47. Gevan Woke Up: Good VS Bad News

7.6K 462 34
                                    

Sebelum baca, follow akun tulisandina

[Happy reading]

Typo tandai, gak sempet mau baca berulang-ulang.

...

Melisa meremat tangan Gevan dengan pelan berusaha memberikan sinyal pada anaknya yang masih tertidur lelap. Tangannya beralih mengelus lengan Gevan dengan hati-hati, takut mengenai kabel-kabel yang tertempel apik di tangan putranya.

"Kapan bangun sih bang?" gumam Melisa sedih.

"Udah hampir sebulan, gak kangen ya sama mama? Abang harus denger ini, mau sekeras apapun dokter bilang Abang bakal kayak gini, kayak gitu, mama akan tetap tunggu abang bangun," lanjut Melisa menunduk guna mengecup lengan putranya.

"Mama gak sekuat itu buat lepasin kamu. Mama susah-susah ngandung kamu, lahirin kamu dan dokter bilang semua itu dengan mudah biar mama pelan-pelan ikhlasin abang."

"Mama akan tunggu abang, mama yakin abang denger. Katanya dulu kangen banget sama mama? Ini mama udah di sini, kamu kapan bangun? Mama gak akan siap, kamu harus tau itu," kekeuh Melisa.

Suara pintu terbuka tak mengalihkan pandangan Melisa. Seseorang meletakkan satu kantong plastik besar di atas sofa tak jauh dari ranjang pesakitan. Wiratama mengecup kening Gevan dengan lembut, lalu beralih mengecup kening istrinya.

"Papa udah beliin apa yang mama bilang tadi," ucap Wiratama lembut. Melisa hanya menganggukkan kepalanya tak berniat menjawab.

"Mel, maafin aku." Melisa mengangkat arah pandangnya.

"Gak akan balikin anak aku..." jawab Melisa lirih.

"Dulu, belasan tahun lalu. Aku anggap kalo anak kita yang jadi korban kamu, semuanya bakal clear, nyatanya gak sesuai sama ekspektasi. Kamu mulai menghianati pernikahan kita, dengan bodohnya aku selalu maafin kamu," lirih Melisa tersenduh

"Aku tau, dari jaman kita SMA kamu gak sesayang itu sama aku. Tapi dengan bodohnya aku selalu anggap kamu cinta. Sampai kita udah nikah dan dapet Gevan kamu masih aja kasar kayak dulu. Aku masih inget banget, waktu Abang masih ada di rumah, dia marah banget kalo tau mamanya di jahatin lagi sama Papanya, bahkan sampai sekarang sebelum abang tidur nyenyak gini."

"Abang sesayang itu sama mama nya, tapi apa yang dilakuin mama nya sebagai balasan cinta kasih anaknya?" Wiratama mengalihkan matanya tak kuat melihat Melisa yang menangis, ia maju untuk memeluk wanita itu.

"Aku cuman minta tolong sama kamu, tolong bantuin aku buat bilang sama Allah, tolong jangan ambil anak kita!! Aku mohon...."

"Aku harus tembus semua kesalahan aku dulu Tama," isak Melisa.

"Ini udah lama, kenapa anak aku gak bangun-bangun? Kamu tau, setiap malam aku harus mastiin dada Gevan masih bergerak, jadi tolong bantu aku sampein sama Allah tolong jangan ambil anak kita!!" pinta Melisa menangis.

Wiratama mendongakkan kepalanya tak sanggup melihatnya. Andai ada mesin yang bisa dengan cepat membangunkan putranya. Ia rela menghabiskan hartanya untuk menyewa alat itu, tapi sayangnya duit pun tak ada nilainya di mata Tuhan.

...

Alesha menyelusuri buku yang berjejer rapi di perpustakaan. Berusaha mengendalikan dirinya untuk tak terus memikirkan Gevan, hampir 4 mingguan ini ia terus berusaha tegar. Tangannya meremas halaman buku yang ia pegang, setiap ia datang menjenguk Gevan, kata ikhlas pasti tak pernah lupa disematkan dokter yang menangani Gevan.

Berusaha tak memikirkan itu, tapi sesekali otaknya mengambil alih untuk perlahan-lahan menyuruhnya mengikhlaskan. Tetap saja tak boleh, enak saja pokoknya tidak boleh, Gevan harus tetap hidup, dia harus bahagia dulu. Alesha berjalan keluar dari perpustakaan, di sepanjang jalan cewek itu terus melihat jam tangannya, tak sabar menanti waktu pulang.

GEVANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang