Chapter IX

234 97 12
                                    

Happy Reading
(⁠。⁠♡⁠‿⁠♡⁠。⁠)



"Pak tolong jemput aku sekarang" sebuah pesan teks terkirim.

Beberapa menit kemudian sebuah mobil hitam memasuki lingkungan sekolah, membuatnya menoleh seperti memandang, mengetahui jemputannya sudah ada, Nasya lalu melangkahkan kakinya dengan tenang menuju ke arah mobil yang terparkir sedikit jauh dari pandangannya.

Bersamaan dengan ribuan sepasang kaki yang melangkah keluar dari halaman sekolah dengan tujuan yang sama yaitu ingin pulang.
Jam pulang sekolah membuat tempat itu terlihat sangat ramai dengan banyak siswa yang sebagian besar dari mereka dijemput menggunakan mobil-mobil mewah.

Namun tetap seperti sekolah pada umumnya masih ada beberapa siswa yang menggunakan angkutan umum. Biasanya dari mereka merupakan anak-anak yang penerimaan beasiswa di sekolah tersebut karena faktor ekonomi, namun juga diberikan beasiswa karena prestasi yang dimiliki.

SMA Cakrabuana merupakan sekolah terbaik yang menampung ribuan siswa berprestasi. Alumni SMA Cakrabuana lebih dominan menempuh pendidikan di perguruan tinggi terbaik di Indonesia maupun di luar negeri.

"Woi Renasya Aurora!!" terdengar suara yang tidak asing dari seseorang yang berhasil menghentikan langkahnya. Merasa dirinya pemilik nama itu seketika Nasya menoleh.

"Tadi Bu Reni bilang apa?" tanya Langit dengan tenang tak ada ekspresi bahkan tak ada gelombang nada.

"Gak"

"Gak?" tanya Langit mengulangi jawaban

"Aku lupa!" sentak Nasya ambil menghentakkan kakinya

"Oh"

Langit berbalik melangkah pergi namun seketika berhenti ketika panggilan Nasya terdengar. "Langit" suara lembut itu membuatnya berbalik setengah merespon panggilan itu.

Merasa aneh dengan Nasya yang biasanya nyerocos namun tiba-tiba terdiam, setelah memanggilnya. Langit hanya heran dan berdenyit bingung tiba-tiba ia melentikkan jarinya tepat didepan wajah Nasya dengan mempertemukan ibu jari dan jari tengahnya menimbulkan bunyi sampai membuat gadis itu seketika tersadar "Hei!"

"Ha!"

Satu kata dalam bentuk respon, berhasil membuat Langit mengerutkan keningnya.

"Bodoh lho!"

"Bodoh? Lho bilang gue bodoh?"

"To the point deh"

"Lho sakit?"

"hah?!"

"Oh, maksudnya" sedikit jeda saat ingin berbicara namun bingung dengan apa yang ingin dibicarakan.

"Apa? Lanjut" ucapnya menatap tajam ke arah Nasya.

"jadi gini, tadi Bu Reni minta kita buat belajar bareng nanti, kita ketemu di cafe aja gimana? Soalnya kalau di perpustakaan malah ngantuk" kata Nasya antusias memberi jawaban dengan raut wajah melontarkan senyuman penuh semangat. Dalam hati kecilnya dirinya sedikit malu dengan sikapnya barusan, yang banyak melamun entah apa.

Langit mendesah kasar "Gak bisa!" cetusnya lalu meninggalkan Nasya yang penuh kebingungan mencerna dua kalimat itu.

Nasya melongo tak percaya, sikap Langit memang terlihat begitu dingin setara dengan wajahnya, padahal tadi dia  terlihat santai merespon pembicaraan.

"Apaan sih!, harus gitulah. Bu Reni kan nyuruh kita buat belajar bareng. Masa iya kamu melanggar perintah Bu Reni gitu aja" teriaknya namun masih bisa didengar Langit, padahal Langit sudah melangkah dua 3 meter di depan.

Aurora (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang