6

2K 350 20
                                    

Lintang meletakkan penanya ketika melihat nama yang tertera di layar ponsel. Lungit. Saudara kembarnya yang entah sekarang berada di mana. Dengan cepat tangannya menggulir ikon telepon berwarna hijau kemudian layar dipenuhi video bergerak.

"Mhoro, Sisi!"

"Lungit, kamu sudah sampai di mana sekarang?" tanya Lintang tanpa basa-basi.

Lungit menunjukkan pemandangan gurun gersang di belakangnya, rumah-rumah batu dengan atap jerami berjejer indah. Lungit mengarahkan kameranya pada gerombolan anak-anak kecil berkulit hitam, menyapa Lintang melalui kamera dengan sorakan polos mereka. Melihat itu hati Lintang jadi menghangat.

"Mhoro Sisi! Mhoro Sisi!" Sorakan Mhoro Sisi berdengung tak henti-hentinya. Lintang pun memposisikan ponselnya agar mereka bisa melihat jelas dirinya. Ia membalas sapaan anak-anak itu dengan lambaikan tangan.

Lintang menyuruhnya untuk membalas sapaan mereka menggunakan bahasa Sonya dari Zimbabwe. Satu kata yang Lintang ucapkan membuat gerombolan anak-anak itu tersenyum lebih lebar. Sungguh anak-anak yang polos dan menggemaskan pikir Lintang.

Lungit pun melipir menjauh agar ia bisa memiliki waktu lebih dengan Lintang.

"Kamu sudah sampai Zimbabwe?" tanya Lintang.

"Iya! Sinyal di sini sulit sekali. Jadi mungkin sambungan telepon kita nggak bakal lama. Kamu gimana kabarnya?"

Lintang tertawa? "Kamu tanya bagaimana kabar aku? Seharusnya kamu itu yang beri tahu kami, bagaimana kabarmu. Mama selalu khawatir sama kamu. Sekalinya kasih kabar cuma dua minggu sekali. Kapan pulang?"

"Hm... Sebentar lagi! Kan aku sudah bilang kalau Zimbabwe jadi destinasi terakhir untuk afrika selatan. Setelah itu aku mau eksplor sejarah timur tengah untuk bulan depan."

"Jangan ke tempat konflik."

"Tenang... aku akan skip negara-negara berkonflik."

Lintang tersenyum melihat saudara kembarnya yang tidak bisa diam di rumah saja. Ada saja alasannya untuk bepergian. Dibandingkan dengan Lungit, Lintang lebih suka berdiam diri di rumah. Duduk membaca buku ditemani segelas teh hangat di rumah kaca milik keluarganya adalah ketenangan yang membuatnya puas.

Untunglah kedua orang tua Lintang adalah kedua orang tua yang tak pernah mengekang anak-anaknya. Awal keputusan Lungit untuk menjadi seorang traveler didukung sepenuhnya oleh keluarga. Awalnya cukup sulit untuk bepergian ke luar negeri, mengingat Lungit menolak semua fasilitas yang diberikan. Ia merintis kanal youtube perlahan. Dan sekarang berbagai iklan produk masih membanjiri kanal youtube laki-laki itu.

Melihat perkembangan saudara kembarnya itu membuat Lintang sangat bangga.

Lintang dan Lungit mungkin adalah sepasang kembar. Kendati demikian, mereka selalu terpisah jarak. Namun bagi mereka jarak bukanlah sebuah penghalang. Meskipun terpisah jarak, tapi Lintang dan Lungit tahu bahwa keduanya saling memiliki satu sama lain. Ikatan batin mereka lebih dekat dari pada apa pun yang ada di dunia ini. Mereka berdua memiliki dunianya sendiri. Dunia si kembar, sebut kakak-kakak mereka, jika keduanya mulai melakukan komunikasi telepati.

Seperti saat ini, mereka tidak berbicara. Video hanya menunjukkan keduanya yang saling bertatapan. Namun ketika Lintang menundukkan kepalanya, Lungit langusng tahu bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh saudari kembarnya itu.

"Ada apa? Masalah pekerjaan?"

Lintang memijat ujung matanya perlahan. "Enggak ada apa-apa, kayaknya rabunku semakin buruk."

"Bukan masalah rabun. Batinmu resah. Ada yang ganggu kamu?"

Lintang tertawa sejenak karena mau sebaik apapun ia menyembunyikan kebohongan, Lungit adalah satu-satunya orang yang langsung mengetahuinya. Jadi akan sia-sia untuk menyembunyikan kebohongan kepada Lungit.

Tepi LintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang