarku ke rumah setelah pertemuan tak terduga di taman pada pagi itu, Tuan Butler mengintip dari jendela rumahnya dan memperhatikan kami. Itu tidak dilakukan dengan cara yang menyeramkan. Dan, sekali lagi, tidak dilakukan karena dia memata-matai atau semacamnya. Dia hanya—berdasarkan apa yang dia akui padaku—merasa senang melihatku.

Tuan Butler mengetahui kondisiku dari ibuku semenjak sehari setelah kepulanganku pada malam itu. Ibuku mengatakan padaku bahwa Tuan Butler, meskipun tampak terkejut saat mendengarnya, terlihat sangat sportif dan mengerti akan kondisiku dengan bilang bahwa dia tak akan mencoba, bahkan, untuk sekadar membuka obrolan denganku dengan memilih untuk menungguku membuka pembicaraan lebih dulu karena tak ingin aku merasa kurang nyaman di sekitarnya.

Jadi, dua jam lalu ketika aku muncul di belakangnya yang baru selesai memotong rumput halaman, dia sangat terkejut sampai matanya berkaca-kaca.

Tuan Butler  memiliki senyum hangat, jenis senyum yang akan langsung mengingatkanmu pada kakekmu yang tinggal jauh di desa. Seluruh rambut yang tumbuh di kepala pria itu berwarna putih, dan kulit-kulit di wajahnya mengeriput termakan usia. Namun, pembawaannya yang begitu energik disertai mata berkilat-kilat segera mengingatkanku pada seorang anak kecil yang bersemangat.

Setelah aku sampai dan mendapatkan pelukan hangat, dia segera menceritakan banyak hal kepadaku. Mulai dari keseruannya saat liburan bersama Daniel putranya, hobi berkebunnya, hingga beralih pada topik yang tak terhindarkan lagi. Ronald Waine.

"... jadi ketika bukan ikan yang menyangkut pada kail pancingku pada sore itu, aku segera memutuskan untuk melapor ke polisi," katanya dengan kengerian yang masih tergambar jelas pada wajahnya yang tak lagi muda. Suaranya bergetar. "Pria itu ... kasihan sekali. Dia masih muda. Harusnya paling tidak dia bisa dipanggil dengan sebutan kakek sebelum Tuhan memanggilnya, ya, kan?"

Tuan Butler meraih muffin cokelat yang kubawa untuknya pada meja kecil di antara kami kemudian menggigitnya.

"Mm, enak sekali." Untuk beberapa saat, pria itu memandangi muffin di tangannya dengan terpukau. "Harus kuakui, kau dan ibumu benar-benar hebat. Bagaimana bisa kalian menyulap tepung menjadi makanan semenakjubkan ini?"

Aku menunjukkan senyum kecil dan mengibaskan tangan.

"Dan harus kuakui," kataku menirukan ucapannya, "tamanmu begitu memesona, Tuan Butler. Ibuku kelihatannya sangat tak tertarik dengan hal semacam itu."

"Ibumu hanya sibuk." Tuan Butler mengangguk, tetapi matanya berkilat bangga saat memandangi halaman rumahnya yang penuh bunga. "Dia sangat beruntung memilikimu."

"Kupikir aku sudah menyusahkannya. Apalagi dengan, yah, keadaanku kini." Aku mengangkat bahu. Pandanganku seolah segera terkunci pada sekerumunan bunga kecil di dalam pot tak jauh di depanku saat pikiranku menerawang.

"Nak, omong kosong apa yang barusan itu kaukatakan?"

"Maaf."

"Tolong jangan berpikir begitu lagi. Savannah sangat menyayangimu, kau tahu itu, kan?"

"Ya."

"Savannah sangat beruntung memilikimu," ulangnya. "Begitu juga dengan Alfred." Suaranya mengecil saat menyebut nama ayahku, kemudian sedikit mengeraskannya saat bertanya, "Apa kau ... mengingatnya?"

Aku menggeleng, masih menatap lurus-lurus pada bunga-bunga kecil kuning yang mengintip dari pot besarnya di seberangku.

Kulihat dari sudut mataku bahwa Tuan Butler kini memandang objek yang sama sepertiku, kemudian menarik napasnya panjang-panjang. Karena sebuah alasan, kemuraman menggantung di atas kepalanya seperti awan gelap, membuat sorot matanya redup dan wajahnya tak lagi bersinar.

Dia berbicara dengan suara lirih. "Kita berdua tak pernah membicarakan tentang Alfred selama ini. Kau selalu menolaknya." Pria itu mengangguk-angguk samar. "Kau selalu sedih bahkan hanya dengan mendengar namanya, tetapi kini ... kurasa aku hanya ingin mengatakan padamu ... bahwa aku benar-benar turut sedih atas apa yang sudah terjadi padanya."

Pada detik itu juga bunga-bunga di pot sana tak lagi menarik di mataku. Kualihkan pandangan dan memberikan perhatianku sepenuhnya kepada Tuan Butler. Pria itu terlihat enggan menatapku. Kesedihan sudah sepenuhnya menggantikan keceriaannya.

Sesaat aku tak mengerti apa yang dimaksudnya. Apa yang ingin dikatakannya? Mengapa dia sedih atas apa yang terjadi pada ayahku? Bukannya laki-laki itulah yang memutuskan pergi dari kehidupanku ...?

"Aku—aku tidak mengerti," kataku pelan.

"Apanya yang tidak kaumengerti, Nak?" balas Tuan Butler, akhirnya menoleh menatapku.

"Apa maksud dari perkataanmu tadi, Tuan Butler? Bahwa kau turut sedih atas apa yang terjadi pada ayahku? Apa yang terjadi padanya?"

Anehnya, dia memandangku dengan penuh tanya. Kebingungan di matanya nyaris sama seperti ketidaktahuan di mataku. Apa yang dia ketahui, tetapi aku tidak?

"Apa Savannah tak memberi tahumu?" tanyanya hati-hati.

"Tentang apa?" tukasku, mulai diliputi perasaan tak enak dengan apa yang akan kudengar. 

Tuan Butler mengembalikan muffin cokelat yang belum berhasil dihabiskannya ke piring dengan gerakan lambat. Dan duniaku segera jungkir balik setelah mendengarnya kembali berucap, diikuti dengan angin berembus yang menggoyang-goyangkan bunga-bunga kecil kuning di potnya, seakan turut terguncang sepertiku. "Tentang kecelakaan maut yang merenggut nyawa ayahmu tujuh tahun lalu."

Who Killed Ronald Waine?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang