Bagian 10

51 6 0
                                    

Naya tidak bisa menahan air matanya saat mendengar bagaimana Athalla diperlakukan oleh keluarga besar dari pihak ayahnya. Hatinya sakit mengetahui lelaki yang selama ini kelihatan ceria itu ternyata memendam luka sedemikian parah.

"Setelah mendengar kata-katamu waktu itu, aku sudah mencoba berhenti memedulikan mereka. Aku terima kenyataan kalau mereka akan terus membenciku, apa pun yang aku lakukan. Tapi, apa mereka harus mengatakan hal seperti itu pada adikku? Dia masih kecil, kenapa dia harus mendengar perkataan seperti itu? Kau dengar tadi, kan? Mereka bahkan tidak menjemputnya dari sekolah. Kalau tidak bisa merawatnya, kenapa mereka memisahkan kami?" Nada suaranya bercampur antara amarah dan frustrasi. "Aku sering berpikir, apa yang harus aku lakukan supaya mereka senang? Supaya setidaknya mereka melihatku bukan sebagai anak haram, tapi sebagai manusia. Tapi boro-boro melihat, menyebut namaku saja sepertinya mereka jijik." Athalla tertawa miris. "Aku bingung, apa aku memang semenjijikkan itu, Nay? Begitu tidak layakkah aku untuk dianggap sebagai manusia?"

"Itu tidak benar! Kamu sama sekali tidak menjijikkan. Kamu dan ibumu hanya korban. Merekalah yang bodoh."

Athalla menelungkupkan wajah di telapak tangannya. Bulir-bulir air keluar dari matanya. Naya tahu lelaki itu menangis karena punggungnya bergetar.

"Aku capek, Nay. Aku bingung. Aku hanya ingin hidup seperti anak-anak lain, kenapa sulit sekali?"

Naya mengusap lembut punggung lelaki itu. Mereka tidak peduli orang-orang melirik penasaran ke arah mereka. Naya sedih tidak ada yang bisa ia lakukan untuk membantu Athalla, padahal Athalla sudah banyak membantunya. Ia berdoa pada Tuhan untuk segera menyelesaikan masalah lelaki di hadapannya. Melihatnya seperti ini membuat Naya ikut bersedih. Entah sejak kapan, kebahagiaan lelaki itu juga menjadi kebahagiaannya.

....

Athalla membuka matanya ketika alarm berbunyi. Meskipun matanya terpejam, sebenarnya ia tidak bisa tidur sejak tadi malam. Hal itu menyebabkan kepalanya saat ini sangat pening. Belum lagi rasa mengganjal di hatinya yang entah kapan bisa hilang. Ia memijat kepalanya sebelum beranjak dari ranjang.

Setelah nyawanya terkumpul, ia duduk di meja makan untuk membantu budenya mempersiapkan dagangan. Tangan Athalla mengambil beberapa ikat bayam yang terlihat segar. Dengan lincah ia mulai memisahkan bayam dari batangnya. Sesekali melirik ke arah budenya yang sedang sibuk di depan kompor. Budenya tidak mengatakan apa-apa sejak ia menceritakan tentang adiknya semalam.

"Besok bude mau ke Purwokerto buat bicara sama ayahmu. Aku paham kalau dia berduka, tapi bagaimana bisa dia menelantarkan anak-anaknya? Kalau dia benar-benar mencintai Gista, seharusnya dia merawat peninggalannya, anak-anaknya. Kalau memang dia tidak sanggup, aku akan bawa Ares ke sini. Persetan orang-orang egois itu," omelnya sambil bolak-balik meja dan kompor.

"Bude ke sana sama siapa? Aku ikut, ya?"

"Tidak usah. Bude tidak mau kamu bertemu dengan orang-orang itu lagi. Lagian besok kamu sekolah, kan?"

"Tidak apa-apa. Ada yang ingin aku sampaikan ke ayah. Waktu itu ... aku belum sempat bicara pada ayah."

Wanita paruh baya itu membawa bawang ke meja untuk mengupasnya. "Bude tidak mau mereka menjahatimu lagi."

Athalla tersenyum lembut. "Mereka akan tetap jahat kalaupun yang datang bude. Aku tidak enak kalau bude mendapat perlakuan tidak menyenangkan karena berniat menyelesaikan masalahku. Karena itu, lebih baik kita berdua saja ke sana. Yah, walau mungkin tidak ada bedanya, setidaknya kan kita bisa saling menguatkan."

Sudut mata bude terlihat meneteskan air, entah karena aroma bawang yang ia kupas atau hal lain. Ia mengusap air matanya menggunakan lengan baju. "Seharusnya kamu bisa belajar dan bermain dengan tenang seperti remaja seumuranmu, tapi kamu malah mengalami ini semua. Anak baik seperti kamu tidak seharusnya diperlakukan seperti itu."

When the Starlight Has Come (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang