1

3.6K 604 41
                                    

Mulai bab pertama? Lets go! mana suaranyaaa????

Tumpukkan kertas mulai menggunung. Ini sudah akan memasuki masa Ujian Akhir Semester dimana para mahasiswa mengumpulkan banyak tugas kuliahnya. Berbagai jenis makalah dengan ketebalan yang berbeda-beda menghiasi meja cokelat tersebut.

Tumpukkan buku juga kertas itu hampir menenggalamkan sosok perempuan yang mengetik di komputer kerja. Rambutnya terikat rapi di belakang. Dengan jari telunjuknya, ia merapikan kacamata yang mulai turun hingga ujung hidung. Hidungnya bergerak mengkerut ketika ia menemukan sesuatu yang tidak pas. Setelah menghela napas dan meminum kopi dari tumblr yang dibawanya, ia kembali mengetikkan sesuatu. Memperbaiki kesalahan ketik hingga menjadi benar.

Ia adalah Nararya Lintang Biru, seorang dosen manajemen universitas negeri yang baru diangkat sebagai pegawai negeri sipil beberapa bulan yang lalu. Sebagai dosen muda, tentunya Lintang adalah sosok yang ambisius. Di usianya yang baru ke dua puluh tujuh tahun, dirinya sudah masuk sebagai jajaran calon wakil dekan bidang akademik.

Selain mengajar, tugasnya juga mengadvokasikan pihak kampus dan mahasiswa dan memfasilitasi mahasiswa yang butuh bantuan di bidang akademik. Namun dari semua itu bagian yang paling menyenangkan bagi Lintang adalah kesempatan besar dimana dirinya bisa diikutsertakan dalam penelitian para dosen senior.

Lintang adalah orang yang memiliki dedikasi tinggi dalam pekerjaannya sheingga semua seniornya menghormatinya. Ia adalah sosok yang luar biasa. Lintang selalu memiliki banyak tenaga untuk mengajar mulai dari S1 hingga pasca sarjana, mengurus berkas, membimbing mahasiswa skripsi hingga ikut penelitian. Para dosen senior menyukainya. Bagi mereka Lintang adalah sosok manusia yang patut dicontoh oleh setiap orang.

Di tengah kesibukannya, tiba-tiba jam alarm di ponsel berbunyi. Lintang langsung menyimpan pekerjaan yang sedang dilakukannya dan membereskan sebagian makalah mahasiswa yang sudah dinilai. Dengan gerakan yang efisien, semua berkas yang berantakan tadi kembali tertata dan meja kerjanya kembali rapi. Lintang pun berdiri mengambil tas kerjanya kemudian mematikan lampu ruangan. Sudah waktunya pulang.

Di tengah jalan, ia mengangguk dan tersenyum setiap kali mahasiswanya menyapa. Lintang mengenakan masker dan naik ke atas sepeda kayuhnya. Sepeda kayuh berwarna merah tersebut adalah temannya. Teman yang selalu menemaninya berangkat dan pulang dari kampus. Ia menyukai bersepeda karena itu adalah waktunya berolahraga. Lintang tak punya banyak waktu untuk berolahraga. Dari pagi hingga sore, dirinya selalu melakukan pekerjaan di dalam ruang. Sampai rumah terkadang dirinya masih bekerja. Jadi, waktu yang pas berolahraga adalah perjalanan menuju kampus juga saat pulang.

Jalanan kota pelajar saat itu sangat ramai sampai Lintang hampir tergiur menggunakan trotoar. Namun itu sama saja dirinya akan mengambil hak para pejalan kaki. Lintang pun bersabar. Menunggu motor-motor itu mulai jalan setelah lampu lalu lintas berubah hijau. Dan saat dirinya akan jalan, lampu kembali berubah menjadi merah. Lintang pun mengerem di tempat membuat beberapa motor di belakangnya membunyikan klakson.

Lintang tak terlalu memperdulikan ketika ada pria yang membentaknya karena tak lanjut jalan. Dengan mudahnya Lintang menunjuk lampu lalu lintas yang menunjukkan warna marah. Wajah pria itu pun ikutan berubah menjadi merah dan mengumpat. Ia menyelip di antara Lintang dan bus kota untuk menerobos lampu merah. Lintang tersenyum tipis ketika pria itu ditahan oleh polisi yang berjaga karena melanggar rambu lalu lintas.

Sore yang bising, pikir Lintang.

Tibalah dirinya di rumah. Sebuah sanctuary sederhana yang rimbun nan sejuk. Tempat yang selalu memeluknya dengan kedamaian. Seorang pria dewasa dengan rambut memutih di pinggir kepalanya tersenyum menyambutnya.

"Pa, sudah pulang?" tanya Lintang yang kemudian meletakkan sepedanya di tempat khusus.

"Barusan."

"Kok nggak duduk di belakang sama mama?"

Tepi LintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang