|5| RENJANA

33 6 26
                                    

Sesakit-sakitnya keadaan aku sekarang, lebih sakit kehilangan kamu. Dan aku, tidak mau itu terjadi.

~•~•~•~•~•~•~•~•~•~

Setelah melihat Tania yang terlelap, Sagara memutuskan untuk pulang. Tak lupa Ia menuliskan catatan kecil untuk Tania, agar wanitanya tidak kebingungan mencarinya.

Sesampainya di rumah, Sagara disambut tatapan tajam dari papahnya. Dia sendiri tidak tahu, apa yang membuat ayahnya terlihat begitu marah.

"Dari mana saja kamu?" Tanya Adhysta.

"Jemput Tania."

"Kamu masih berhubungan dengan wanita penyakitan itu?" Adhysta bertanya dengan nada mengejek.

"Papah."

"Apa, memang benar 'kan. Dia itu penyakitan. Putuskan dia, Papah akan menjodohkan mu dengan anak teman Papah."

"Pah, Sagara cinta sama Tania, Pah. Tolong biarkan Sagara hidup dengan pilihan Sagara."

"Berani kamu bentah papah, silahkan pergi dari rumah ini."

Sagara diam tak berkutik. Dia bukan tidak berani pergi, hanya saja dia masih ingin melihat mamahnya. Dia ingin dipeluk mamahnya, kalau dia keluar dari rumah kesempatan itu hanya sedikit.

Adhysta pergi meninggalkan Sagara, tak lama setelah kepergian Adhysta, Keenan datang.

"Mas, Mas sudah tau?" Tanya Keenan.

Sagara yang paham maksud Keenan hanya mengangguk.

"Nanti coba Keenan bantu omongin sama Papah, ya."

"Nggak usah, kamu urus urusan kamu. Jangan ikut campur, nanti kamu ikutan dimarahi."

Sagara melangkah meninggalkan Keenan sendiri. Pikirannya berkecamuk, baru saja dia bahagia karena kondisi Tania, sekarang sudah ditambah dengan perjodohan nggak jelas itu.

Kalau bisa memilih, Sagara lebih baik tidak pernah dilahirkan. Tapi apa yang sudah terjadi, Sagara cukup kuat menjalani nya.

Sagara merebahkan tubuhnya, dia ingin mengistirahatkan tubuh dan juga pikirannya. Biarlah dirinya merasakan tenang, walau dalam mimpi.

****

Di ruang keluarga, Gistara beserta keluarganya sedang berkumpul, berbicara dan tertawa. Kebetulan Ayahnya sedang ada dirumah.

"Oh iya Kakak, kemarin Ayah ketemu sama Om Adhysta."

Gistara yang mendengar itu langsung, menatap ayahnya. "Serius, Yah. Om Adhysta disini?"

"Iya, dia pindah ke sini, katanya ngurusin cabang perusahaan yang ada disini."

"Berarti, Bian ada disini."

"Semua keluarganya ada disini. Ayah sudah minta alamatnya, nanti kamu kesana ya. Siapa tau Bian ada disana."

"Oke. Makasih Ayah."

Setelah mendapat kabar dari ayahnya tentang keberadaan keluarga Bian, Gistara segera menghubungi Angkara memintanya untuk mengantarnya besok.

Keesokan harinya, Gistara dan Angkara pergi ke alamat yang diberi oleh ayahnya.
Mereka sengaja datang sore hari, sepulang dari pekerjaan mereka.

Kini mereka sudah berada di depan gerbang rumah putih. Seperti alamat yang ayahnya berikan.

Seorang penjaga melangkah mendekatinya. "Ada yang bisa saya bantu, Mba?"

"Iya Pak, apa benar ini rumah keluarga Adhysta?" Tanya Gistara.

"Iya, betul."

"Saya ingin bertemu dengan beliau, ada?"

The Butterfly Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang