32; Broken

2.8K 397 144
                                    

Bunyi tamparan nyaring memenuhi ruangan itu. Pelakunya nampak banget emosi, tapi orang yang ditampar cuma nunduk tanpa berani tatap meski dia lebih tinggi. Jaka nggak kaget sama sekali ketika Bunda tampar wajahnya kuat-kuat begitu dia sampai dan masuk ke rumah keluarga Parama.

“Ke sini juga kamu akhirnya?! Udah inget sama anak-istri?!” Kelopak mata Jaka memejam, dia marah ke dirinya sendiri yang terlalu bodoh. Mestinya dari awal waktu Radi mau pergi, dia kejar dan halangi anak itu, bukan malah sama-sama lari. “Maaf,” cuma itu yang bisa dia ucap, Jaka menyesal penuh.

Maaf kamu bilang? Anak saya pulang sendirian, nangis-nangis gara-gara laki-laki brengsek macam kamu, dan kamu ke sini cuma bilang maaf?!” Di sana, Cakra biarin istrinya melampiaskan rasa emosinya. Kalau bukan karena Widya yang duluan maju buat perhitungan sama Jaka, udah pasti dia yang bakal hajar anak itu sampai lupa cara berdiri. Malah Tara sama Danis juga nggak banyak reaksi. Boro-boro bela Jaka kayak tadi, mereka kini membiarkan anak mereka dapat apa yang sepantasnya.

Para orang tua ini menutup mata sekalipun Jaka datang dengan wajah banyak lebam dan beberapa perban luka melilit tangan. Nggak ada yang peduli sama apa yang anak itu lalui sebelum sampai ke sini atau sericuh apa isi kepalanya, mereka cuma tau kalau perbuatan sang wrisaba udah bener-bener melangkahi batasan dan wajib dituntut pertanggungjawaban.

“Liat Mbak Tara ... liat anakmu!” Mami kesentak, beliau angkat muka karena tadi menoleh arah lain. Sejujurnya nggak tega, tapi kalau Bunda nggak tampar Jaka tadi, mungkin beliau yang bakal lakukan. Mami sampai nggak tau harus bilang apa ke orang tua menantunya untuk minta maaf karena mereka beneran udah dibuat kecewa berkali-kali sama kelakuan anak bungsunya.

“Pernah nggak Mbak Tara mikir kalau dia sebetulnya nggak siap untuk menikah?!” Tangan Widya di depan wajah sang menantu dengan telunjuk mengacung, tapi matanya terarah sama Tara. “Kenapa aku merasa kalau Mbak Tara cuma kebagian ngide menjodohkan mereka, tapi semua hal setelah itu nggak ada urusan??”

“Tapi kamu juga setuju waktu itu, Wid. Aku nggak maksa kalian menerima--”

“Oh, iya, Mbak! Dan Mbak harus tau berapa kali aku menyesali keputusan itu ... anakku, Mbak ... anakku satu-satunya, dia nggak berhak diperlakukan begini!” Sepasang netra Widya menatap nyalang, tapi ada sirat pedih dan nggak butuh waktu sampai kristal air mata mulai berjatuhan.

“Aku sama Mas Cakra jaga dia sejak kecil; kami pastikan kasih sayangnya; kami nggak biarin dia merasa kekurangan. Mau Saga anak istimewa atau enggak, semua yang kami beri itu adalah kewajiban sebagai orang tua.” Tara paham ke mana arah pembicaraan ini, tangannya di atas paha mengepal, dia melirik putra bungsunya sebentar. Kalau Widya sampai meneruskan kata-katanya, bukan cuma dia yang dipermalukan sebagai orang tua, tapi Jaka mungkin juga akan teringat traumanya lagi.

“Iya, Wid, aku ngerti ... aku dan keluargaku minta maaf untuk ini.”

Maaf terus, maaf terus! Memangnya maaf bisa berdampak apa? Kalau maaf itu menyembuhkan, anakmu nggak akan jadi laki-laki bajingan begini, Mbak!” Widya toleh ke arah Jaka sekali lagi, napasnya nggak beraturan. Dia dapati sang menantu masih aja nunduk terus.

“Kalau Jaka nggak segera berdamai juga sama traumanya, keputusan paling baik memang memisahkan dia sama Saga.” Ucapan dingin Widya buat Jaka dan kedua orang tuanya kaget.

“Tunggu, Wid, coba dibicarain dulu—”

“Dibicarain apa lagi?! Bukan Mbak Tara sama Mas Danis yang harus menanggung beban menyertai traumanya Jaka, tapi Saga! Anakku satu-satunya! Aku yang berhak buat memutuskan! Malah kalian itu yang egois dan nggak bertanggung jawab!”

“Bunda—”

“Kamu diem! Jangan panggil saya begitu lagi! Kamu udah nyakitin anak dan calon cucu saya ... kalau aja kamu bukan ayah dari bayi di kandungan anak saya, nggak akan saya kasih izin kamu menapakkan kaki di rumah ini lagi!” Pandangan mata Widya buram banget karena tangis, dia akhirnya dibantu sama Cakra yang peka buat duduk lagi. Semua keributan ini, terlebih suara Widya tadi yang keras banget, dia berani taruhan kalau Saga juga dengerin. Maka dari itu, Cakra nggak mau ngomong sembarangan, atau malah meledak-ledak kayak di awal tadi.

[3] The Mahadhi's | ft. NoRen - NaHyuck (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang