36; Harapan

2.6K 335 77
                                    

“Nggak usah buru-buru. Tungguin Mas kalau mau naik.” Radi udah boleh pulang, dan sekarang dia sama suaminya baru sampai di parkiran basemen apartemen. Jaka minta dia tunggu dulu sebelum masuk elevator buat ke lantai sebelas, sang suami masih harus ambil barang-barangnya di bagasi. Radi juga nggak ada niat mau nyelonong sendiri kayak biasanya dia lakuin dulu—udah males rasanya, jadi anak itu cuma berdiri ngelihatin suami sambil elus-elus perutnya yang makin besar.

“Oke, udah ... yuk naik?” Senyum tipis disuguhkan Radi buat jawab ajakan Jaka. Lengan kiri suaminya bertengger di pinggang sang istri, sementara barang-barang dialihkan ke tangan kanan semua.

“Nanti kamu di kamar dulu, ya, aku mau beres-beres, takut kamu kena debu.” Seperti dibilang, waktu Radi opname memang Jaka lebih sering tinggal di rumah sakit, dan dia nggak sepercaya itu buat hire jasa bersih-bersih tanpa pengawasan. Nggak heran kalau apartemen jadi berantakan selama ditinggal.

“Biar aku bantu, Mas ... pasti banyak yang harus diberesin, kamu nanti capek.” Ting! Pintu akses elevator terbuka, mereka menjeda obrolan bentar dan mulai lagi setelah memastikan lantai tujuan.

Babe, kamu itu baru aja sehat, mending istirahat dulu.” Jaka tatap istrinya yang dongak supaya bisa lihat wajah suami. Dari sudut pandang ini, Radi imut banget.

“Oh, iya, mau makan apa? Biar aku buatin sekalian.” Radi nggak sebut menu masakan apa pun, malahan air mukanya menyendu dengan kedua mata mulai berkaca-kaca. Dia emang masih gampang nangis tiap ada hal yang bikin sedih, even sesederhana lihat anak kucing liar lagi jalan—katanya kasian, coba ada yang mau ngerawat. Padahal sama Nisha dia perang dunia.

“Maaf, Mas, kamu pasti capek ladenin aku yang rewel banget semenjak hamil.” Isak lirih mengudara, makin lama makin keras. Mana pintu elevator sempat kebuka dua kali sebelum sampai di lantai sebelas, dan Jaka bisa rasain tatapan menghakimi dari orang-orang. Dia cuma senyum, sesekali nenangin Radi yang terus menyusup ke pelukan.

“Nggak ada rewel ... Mas nggak pernah merasa keberatan, Sayang.” Air mata sang mesa menganak-sungai banget, padahal nggak ada tragedi apa pun di depannya. Radi berulangkali minta maaf dan panggil nama Jaka, bikin suaminya sadar mungkin begini juga bingungnya sang istri kalau denger dia merasa bersalah terus.

No, jangan gini, Sayang ... kamu lupa apa yang Bunda bilang?” Radi berhenti nangis sebentar, coba inget apa maksud Jaka dengan bawa-bawa Bunda begini, sampai akhirnya satu kalimat yang membekas banget terngiang. Dia jelas nggak bakal bisa singkirkan itu dari pikiran, lebih-lebih Jaka.

“Jangan berani buat Saga nangis lagi atau hari itu juga saya pisahkan kalian.”

Radi nggak pernah sangka, beliau yang selalu paling pengertian dan sabar, rupanya sampai hati punya pikiran untuk memisahkan anak sama menantunya. Tapi bukan berarti dia anggap Bunda tega, beliau pasti takut putra semata wayangnya cuma akan disakiti lebih dan lebih lagi.

Nyatanya hati seorang Ibu pun bisa jadi sekeras batu kalau memang dengan itu malaikat kecilnya akan terlindungi.

“T--tapi aku bukan nangis karena kecewa, Mas ... apa dihitung juga?” Cicit Radi, polos banget. Harusnya dia tau gertakan Bunda nggak serta merta bisa dimaknai kayak gini, tapi mungkin memang lagi sensitif, jadi semuanya pun dipikir berat sama dia. “Aku nggak mau nangis lagi ... aku nggak mau pisah sama kamu.”

“Hei, it’s okay, nangis itu manusiawi. Yang nggak boleh itu kamu nangis karena kesalahanku.” Jaka rangkum kedua pipi istrinya sambil dibelai, mencoba kasih pengertian. Pintu elevator terbuka tepat di lantai sebelas setelah itu, jadi dia ajak Radi masuk unit apartemen mereka dulu.

Setiba di dalem, tentu aja Radi berniat tanggalkan alas kakinya buat ditaruh ke rak, tapi suaminya lebih peka bantuin. “Nggak usah jongkok, kamu masih lemes, nanti pusing.” Jaka telaten lepas simpul sepatu sang istri sambil dongak sebentar, pamer cengiran di hadapan kasih hatinya. “Kasian si kembar juga, nanti kegencet, hehe.” Pipi pucat Radi bersemu merah, tangannya bertumpu ke pundak Jaka waktu diminta angkat sebelah kaki bergantian supaya lebih gampang lepas sepatu.

[3] The Mahadhi's | ft. NoRen - NaHyuck (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang