4

2.4K 474 36
                                    

Waktu yang Sadam tunggu tiba. Saat dirinya sedang berpura-pura santai bermain ponsel di ruang keluarga, Saila muncul dari kamarnya sambil memeriksa tugas yang dibutuhkannya di dalam tas. Ia menghampiri sang kakak kemudia menadahkan tangan meminta uang jajan.

"Minta uang," ucapnya singkat.

"Uang bulanan sepuluh juta dikasih papa masih kurang?"

Ai merengut kesal. Gadis itu menghela napas kemudian berbalik. Memang tidak ada yang bisa diharapkan pada pria bernama Sadam. He is really good for nothing. Sebelum Ai pergi, Sadam menarik tangan adiknya untuk tidak pergi lebih dulu. Dengan gerakan cepat ia menyelipkan kartu kredit pada telapak tangan sang adik. Senyum Ai merekah cepat. Ia melirik kakaknya dengan penuh rasa bangga.

"Nah gitu dong. Kan kalau gini, Ai bisa kelihatan keren di mata Bu Lintang."

"Sekalian deh, kakak mau pergi ke suatu tempat. Ayo kakak antar, kamu nggak usah pake ojek lagi."

"Seriusan nih? Kok tumben baik sekali kakakku stau-satunya ini?"

Sadam melingkarkan tangannya pada leher Ai untuk menyeret gadis itu. "Kakakmu ini selalu baik. Kamu kan adik satu-satunya kakak. Tentu kakak cuma main-main aja, kakak tuh cuma jahilin kamu aja kok. Aslinya sih-"

"Sayang sama aku kan?"

Sadam melirik adiknya dan tertawa. "Ya ya ya terserah kamu aja."

"I love you, brother," ujar Ai tanpa malu memeluk kakaknya.

"Hm-hm, i love you more, princess," jawab Sadam sekenanya hanya untuk menyenangkan hati sang adik.

Sadam dan Saila tiba di sebuah cafe pinggir jalan. Mereka berdua tiba lebih dulu ketimbang Lintang. Sadam merapikan pakaiannya karena anehnya ia mulai merasa gugup. Mungkin karena dirinya akan bertemu dengan mimpi buruknya lagi setelah sekian lama?

"Kakak kenapa ikut aku masuk?" tanya Ai ketika mendapati kakaknya duduk di sampingnya.

"Jam janjian kakak masih lama, jadi kakak ikut gabung di sini dulu ya?"

"Jangan! Nanti canggung jadinya. kakak mending cari meja sama kursi lain aja."

"Ah, sama aja. Tinggal anggap aja kakak nggak ada. kakak nggak akan ikut campur, kok!"

"Tetap nggak bisa, Kak! Ih, kakak kok jadi rese sih? Ini nanti canggung banget-"

"Saila?" tanya seseorang membuat Aila juga Sadam menoleh ke samping.

"Bu Lintang! Iya, saya Saila yang hubungi ibu untuk minta revisi nilai UTS."

Sadam dan Lintang bertatapan sejenak kemudian gadis itu kembali menatap Saila. "Kamu sama teman?"

"Ah! Maaf, Bu! Tolong nggak usah dianggap aja. Kakak saya ini pengangguran. Jadi dia yang antar-antar saya. Tapi saya janji kakak saya nggak akan mengangkat suaranya sekali pun!"

Lintang hanya menghela napas panjang kemudian menarik kursi di depan Saila. perempuan itu meletakkan tas kerjanya dan menunggu Ai untuk menjelaskan kondisinya. Baik Ai dan Lintang sama-sama bisa merasakan betapa intensnya tatapan pria yang tak diundang pada Lintang. Ai ingin sekali memarahi kakaknya yang tidak tahu sopan santun itu. Jangan sampai kebiasaan tak beradabnya di New York dibawa pulang. Apalagi kepada Lintang yang notabenenya keluarga berbudaya dimana adab selalu diutamakan.

"Maaf sudah mengganggu waktu, Ibu. Saya ingin mengajukan keberatan untuk nilai tugas UTS, Bu."

"UTS telah dilaksanakan beberapa bulan yang lalu, Saila. Kenapa kamu bari datang ke saya di saat kita sudah akan mengadakan UAS minggu depan?"

Tepi LintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang