Bagian 18

26 5 0
                                    

Bau makanan menguar di seluruh penjuru food court. Pelayan berlalu lalang mengantar makanan pesanan para pelanggan. Makanan pun datang ke salah satu meja yang ditempati oleh keluarga kecil.

"Mas Atha sudah tahu mau pilih jurusan apa di SMA nanti?"

Lelaki yang dipanggil namanya itu mengangguk sambil mengunyah nasi goreng. "IPS saja, Yah. Aku kurang suka IPA," jawabnya setelah menelan nasi goreng di mulutnya.

"Wah, jangan-jangan kita sekeluarga anak IPS semua. Tinggal Ares saja, nih."

"Masih lama sekali untuk tahu itu. Ares saja baru mau masuk SD," timpal Gistara.

"Kalau jurusan kuliah sudah kepikiran belum?"

"Kalau itu masih bingung. Mungkin manajemen seperti ayah."

Gistara memukul lengan suaminya pelan. "Lagian ayahmu ini kejauhan. Athalla itu baru mau masuk SMA, masih ada 3 tahun. Kalaupun sekarang sudah kepikiran mau masuk apa, biasanya nanti akan berubah lagi."

"Iya, sih. Dulu ayah mau masuk psikologi, tapi tidak diperbolehkan sama orang tua, akhirnya malah masuk manajemen. Tapi, ayah jadi dapat pekerjaan dengan gaji bagus, sih."

"Mumpung sedang membahas orang tuamu, mau belikan sesuatu untuk mereka?"

Bagas mengelap mulut Ares yang belepotan es krim. "Tidak usah, lah. Malas aku nanti dikomentari yang tidak-tidak."

Gistara mengusap lengan suaminya, menyuruhnya bersabar karena kekesalan mulai terdengar dari suaranya.

Jantung wanita itu serasa berhenti berdetak saat melihat seseorang memasuki food court. Ia memalingkan wajahnya, berdoa semoga orang itu tidak mengenalinya. Ia memberikan kode pada suaminya. Bagas menoleh ke arah yang ditunjuk Gistara. Athalla yang memperhatikan interaksi kedua orang tuanya ikut menoleh.

Di sebuah tempat duduk yang cukup jauh dari mereka, terlihat sosok yang sangat Gistara benci sedang duduk sambil tersenyum melihat ponselnya. Senyum sosok itu semakin lebar saat temannya datang mengajaknya bersalaman. Senyum itu mengingatkan Gistara akan pemerkosaan yang ia alami belasan tahun lalu.

Bagas berdiri hendak menghampiri pria itu, tapi Gistara menahannya. "Jangan, ayo pulang saja."

Athalla hanya bisa menatap dengan kebingungan karena tidak paham akan apa yang terjadi. Kebingungan lelaki itu semakin bertambah saat ibunya jadi tidak berani keluar rumah sama sekali. Bahkan untuk sekadar ke warung dekat rumah pun, wanita itu seperti orang yang habis melihat hantu. Melamun di kamar seolah menjadi hobi baru yang ditekuni Gistara.

Bagas menghampiri istrinya dengan perasaan cemas karena sudah beberapa hari sejak mereka melihat Rian di sana, Gistara masih merasa was-was. Bagas duduk di lantai, sementara Gistara di ranjang. Hal itu merupakan upaya Bagas supaya Gistara tidak merasa terintimidasi padanya.

"Aku pikir aku sudah sembuh sepenuhnya, tapi ternyata aku masih takut saat melihat orang itu. Aku tidak bisa menghapus kejadian saat itu dari kepalaku. Tapi kenapa dia bisa duduk dengan senyum tanpa dosa di sana sementara aku menderita di sini?!" Wanita itu menangis setelah mengeluarkan isi hatinya.

"Apa yang harus aku lakukan supaya kamu merasa tenang?" Kesedihan dapat terlihat di mata Bagas. Ia tidak tega melihat wanita yang ia cintai hancur seperti ini.

"Aku takut dia akan mengganggu lagi jika tahu tentang Athalla. Bagaimana jika dia mengambil Athalla dari kita, Yah?"

Bagas menggenggam tangan Gista dengan erat. "Hal itu tidak akan terjadi. Athalla adalah anak kita. Orang itu sama sekali tidak berhak atas dirinya!"

Saat itu, mereka tidak tahu kalau Athalla mendengar percakapan mereka. Athalla tahu menguping adalah hal yang tidak baik. Akan tetapi, ia tidak bisa menahan rasa penasarannya saat mendengar namanya disebut. Otaknya memproses dengan cepat. Seketika ia paham, orang yang mereka lihat di food court waktu itu adalah iblis yang membuat ibunya menderita. Monster yang membuatnya mendapat gelar anak haram.

Sejak saat itu, wajah pria itu terus terbayang di wajah Athalla. Ia ingin mengingatnya supaya bisa berhati-hati jika bertemu dengan orang itu lagi di masa depan.

Entah untung atau buntung, hal itu benar-benar terjadi. Ia kembali bertemu dengan pria itu sebagai siswa dan guru. Ia merasa beruntung bisa menyembunyikan rasa terkejutnya ketika bajingan itu memperkenalkan diri sebagai guru Bahasa Inggris di sekolah barunya.

Athalla terus bertanya-tanya, apa mungkin orang itu juga pelaku dari kasus Malaika yang sebelumnya ia dengar? Jika benar, pria itu masih bisa dihukum meskipun tidak sebanding dengan penderitaan yang ibunya alami.

Ia berusaha mendekati pria itu untuk mengulik lebih dalam tentangnya. Athalla merasa pria itu juga sudah mengetahui tentang dirinya melihat dari sikap pria itu saat Athalla mendekat. Pria itu selalu mencuri kesempatan berbicara dengan Athalla, bertanya tentang orang tuanya, bahkan beberapa kali Athalla merasa orang itu membuntutinya.

....

Naya tidak tahu harus bereaksi bagaimana atas informasi yang baru saja diterimanya. Ia khawatir Athalla–yang kini ada di depan Naya untuk menjelaskan semuanya secara langsung–tersinggung melihat keterkejutannya. Gadis itu merasa hawa di antara mereka saat ini sangat berat.

"Kenapa kamu tidak mengatakan padaku kalau kemungkinan Mr. Rian yang membunuh Malaika?"

"Karena aku juga masih belum yakin. Ada tersangka lain yang punya motif lebih besar, kan? Selain itu, kalau kamu jadi aku, apa kamu akan mengatakannya? Aku berniat menyelidikinya sendirian dan memberitahumu ketika sudah dapat bukti yang cukup." Lelaki itu menatap lantai dengan nanar. Kebenciannya pada pria itu jauh lebih besar dari kebenciannya pada keluarga ayahnya. Alasan lainnya adalah aku tidak siap jika kamu membenciku karena ayah kandungku yang membunuh sahabatmu.

"Bukankah menyelidikinya sendirian akan membahayakanmu? Meskipun kamu keturunannya, tapi dia pasti akan menyakitimu jika tahu kamu berniat membongkar kejahatannya."

Pandangan Athalla beralih pada gadis di sampingnya. "Aku tahu. Karena aku tahu, aku tidak bisa membiarkanmu terlibat dengannya langsung. Erik dan pak Wahyu masih dugaan, tapi bajingan itu benar-benar pemerkosa. Aku tidak bisa membiarkanmu berurusan dengannya."

"Kalau dipikir-pikir, memang masuk akal jika Mr. Rian pelakunya. Dia sudah punya track record buruk. Tapi pemerkosaan ibumu itu sekitar 17 tahun lalu, kan? Apa yang membuatnya bergerak lagi setelah sekian lama? Dan kenapa sasarannya Malaika?"

Athalla memberikan beberapa kertas pada Naya. Naya yang sejak tadi bertanya-tanya kertas apa yang dibawa Athalla segera membacanya dengan saksama. Di dalam kertas itu terdapat artikel berita yang Athalla kumpulkan dari sosial media dan web berita daring.

Siswi SMA Meninggal Dunia, Diduga Mengalami Rudapaksa

Senin, 13 Oktober 2006

Pemerkosaan Tunawisma. Benarkah Tidak Ditemukan DNA?

Rabu, 20 Agustus 2011

Pemerkosaan dan Pembunuhan Siswi SMA. Jasad Ditemukan di Rumah Kosong

Selasa, 24 Juli 2016

"Dari semua kasus itu, ada satu kesamaan yang mencurigakan. Semuanya ditemukan tanpa jejak dan korbannya merupakan yatim piatu. Kalau kamu perhatikan, tempat ditemukannya korban juga dekat dengan sekolah kita. Aku rasa selama ini dia tidak diam. Dia melakukan aksinya setiap lima tahun sekali. Entah apa yang membuatnya memilih pola itu. Yang pasti, dia pengecut. Ia menargetkan anak-anak tidak berdaya yang tidak punya keluarga untuk memuaskan nafsunya. Bajingan itu kecanduan setelah menjadikan ibuku korban pertamanya." Athalla menghela napas panjang. "Aku rasa kematian Erik juga perbuatannya. Bukan karena dia sayang padaku dan ingin melindungiku. Dia pasti merasa harga dirinya tercoreng karena Erik sudah menyentuh miliknya, yaitu aku."

Naya semakin tercengang dengan semua informasi ini. Semuanya terlalu masuk akal untuk disebut kebetulan. Tidak pernah ia mengira hidupnya dan Athalla akan berkaitan seperti ini. Tangan si gadis meremas kertas-kertas itu. "Athalla, mari kita jaga jarak dulu untuk sekarang."

When the Starlight Has Come (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang