7

1.9K 333 22
                                    

Deretan kacamata itu mengerutkan dahi Sadam. Mengingat ia memiliki pandangan yang sempurna, Sadam hanya mengenakan kacamata hitam sebagai nilai tambah pada mode fashion. Di keluarganya hanya papanya yang mengenakan kacamata. Itu pun hanya kacamata baca. Bukan rabun seperti Lintang.

Lintang menyadari kehadiran Sadam ketika pria itu dengan santainya menyuruh Lintang mencoba sebuah frame emas yang berbentuk lingkaran. Lintang tak memperdulikan keinginan Sadam dan lanjut mengikuti arahan optician untuk mengetes pandangan. Lintang tersenyum masam, ketika mengetahui rabunnya semakin parah. Sudah di atas tujuh.

"Tujuh? Kamu masih bisa lihat?" tanya Sadam yang terkejut mendengar ketebalan rabun milik Lintang.

Sadam melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Lintang. Lintang merasa kepalanya hampir meledak akan perbuatan Sadam yang memalukan. Petugas optik hanya tersenyum. Lintang berusaha semaksimal mungkin untuk berinteraksi dengan Sadam berharap laki-laki itu segera sadar bahwa ia sama sekali tidak meletakkan minat pada hubungan aneh mereka.

"Kamu beneran nggak bisa lihat?" Kali ini Sadam memajukan wajahnya tepat di depan Lintang yang akan berbalik membuat gadis terkejut. Jika tidak ada Sadam yang cekatan menahan punggungnya, mungkin ia sudah terjatuh ke lantai saat ini.

"Permisi," minta Lintang agar Sadam menyingkirkan tangannya dari punggungnya.

Lintang merasa tidak nyaman dengan kedekatan wajah mereka. Ia bisa mencium aroma manis dari mulut Sadar. Mungkin sisa es krim yang dimakannya tadi. Tapi bukan itu yang mengganggu Lintang, melainkan mata Sadam yang terus mencari celah agar bisa melihat matanya. Lintang risih. Dan ini sudah masuk dalam kategori pelecehan, mengingat Lintang tidak memberikan konsen untuk Sadam menyentuhnya.

"Coba buat aku yakin, kalau kamu benar-benar bisa lihat. Ini berapa?" tanya Sadam sambil mengangkat tiga jari tepat di wajah Lintang.

Lintang menepis tangan Sadam dengan lembut. "Aku cuma rabun. Bukan buta," jawabnya mulai merasa seluruh energinya hilang entah kemana.

Lintang menunggu sejenak sampai kacamata baru dengan frame baru selesai dipasang. Optik ini sudah menjadi langganannya karena kecepatan pengerjaan kacamata yang kilat. Gadis itu duduk di sofa merah sambil menunggu. Sadam pun melakukan hal sama. Namun yang membuat Lintang kesal adalah pemilihan posisi duduk pria itu yang di luar nalar.

Dari banyaknya ruang kosong di sofa merah itu, Sadam dengan snagat berani menduduki posisi tepat di samping Lintang hingga sisi tubuh mereka bersentuhan. Tak sampai di sana, tanpa izin dari Lintang, Sadam mengulurkan tangannya di belakang tubuh Lintang dan meletakkan tangannya di pundak gadis itu.

"Aku nggak nyaman dengan jarak yang dekat seperti ini," ucap Lintang mencoba tetap sopan memberitahu Sadam kalau dia menginginkan jarak di anatara mereka.

"Tapi aku nyaman," jawab Sadam singkat yang tak memperdulikan Lintang dan fokus bermain sudoku di ponselnya.

"Kamu ... nggak sibuk?" Lintang mencoba sebisa mungkin untuk mencari alasan agar laki-laki itu menyingkir sejenak.

"Hm? Enggak, kan ini hari minggu."

"Oh...."

Lintang bukan tipe orang yang pandai berbasa-basi. Ini tidak menyenangkan baginya. Sejak dulu, dirinya bukan orang yang punya inisiatif membangun percakapan. Bahkan dalam podcast milik Lungit dimana Lungit harus memohon sambil bersujud agar Lintang menjadi bintang tamunya, kebanyakan Lungit yang mengajukan pertanyaan. Lintang hanya ada di sana sambil duduk dan menjawab pertanyaan-pertanyaan Lungit.

Daripada dia lelah sendiri meminta sesuatu yang tidak akan didengar oleh kepala batu pria di sampingnya, Lintang berinisiatif untuk menggeser tubuhnya menjauh. Seperti magnet, Sadam ikut menggeser duduknya juga untuk terus menempel pada Lintang hingga akhirnya Lintang terjebak di ujung sofa.

Sadam tak mengalihkan pandangannya dari ponsel, tapi mendengar suara menggerutu dari samping membuat sudut bibirnya tertarik ke atas. Ia menertawakan usaha sia-sia Lintang karena mau bagaimana pun perempuan itu tidak akan pernah menang darinya.

Lintang yang jengah, memilih berdiri. Kacamata barunya telah selesai seperti perkiraan waktu yang diberikan di awal. Kini dirinya memiliki alasan untuk pulang. Namun langkah Lintang dihadang oleh Sadam membuat Lintang harus mendongak karena tinggi pria itu.

"Ada apa?"

"Kamu dari tadi punya banyak waktu luang, kenapa nggak buka pesan yang aku kirim?"

"Hah... karena tidak penting."

Sadam mengerucutkan bibirnya kesal. Ia pikir dengan memberikan banyak perhatian kecil sudah akan membuat Lintang luluh. Ia berdecak kesal karena ratu es di depannya ini sungguh tidak bisa dilelehkan. Padahal ia sudah sering menggunakan taktik love bombing via text dan selalu berhasil sebelumnya.

"Kemarin aku ajak kamu kencan, mumpung kamu di sini ayo berkencan sebentar."

"Maaf, aku nggak punya waktu. Ini masih minggu ujian, masih banyak yang harus dikerjakan," tolak Lintang dengan halus.

Namun sepertinya kotoran di telinga Sadam cukup menumpuk karena bukannya menyingkir, laki-laki itu justru menyeret tangan Lintang untuk naik ke lantai teratas pusat perbelanjaan, tempat bioskop berada.

"Kamu mau film apa?"

"Nggak bisa, aku harus pulang," ucap Lintang mencoba melepaskan diri dari Sadam.

"Aku anterin pulang nanti. Nggak usah khawatir, hari masih siang."

"Bukan begitu..."

"Film itu mau?" tanya Sadam menunjuk poster sebuah film drama rumah tangga. Sama sekali bukan selera Lintang. Lintang justru lebih tertarik dengan poster film di sampingnya lagi, sebuah film laga barat yang franchise-nya sudah Lintang tonton tuntas.

"Oke, kita nonton film itu saja," ucap Sadam memutuskan. Lintang hanya diam tak merespon. DIrinya bak sebuah balok tak bernyawa, ikut kemana pun Sadam mengajaknya berjalan. Mulai memesan popcorn dan minuman, duduk sambil menunggu hingga masuk teater pun Lintang lakukan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.

Film mulai diputar, Lintang cukup terkejut melihat film yang dimainkan adalah film yang ditontonnya tadi. Ia pikir ia akan menonton film drama rumah tangga yang ditunjuk oleh Sadam tadi.

Entah kenapa, Lintang jadi merasa setidaknya dirinya harus berterima kasih. Namun dengan ego yang tinggi, Lintang hanya berdeham dan bersandar pada kursi bioskop sambil menikmati film yang disaji. Ia menolak berulang kali setiap kali Sadam menawarkan popcorn. Menonton film kesukaannya pun tak bisa dinikmati dengan sepenuhnya karena tiba-tiba di tengah film, ia merasakan pundaknya menjadi sangat berat.

Yups, laki-laki tak tahu diri itu tertidur di pundaknya. Lintang mendorong kepala Sadam. Namun kepala itu jatuh di pundak laki-laki lain di pinggir Sadam yang menatap Sadam dengan jijik. Merasa bersalah, Lintang pun meminta maaf dengan suara berbisik kemudian membawa kepala Sadam untuk bersandar pada pundaknya. Ia hanya bisa menghela napas panjang.

Dan Sadam yang berpura-pura tidur, menahan senyum. Ia memposisikan diri agar semakin nyaman hingga benar-benar terjatuh tertidur.

Sadam baru sadar tubuhnya diguncang dan pipinya ditampar kencang berkali-kali. Dengan cepat ia memegang tangan yang menamparnya. Saat ia membuka mata, ia mendapati Lintang siap-siap menamparnya lagi dengan satu tangan.

Ada dendam ada nenek lampir ini dengannya?

Sebelum pipinya ditampar lagi, Sadam meraih kedua tangan Lintang untuk berhenti.

"Cukup namparnya, aku sudah bangun."

"Oh," jawab Lintang seperti tanpa dosa.

Sadam merapikan pakaiannya. Ia membuang sisa popcorn juga minuman yang tidak disentuh oleh Lintang. Sebelum mereka keluar, untuk kesekian kali Sadam menahan Lintang untuk pergi.

"Tunggu sebentar, aku antar pulang. Aku ke toilet sebentar."

Lintang mengangkat alisnya melihat Sadam yang akhirnya melepaskan tangannya. Tubuhnya menegang ketika Sadam berbalik untuk memastikan Lintang tidak kemana-mana. Namun ketika Sadam tak terlihat, Lintang menggunakan kesempatan itu untuk meninggalkan bioskop.

***

Hati-hati Lintang, yang satu itu kayaknya ngejar. Baik-baik sembunyi yaaa ^^

Tepi LintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang