Bagian 12

30 7 0
                                    

Lelaki itu terbangun karena perutnya yang lapar. Kamarnya yang dingin meski tidak menyalakan pendingin ruangan apa pun membuatnya semakin keroncongan. Timbul penyesalan karena sudah membuang makanan yang ia beli begitu saja semalam. Setelah membuka jendela, ia bersiap mencari sarapan ke luar.

"Athalla, rumah nenekmu kerampokan," ujar sang ayah begitu mereka berpapasan di ruang keluarga.

Mata Athalla yang bermalas-malasan terbuka kini terbuka lebar. "Bagaimana bisa? Perampoknya sudah ditangkap?"

Kepala si ayah menggeleng. "Sepertinya akan sulit untuk menangkapnya."

"Apa saja yang hilang? Ada yang terluka?"

"Kalung mutiara turun-temurun milik nenekmu katanya hilang, ayah belum bertanya lebih lanjut, mungkin banyak perhiasan lain yang juga hilang. Tidak ada yang terluka, tapi nenekmu sepertinya masih trauma."

"Ayah mau ke rumah nenek?"

"Tidak. Sudah banyak orang di sana. Lagi pula, tidak ada yang bisa ayah lakukan untuk membantu," ujar pria itu sembari memakai kaus kakinya.

Athalla duduk di samping sang ayah begitu mendengar jawaban ayahnya. "Ayah masih kesal pada mereka?"

Pria itu menatap putranya. "Selama mereka tidak minta maaf. Wajar kan ayah kesal pada mereka?" Bagas menyadari Athalla memakai jaket. "Mau beli sarapan?"

"Ayah mau? Untuk sarapan di kantor."

"Ayah antar saja sekalian kita sarapan bersama. Ayo."

"Memangnya tidak apa-apa? Tidak telat?"

Pria itu melirik jam di atas kepalanya. "Masih ada sedikit waktu kalau kita bergegas. Mau opor ayam yang biasa?"

....

Asap mengepul dari mangkuk berisi seporsi ketupat opor ayam itu. Athalla memasukkan dua sendok sambal, lalu mengaduknya supaya merata. Begitu ia menyendokkan kuah kuning dengan taburan bawang goreng itu ke mulutnya, rasa gurih dengan sedikit manis dan pedas langsung menyebar ke seluruh lidahnya. Rasa familiar yang sudah lama tidak ia kecap.

"Sarapan apa kamu biasanya di sana?" tanya ayah Athalla setelah memasukkan sebuah kerupuk ke mulutnya.

"Seadanya. Masakan bude, nasi uduk, kalau sedang libur terkadang makan mi ayam."

Pria itu tersenyum tipis di tengah kunyahannya. "Makanmu masih banyak rupanya. Baguslah. Ayah khawatir makanmu berantakan selama di sana."

"Ayah harusnya mengkhawatirkan diri sendiri."

Pria itu tersedak kala kulit cabai yang belum halus melintas tanpa permisi di tenggorokannya. Athalla segera menuangkan air ke gelas untuk minum ayahnya.

Setelah batuk ayahnya mereda, Athalla mencoba menyusun kata-kata yang ingin ia sampaikan. "Soal Ares, kalau ayah kesulitan merawatnya sendirian, bagaimana kalau bayar pengasuh? Atau ... biar Ares ikut Athalla saja," ujar Athalla berhati-hati karena khawatir ayahnya tersedak lagi.

Kening pria itu berkerut. "Maksudnya ikut denganmu? Dengan apa kamu memberinya makan? Kamu mau merepotkan bude lagi?"

Athalla tersentak karena perkataan ayahnya. Yang ayahnya katakan benar. Dia hanya anak-anak yang tidak bisa apa-apa. Dia tidak bisa menggantungkan hidup dirinya dan Ares pada bude yang sedang ia tumpangi sekarang.

When the Starlight Has Come (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang