5

3.4K 492 54
                                    

Sadam sudah bertekad bahwa ia akan membuat hidup perempuan bernama Lintang itu seperti neraka. Mengingat bagaimana dinginnya perempuan itu memperlakukan Saila membuat Sadam marah. Dan yang semakin membuat darahnya mendidih adalah sikap acuh Lintang yang seakan-akan melupakan masa lalu mereka. Sadam tersiksa lahir batin sampai harus di usianya ke delapan belas tahun ia pergi ke New York untuk menghindari bayang-bayang anak bergigi ompong itu.

Sadam marah sekali karena seakan-akan hanya Sadam sendiri yang tersiksa dan dia bisa hidup dengan tenang. Melakukan pekerjaan dan menyiksa mahasiswanya sesuka hati. Jangan-jangan perempuan sialan itu juga sudah punya pacar! Ini benar-benar tidak adil bagi Sadam!

Senin pagi, Sadam sudah siap untuk memulai kehidupannya sebagai manusia kantoran. Dengan sarapan yang sudah disiapkan oleh mbak, Sadam makan dengan cepat untuk menyusul adiknya yang sudah akan berangkat.

Ia berlari mengambil kunci mobil untuk menyusul adiknya.

"Saila!" panggil Sadam pada adiknya.

Sejak kemarin, akibat ucapan Lintang, adiknya menjadi sangat sedih. Gadis itu terlihat tak punya semangat untuk menjalani hari padahal pagi ini adalah ujian pertama dalam rangkaian Ujian Akhir Semesternya. Sepanjang jalan, Sadam mencoba menghibur hati adiknya tapi Saila hanya diam. Ini semua salah Lintang!

Sadam pun membuka mobil dan menyuruh adiknya masuk.

"Aku berangkat sendiri."

"Masuk saja, Ai. kakak nggak tega lihat kamu nunggu ojek sendirian. Masih ada satu jam sebelum jam kerja kakak."

Saila melirik kakaknya dengan kesal. Ini semua karena kakaknya yang kurang ajar itu. Jika saja kakaknya tidak ikut campur, ia pasti bisa meyakinkan Bu Lintang untuk memberinya kesempatan untuk mengubah tugasnya. Tapi laki-laki itu membuka mulutnya seperti ibu-ibu kompleks. Saila sangat tidak ingin bertemu wajah kakaknya saat ini.

"Hmph!" Saila melengos meninggalkan kakaknya.

Sadam yang tidak punya banyak waktu untuk memperbaiki suasana hati adiknya menarik tangan Saila agar masuk ke dalam mobil. Jika begini terus maka ada kemungkinan ia bisa terlambat untuk mencegat Lintang di jalan. Tak memperdulikan protes adiknya, Sadam pun berangkat menuju kampus sang nenek lampir.

Tiba di parkiran, Saila langsung kabur. Meskipun ujiannya baru di mulai tiga puluh menit lagi, Saila lebih baik menghabiskan waktu me-review materi di depan kelas daripada harus menghabiskan waktu bersama kakaknya. Bisa-bisa ia akan berubah menjadi monster dan mencabik-cabik wajah sok kegantengan kakaknya itu.

Sadam sendiri tak langsung pulang. Dari informasi yang didapatkannya, meskipun ujian diadakan, para dosen akan tetap datang ke kampus untuk pekerjaannya yang lain. Pria itu menyandarkan tubuhnya pada lingkaran setir. Tangannya berketuk-ketuk tak sabar agar Lintang cepat datang.

Lebih dari setengah jam, Sadam menunggu. Sadam sendiri bukanlah orang yang memiliki kesabaran seperti malaikat. Menunggu seseorang setengah jam adalah sebuah penyiksaan. Dan lagi-lagi karena menunggu perempuan itu, dirinya harus tersiksa seperti ini. Memang Lintang adalah sumber kesengsaraannya.

Tubuhnya menegang kala dari jauh ia melihat seorang perempuan mengayuh sepedanya ke arah gerbang fakultas. Sadam pun bergegas turun dari mobil dan mencegat jalan Lintang sampai perempuan itu harus menarik rem mendadak.

"Kamu!" tegur Lintang yang terkejut karena Sadam tiba-tiba muncul dan hampir membuatnya tertabrak.

Sadam memegang setir sepeda untuk memastikan perempuan itu tidak akan kabur. Setelah Lintang turun dari sepeda kayuhnya baru Sadam sedikit melonggarkan pegangannya namun tak dilepasnya. Sadam hanya berjaga-jaga. Baginya Lintang adalah nenek lampir yang culas. Jika dia melihat celah, pasti Lintang akan langsung kabur darinya. Padahal Sadam belum melihat wajah Lintang sepenuhnya karena terhalang helm.

Tepi LintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang