2

2.9K 518 44
                                    

Sadam telah rapi berniat untuk keliling kota karena sudah lebih dari lima belas tahun ia tidak meninjakkan kaki di kota pelajar ini. Ia ingin tahu apa saja yang berubah dari kota ini. Pria itu memandangi banyaknya kendaraan yang membuat jalanan semakin sesak. Bahkan di jalan pasar yang dulunya adalah pusat rekreasi kini semakin membeludak. Bagaimana bisa sebuah jalan mengundang atraksi jutaan manusia yang datang setiap harinya. Sungguh gila.

Setir mobil dibelokkan ke jalanan yang lebih sepi. Ini adalah jalanan perkantoran dimana banyak kafe juga tempat makan. Distrik bisnis. Sadam pun melewati sebuah gedung kantor yang akan menjadi tempatnya kerjan beberapa hari ke depan. Ia berdecak karena melihat kondisi gedungnya yang sangat sederhana.

Gedung berlantai lima itu akan menjadi tempat kerjanya. Semoga saja ia bisa segera dipanggil ke ibu kota untuk masuk ke perusahaan utama. Meskipun dulu kakek buyutnya memulai bisnis dari gedung ini dan ini adalah tempat semua kerajaan bisnis keluarganya dimulai, tapi Sadam ingin sesuatu yang lebih modern. Ia sudah sangat yakin bahwa atmosfer tempat kerjanya nanti sangatlah kolot.

Merasa butuh kafein, Sadam membawa mobilnya ke sebuah toko roti yang memiliki tempat parkir lebih luas dari kafe lainnya. Ia memarkirkan mobilnya di samping sepeda kayuh merah. Sadam menggeleng tak percaya. Siapa yang nekat siang-siang begini menggunakan sepeda kayuh?

Sadam pun mendorong pintu kayu dengan jendela kaca ke dalam membuat lonceng pintu tersebut berdenting merdu. Sadam sampai mendongak untuk melihat lonceng berdenting itu. Sangat vintage. Sesuai dengan konsep toko roti tersebut yang memang mengusung suasana kejawa-jawaan. Sesuatu yang segar bagi seseorang seperti Sadam yang selalu hidup di kota New York yang tidak memiliki budaya yang menonjol.

Sadam berdiri di belakang seorang perempuan yang sedang memesan kopi dan roti. Dirinya membaca menu beverages yang ada. Matanya tertarik mencoba menu rekomendasi mereka. Sebuah roti berbentuk ikan. Sadam suka segala sesuatu yang manis. Jadi tidak ada salahnya untuk mencoba sesuatu yang baru.

"Terimakasih, maaf lama ya, Kak!"

"Ah, nggak apa-apa, saya balik dulu ya. Titip salam ke Tante Sachi kalau beliau berkunjung."

"Tentu-tentu!"

Sadam mengambil langkah maju untuk menggantikan perempuan yang akan pergi itu. Namun langkah yang diambil Sadam terlalu lebar sehingga tak sengaja dirinya menginjak bagian belakang sepatu perempuan tersebut membuat perempuan itu terhuyung ke depan akan jatuh. Dengan sigap, Sadam mengeluarkan tangannya yang ada di dalam saku untuk menangkap agar perempuan itu tidak terjungkal ke depan. Namun hal itu membuat kopi di tangan wanita tersebut sebagian tumpah mengenai tubuhnya. Kemeja putih yang Sadam kenakan pun jadi penuh akan noda kopi.

"Ah! Astaga... maaf, Mas! Saya nggak lihat jalan..."

Sadam tidak terlalu mendengar apa yang perempuan itu bicarakan. Ia hanya terdiam di tempatnya memeluk perempuan asing. Sadam terpukau menatap wajah cantik itu. Ada sesuatu di dalam dirinya yang bergetar membuat Sadam ingin terus melihat wajah tersebut. Begitu cantik dan tak biasa. Seperti seorang bidadari. Sadam bahkan tak sadar ketika perempuan itu membersihkan noda di kemejanya. Ia terlalu fokus untuk memandangi wanita cantik di depannya.

Wanita barat selalu lebih menarik di mata Sadam. Ia lebih suka jika perempuannya memiliki rambut pirang dengan mata biru yang jernih. Tiga pacar terakhirnya juga semuanya memiliki ciri-ciri yang sama. Namun tidak ada yang membuatnya sampai benar-benar terpukau seperti perempuan yang entah sedang meminta maaf untuk keberapa kali. Sadam tak mengingatnya.

"Maaf, mas. Saya sekarang sedang ada jadwal penting. Untuk biaya laundry atau jika Mas minta ganti rugi tolong hubungi saja nomor ini, ya! Sekali lagi saya minta maaf, tapi saya harus segera kembali."

Tepi LintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang