3

2.6K 505 42
                                    

Sadam tengah memainkan kartu nama di tangannya. Sudah seminggu Sadam mencoba kembali ke toko roti yang sama namun tak sekali pun ia berpapasan dengan nenek lampir itu! Sadam juga tidak ingin menjadi yang pertama untuk menghubunginya. Nanti perempuan itu kepedean dan menuntut Sadam untuk menikahinya lagi seperti dulu. Cih! Itu hal yang paling menggelikan.

Senin besok Sadam sudah mulai bekerja. Waktunya untuk berkeliling kota untuk mencari sosok perempuan itu akan semakin sulit. Hah... Sadam mulai kehabisan akal.

Pria itu bangkit dari rebahannya untuk melakukan sesuatu. Di hari minggu seperti ini rasanya mengganggu adiknya bisa mengusir sedikit kebosanan yang dia punya. Tanpa mengetuk, Sadam membuka pintu kamar adiknya. Saila ternyata sedang mendengarkan materi kuliah dari laptopnya. Sadam mendekat dan duduk di atas kasur. Diambilnya bantal strawberry milik adiknya untuk dipeluk.

Nararya Lintang Biru.

Nama itu tertera di bawah kotak video seorang perempuan berkacamata. Seperti orang lupa diri, Sadam tersenyum melihat bagaimana lucunya perempuan itu membenarkan posisi kacamata yang kemudian kembali turun karena hidungnya yang kecil. Sadam agak sedikit tidak tahu diri ketika menyingkirkan tangan Saila untuk memperbesar layar moderator agar ia bisa melihat sosok nenek lampir itu dengan lebih jelas.

"Kak, apaan sih. Jangan ganggu. Ini materi penting untuk UAS!"

"Kamu kalau nggak lihat jelas pematerinya bagaimana mau fokus? Kamu pasti mau lihat video cowok-cowok kelasmu yang on-cam kan?"

"Ish! Minggir deh! Cari kerjaan sana, jangan kayak pengangguran aja!"

Sadam tak memperdulikan dorongan adiknya. Ia tetap duduk manis di samping Ai menjaga sebisa mungkin agar tidak masuk ke dalam kamera adiknya. Alisnya terangkat ketika Lintang berdiri dari kursinya dan izin untuk berdiri sejenak. Ada perasaan tak rela melihat mimpi buruknya itu pergi meninggalkan layar. Namun hanya sekian detik, perempuan itu kembali membuat Sadam menghela napas lega.

Ternyata Lintang hanya mengambil gelas merah yang mungkin berisi kopi? air? teh? Sadam jadi penasaran apakah Lintang juga menyukai makanan dan minuman manis sepertinya? Sadam hanya tidak ingin semua kesamaan yang tidak sengaja itu justru menjadi senjata Lintang untu berpura-pura berjodoh dengannya. Dih, Sadam tidak sudi! 

Lihat saja warna gelasnya! merah! Warna merah memang identik dengan villain yang jahat. Cocok untuk sosok Lintang yang cantik. 

"Apa ada yang ingin ditanyakan? Untuk tugas saya sudah tidak terima lagi tapi kalau ada yang ingin diskusi atau revisi nilai masih saya terima sampai lusa. Kalau ada yang menyusul, saya baru akan terima semester depan lagi. Saya sudah beri tenggat waktu mohon untuk dihormati. Kemarin, ada anak yang baru datang dengan berbagai alasan. Saya tetap tidak akan terima karena itu akan tidak adil bagi teman-teman yang sudah mengumpulkan tepat waktu. Juga tidak ada kelonggaran bagi yang absensinya tidak memenuhi kuota."

Sadam memiringkan bibirnya, merasa terhibur dengan wajah cantik itu. Perempuan itu sedang mencoba untuk terlihat mengintimidasi tapi di mata Sadam, Lintang seperti anak kucing yang bercuap-cuap tak jelas. Ia melirik ke video para mahasiswa laki-laki. Sebagian ada yang merona. Ada juga yang mengangkat ponsel mereka untuk memotret layar laptop. Hal itu entah kenapa mengganggu Sadam. Ia tidak suka ada yang memotret Lintang. Mereka belum tahu saja bagaimana nenek lampir itu akan bermain-main dengan mimpi mereka. Membawa mimpi buruk terburuk yang pernah mereka dapatkan.

"Dasar anak-anak ingusan," gumam Sadam.

Ai sibuk mencatat hal penting menoleh ke arah kakaknya yang mengerucutkan bibirnya lima senti ke depan.

"Kenapa sih kak?"

"Si Lintang itu sok-sokan sekali. Lagaknya seperti orang benar saja," cibir Sadam membuat Lintang terkesiap.

"Kakak, kenapa kakak ngomong gitu? Bu Lintang itu orang baik tahu! Dia juga dosen dan peneliti yang hebat!"

"Halah hebat apanya. Dia cuma pakai wajah cantiknya aja biar mempermudah pekerjaannya."

Ai menatap kakanya tak percaya. "Kak, jangan terlalu benci seseorang. Kakak kan belum pernah bertemu Bu Lintang selain hari ulang tahun dulu kan? Beliau itu dosen yang tegas juga baik. Bahkan beliau dengan tangan terbuka membantu mahasiswa yang masih butuh tambahan kelas. Kayak aku contohnya..."

"Hah? Kamu butuh tambahan kelas? Ini kan pelajaran dasar Ai!"

"Ya kan aku butuh kak, aku dari anak IPA, tiba-tiba masuk menejemen apa kakak kira aku langsung ngerti semuanya?"

"Kan kamu punya kakak, kalau ada yang nggak ngerti kamu bisa tanya kakak."

Ai menatap kakaknya dari atas hingga bawah. Gadis itu mengalihkan pandangannya tak menggubris kegilaan kakaknya. Ia yakin kakaknya itu hanya bosan dan sedang mencari alasan untuk mengganggunya. Ai sudah hapal kebiasaan pria itu. Ternyata sepuluh tahun di New York pun tak membuatnya berubah.

Sadam yang hanya berniat menggoda adiknya, jadi ikut mendengarkan kuliah Lintang hingga akhir. Bahkan sampai kelas online berakhir pun, Sadam tetap berada di tempatnya. Ia tak ingin pergi kemana-mana. Adiknya tengah sibuk mengerjakan tugas akhir yang lain, Sadam memilih berselancar menggunakan ponslenya di atas kasur sang adik yang serba pink.

Di paltform Linkedln akhirnya Sadam bisa menemukan profil profesional milik Lintang. Diperhatikannya segala pencapaian yang Lintang miliki. Bagaimana bisa anak di usia yang masih begitu muda memiliki pencapaian sebanyak itu? Sadam harus akui satu hal, she is a qualified person. A capable woman who can do anything. Even conquer the world if she want.

Dilihat posting terakhir ia membagikan sebuah banner seminar dimana akan diadakan seminar di kampus Ai. Temanya adalah wanita dalam berbudaya. Beberapa tamu undangan lainnya adalah budayawan perempuan juga aktivis perempuan. Sadam langsung tahu bahwa Lintang bukanlah perempuan sembarangan. Jika dirinya ingin membalas dendam, ia harus bermain dengan apik.

Sadam mengangguk puas. Ia mencatat kapan acara itu berlangsung.

"Ah, yeaaayyy!"

Sadan menurunkan ponselnya ketika adiknya berteriak kegirangan sambil memegang ponslenya.

"Ada apa?" tanyanay penasaran.

"Ah... kak... aku lega banget ... akhirnya Bu Lintang menerima ajakanku untuk revisi nilai! Oh God! She is an angel! God bless her heart. I love her so much!" ujar Ai sambil mencium-cium ponselnya dengan penuh agresifitasan.

"Kapan itu?"

"Nanti siang! waktu dan tempat akan Bu Lintang beritahu lagi. Beliau sedang menyesuaikan jadwalnya."

Sadam sekali lagi mengangguk. Mungkin ... mungkin saja jika berpura-pura tak sengaja dengan mengantarkan adiknya, ia bisa berpapasan dengan nenek lampir itu sekali lagi. Sadam tertawa kecil.

***

Maaf ya ... Sadam emang kayak gitu anaknya. Agak-agak prik. Tapi dia manis kok hehe ^^

Jangan lupa tinggalin jejak dengan vote dan komen yaaaa!!!

Tepi LintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang