Bagian 7

47 7 0
                                    

"Ke mana Naya? Tumben kalian tidak datang bersama." Fathan bertanya heran.

"Dia demam. Ayahnya menitipkan surat sakitnya padaku." Athalla menghampiri sekretaris kelas untuk memberikan surat sakit Naya.

"Ah, seharusnya kamu temani dia sampai sembuh, dong!"

Athalla menjitak teman sebangkunya itu sebagai balasannya. Fathan mengaduh kesakitan sambil tertawa-tawa.

"Sayang sekali dia tidak masuk, padahal aku ingin meminjamkan komik."

"Sini, titipkan ke aku saja. Nanti aku berikan padanya saat pulang."

"Alah, bilang saja biar kamu bisa bertemu dengannya."

"Kau ini benar-benar-"

"Iya, iya. Aku titipkan anak-anak berhargaku padamu, ya. Tolong jaga dengan baik." Fathan menyerahkan beberapa komik pada Athalla sambil setengah membungkuk.

....

Athalla tidak bisa fokus pada pelajaran hari ini. Matanya terus menatap bangku kosong milik Naya. Ia berulang kali menarik dan mengembus napas berat, membuat Fathan terganggu.

"Sudahlah. Nanti kan kau bisa bertemu dengannya."

Athalla menggigit pensil kesal. Yang dikatakan Fathan benar, tapi pulang sekolah masih sangat lama. Kakinya terus bergerak-gerak tidak sabar karena waktu yang berjalan lamban.

"Athalla, coba kamu kerjakan soal ini!"

Athalla tersentak. Kenapa guru menyuruhnya mengerjakan soal di saat ia sedang tidak memperhatikan? Ia memahami contoh soal lainnya dulu sebentar, lalu maju ke depan. Dia kembali ke bangkunya dengan perasaan bangga karena bisa mengerjakan soal itu dengan baik.

"Aku jadi penasaran, apa kalian diam-diam sudah berpacaran?"

"Tidak, kok. Tidak. Kenapa kamu berpikir begitu?" Gelagapan ia menjawab pertanyaan sederhana itu. Pipinya bersemu merah.

"Hanya penasaran saja. Sepertinya semua orang yang menyadari tatapan kalian pada satu sama lain juga akan penasaran."

Athalla menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia merasa malu. Apakah perasaannya terlihat sejelas itu?

....

Athalla memakan bekalnya dengan kurang bersemangat. Bukan karena masakan budenya sedang tidak enak. Ia hanya merasa ada yang kurang. Setelah ia selesai makan, seorang anak perempuan menghampirinya.

"Athalla, setelah pulang sekolah nanti kamu mau main bersama kami?" tanya Amara dengan nada malu-malu.

Athalla berniat menolaknya, tapi ia pikir bisa saja mendapatkan informasi tentang Erik jika main bersama mereka. Apalagi gadis di depannya ini terlihat seperti anak yang populer. Anak-anak populer di sekolah biasanya saling mengenal, kan? Akan lebih bagus kalau Erik juga ikut main.

"Siapa saja yang ikut? Main ke mana?"

"Mita, Roni, Tomas, Anggi, Sinta, terus Erik juga katanya mau ikut. Biasanya kami pergi ke karaoke atau kafe, sih. Atau ada tempat yang mau Athalla kunjungi? Biasanya kamu main ke mana?"

"Aku ikut kalian saja. Aku tidak tahu banyak tempat di sini."

"Kamu main dengan Naya terus, sih. Palingan dia mengajakmu ke Perpusnas." Mita yang sejak tadi hanya memperhatikan kini ikut nimbrung.

Perkataan Mita tersebut disambut cekikikan oleh teman-temannya. Athalla merasa sangat kesal. Kendati demikan, ia tetap berusah payah mempertahankan wajah ramahnya demi kelancaran rencana.

Kalau bukan untuk Naya, aku juga tidak mau main dengan kalian.

"Jangan begitu. Hanya karena dia bukan teman kalian, bukan berarti kalian boleh bicara buruk tentangnya, kan? Aku jadi penasaran, akan seseru apa bermain dengan kalian," tegur Athalla masih dengan senyum tersungging di bibirnya.

When the Starlight Has Come (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang