Sanji belum pernah merasa menyambut pagi dengan rasa bahagia seperti ini, sejak bayi yang dilahirkannya meninggal dunia.Bertemu Soul dan Hemmy semalam. Lantas, sarapan bersama-sama, menjadi momen yang tak akan pernah dilupakan karena memberikan kebahagiaan tersendiri.
Tentu, ingin ada kesempatan bagus lainnya untuk menghabiskan waktu dengan mereka.
Terlebih, dirinya dan Hemmy tinggal di tower apartemen yang sama, hanya beda lantai.
Berat rasanya tadi meninggalkan mereka. Terutama, sosok manis Soul. Ia pun sudah telanjur terpikat dengan bayi perempuan itu.
Sanji mempertimbangkan niatan untuk datang ke apartemen Hemmy nanti malam. Tapi, tak tahu harus menggunakan alasan apa.
Tidak berteman dekat dengan pria itu, walau dulu beberapa kali menghabiskan malam panas bersama. Jadi, akan canggung jika ia berkunjung terus ke apartemen Hemmy.
"Bu Sanji?"
Suara amat familier baginya dengar.
"Bu Sanji, Anda dari mana saja?"
Tak diharapkan akan bertemu sang sekretaris saat akan menggunakan lift. Dan ia tidak ada kesempatan untuk menghindari Ibu Monica.
Untuk pertanyaan diajukan padanya, sudah pasti enggan dijawab. Mulut dibungkam.
Baru saja merasa gembira hatinya, tapi realita kehidupan yang memenjarakan kebebasan harus kembali dijalani mulai pagi ini.
Sanji juga mesti memasang topeng kepalsuan sebagai anak politisi yang sempurna.
"Ibu Nana menunggu Anda, Bu Sanji."
Masih tak ditunjukkan respons apa pun atas pemberitahuan sang sekretaris. Bergegas saja keluar dari lift karena sudah sampai di lantai apartemennya berada.
Sanji mengurai dan membuat rambutnya jadi berantakan. Sisa aroma tequilla yang kemarin diminum untungnya belum hilang semua.
Akan tercium oleh sang ibunda ratu nanti.
Sudah jelas akan murka padanya.
"Selamat pagi, Bu Sanji."
Sapaan yang ditujukan kepadanya, hanyalah berupa anggukan kecil. Tetap berjalan masuk ke areal dalam apartemennya.
Dua ajudan berdiri, tak satu seperti biasanya. Bahkan, para pengawal tampak baru semua. Jelas sudah diganti orangtuanya.
Penjagaannya akan semakin ketat. Tentu efek dari pelarian semalam dilakukan. Ia sangat yakin akan tambah terpenjara mulai hari ini.
"Dari mana saja kamu, Sanji?
Baru saja menapakkan kaki di ruang tamu, sang ibu bertanya dengan nada tenang baik seorang malaikat berhati baik.
Namun, tatapan begitu menusuk padanya, seiring langkah kian dekat dengannya.
Dan belum sempat dijawab, sang ibu sudah meraih tangannya. Menarik keras menuju ke kamar tidurnya yang berada di seberang.
Sanji tak akan melawan sedikit pun.
Hukuman sudah di depan mata, mustahil ia bisa menghindar. Kabur tidak akan bisa.
"Duduk!"
Diikuti perintah sang ibu segera. Ditempatkan diri di pinggiran kasur yang ditunjuk ibunya.
Tak ada rasa gentar sama sekali, walau tahu sudah ada dalam situasi yang tidak aman.
Entah apa akan dilakukan sang ibu, tak bisa ditebak. Yang jelas akan lebih menyakitkan dibanding menerima tamparan bertubi.
Ibunya tak akan main fisik seperti ayahnya.
"Ke mana kamu pergi semalam?"
"Ke bar." Dijawab cepat dengan mantap.
"Apa ada CCTV?"
"Ada." Disahutinya segera dalam jawaban pendek. Ditatap terus sang ibu.
Ingin melihat perubahan ekspresi. Masih tak ada pergantian mimik wajah. Tenang dan tak terbaca. Hanya sorot mata terus menusuk.
"Bar mana?"
Kali ini, Sanji bungkam. Tidak terpikir olehnya penyebut nama satu pun tempat hiburan malam karena kemarin tak dikunjunginya.
"Bar mana, Sanji?"
Sang ibu menuntut jawaban. Terdengar dari nada mendesak yang sangat jelas.
Sanji pun akan tetap pada pendirian untuk berdusta. Ingin dilihat seberapa marah sang ibu atas pelariannya kemarin malam.
"Sebut bar itu, Sanji."
"Aku tidak bisa."
"Suruh saja orang kepercayaan kalian untuk menyelidiki ke bar mana aku pergi."
"Akan cukup mudah kalau aku memberi tahu bar mana tempat aku berpesta semalam."
Sang ibu kali ini menunjukkan adanya sedikit pergantian raut. Rahang wajah lebih keras disertai tatapan terbakar oleh amarah.
Sanji tahu ibunya akan mengamuk.
Tentu, bukan dengan cara menampar atau memukulnya yang meninggalkan bekas.
Dan walaupun sudah begitu siap menerima hukuman apa pun dari orangtuanya, tetap ada efek kejut cukup besar saat sang ibu mengeluarkan gunting dari dalam tas.
Gerakan ibunya pun amat cepat memotong rambutnya yang tengah diurai. Walau bisa mendorong sang ibu, tapi tak dilakukan.
Setelah mahkotanya kesayangannya, giliran gaun pesta melekat di tubuhnya yang lanjut dipotong-potong oleh sang ibu.
Sanji ingin merasakan bagaimana tajam dari ujung gunting menusuk perutnya, sudah pasti sakit dan mengeluarkan banyak darah.
Bisa sangat pula dengan ambang kematian, ketika dirinya tak segera ditolong paramedis.
Tangan Sanji pun tergoda untuk menusukkan gunting tersebut, namun sang ibu tentu sadar sehingga menjauhkan segera darinya.
Tatapan kian nyalang padanya.
Sanji tak tahu cara dirinya memandang balik sang ibu, apakah memancarkan kemarahan juga, ataukah netranya tampak sedih akan tindakan yang dilakukan orangtuanya.
"Warnai nanti rambutmu agar tidak ada satu pun yang bisa menuduhmu datang ke bar."
Sanji bergeming. Tak merespons apa-apa.
"Selain ke bar, ke mana saja kamu kemarin, Sanji? Apa pergi ke hotel dan bermalam dengan salah satu pria hidung belang?"
Sang ibu sudah memecut keras dagunya.
"Kenapa kamu harus berulah lagi?!"
Sanji tetap tak berkutik, saat ibunya mulai meminumkan cairan keruh dari botol yang baru dikeluarkan dari tas, seperkian detik lalu.
Sanji harus membuka mulut karena tekanan tangan ibunya semakin kuat. Menimbulkan rasa sakit pada rahang wajahnya.
"Telan cepat!"
"Ini akan membantu meluruhkan benih siapa pun yang kamu sudah tampung di rahimmu kemarin malam. Jangan ulangi kesalahan!"
Lidah Sanji langsung merasakan rasa tidak enak atas minuman yang masuk ke mulutnya.
Tentu harus dimuntahkan.
Dengan desakan kuat untuk menolong diri sendiri, Sanji mendorong sang ibu.
Kekuatannya penuh, sehingga orangtuanya itu langsung tersungkur ke lantai.
Sanji pun dengan segera berlari ke kamar mandi. Sudah tak tahan dengan rasa dari minuman yang masih mengisi perutnya.
Setelah berhasil masuk, Sanji tidak lupa mengunci pintu agar ibunya tak menyusul.
Dengan rasa mual yang hebat, Sanji lekas mengeluarkan cairan tersebut di wastafel.
Air mata kesakitan atas sikap brutal sang ibu langsung merembes di kedua pipi. Hatinya sangat pedih menerima perlakuan seperti ini.
Tak dipedulikan pintu kamar mandi yang terus digedor dari luar, dan sang ibu meneriakan beberapa kali namanya dengan begitu marah.
....................
Yuhuuu, selamat membaca.

KAMU SEDANG MEMBACA
Buah Hati Rahasia
Romansa[Follow dulu untuk bisa membaca part yang lengkap] Hemmy Weltz (33th) sudah bertekad kuat akan membalas dendam pada orangtua Sanji Dermawan (28th), karena darah dagingnya dibuang oleh mereka tanpa belas kasih. Kedua politikus sok suci itu akan dihan...