i ,Suaka Memoar

99 16 5
                                    

Dari balik jendela, terbaringlah satu nona dan agenda. Carut marut kuas kembali disapukan pada sarwa kanvas selesa. Penuh warna, didominasi merah tuk lambangkan anggara─melayangkan pola dari ocehan pikirannya. Uap udara dari humidifier membalut petak kamar, mengisi dengan ambu segar mawar.

Pintu cokelat diketuk. Seorang dahayu berdiri menyandar dengan tangan tertekuk, bicara dengan bibir berlekuk, "Lana tau belum, kalau anaknya Bu Rosa ganteng betul? Bule pula sepertinya."

Lana, si gadis hampir dua dasawarsa berhenti sejenak. Dia menatap ibunya, tapi tidak terlihat tertarik akan topik yang dibawa. "Lalu?"

Ibu menggelar senyum. Wanita setengah abad itu tahu kalau anaknya maniak cowok ganteng, makanya ini dia lakukan sebagai bujuk rayu. "Anakku, tolong belikan Ibu ini di warungnya Bu Rosa." secara ajaib muncul kertas daftar belanja dan uang merah dari lipatan tangan Ibu.

Lana membunyikan decih paham, hafal betul kelakuan ibunya tersayang. "Sisanya buat Lana, ya?" dan dijawab Ibu dengan anggukan.

Gadis itu gegas memijakkan kaki menjauhi rumah, menapaki tiap permukaan aspal dengan melodi lagu Last Night on Earth milik Green Day terputar. Ditemani perarakan awan yang menutupi kelir biru angkasa, Lana mematok navigasi ke warung Bu Rosa di barat daya. Rikma legamnya dimandikan sinar matahari siang, pun lengannya dibawa menyapu sengatan mentari yang mencoba menggapainya. Jakarta panas banget, duh. Sial sekali karena tugas ayahnya, dia harus pindah kemari meninggalkan Yogyakarta, kota tersayangnya.

Perjalanan ke warung Bu Rosa terasa lama, tapi akhirnya sampai juga. Lana langsung dipertontonkan sesosok figur pemuda. Walau dipirsa dari belakang, Lana bisa yakini kalau kata-kata Ibu memang benar. Usut punya usut, anak Bu Rosa memang sangat tampan, kombinasi sempurna antara Asia dan Eropa.

Tubuh lelaki itu dibawa berbalik. Dua rupa bertemu baik, dua pasangan mata saling menilik. Rasanya sudut hati Lana sedikit tergelitik, ada perasaan aneh yang membuatnya bergidik. Entahlah, terasa seperti perasaannya sedang dicabik-cabik.

Pria itu seakan menghadirkan rasa sakit yang teramat besar. Dadanya sakit serasa diremas kuat dan dihantam benda tajam, bahkan tanpa Lana sadari, muncul muara air asin di matanya yang mengalir deras.

"Hei? Kamu nggak papa?" pertanyaan yang sarat nada khawatir berhasil menghancurkan keterdiaman nona.

Lana gesit menghapus air matanya, tertawa canggung setelahnya. "Ah, maaf... Aku nggak tau kenapa tiba-tiba..." Lana seperti terbius sesuatu. Tangisan yang semu, tapi buat Lana risau, mengapa dirinya begitu? Dia bahkan tidak sadar kalau air matanya mengalir tanpa malu.

Si tuan lawan bicara menanggapi dengan kecil lengkung kurva. Membilas aura canggung yang ada, dia berujar tanya, "Mau apa?"

"Mau masnya─MAKSUDNYA mau beli di masnya!!" Lana mengumpati dirinya yang kelewat lemah di hadapan pria tampan. Semoga mas-mas itu mau beri aksama, batinnya.

Dengan senyum yang tidak kunjung luntur, si pemuda lagi-lagi bertutur, "Pertiwi?"

Kali ini membuat tatapan Lana telak membujur. Dari mana cowok itu tahu namanya?

"Ya?"

"Kamu Pertiwi?"

"Namaku Lana. Walau bener ada pertiwinya, sih..."

"Kelana Kasih Pertiwi, anaknya Bu Rima?"

"Panggil Lana aja, jangan Pertiwi." katanya. Bukan mengapa, tapi Lana tidak suka sebab orang-orang kebanyakan mengejek namanya.

"Kenapa? Kamu nggak suka?"

"Kedengeran kampungan banget."

"Enggak. Cantik, kok."

Dilempari kalimat itu, ruang kecil di hati Lana seakan terisi penuh oleh pusaran bahagia. Lana membawa lengkung bibirnya menukik, menyulam senyuman manis yang jarang dia ukir. Baru pertama kali ada yang memuji asmanya. "Makasih. Belum pernah ada yang muji begitu sebelumnya."

"Pasti ada, cuma kamu nggak tau saja."

"Kalau nama masnya?"

Dengan senyum yang masih betah bersarang di durja, si pemuda balas berkata, "Jaka."

Jaka, Jaka, itu namanya. Pemuda blasteran dengan senyum yang tidak pernah luntur dari muka, dan aksen bicara yang terdengar jadul, tidak seperti kebanyakan anak muda. Tapi untuk ukuran orang Jakarta yang penuh stereotip dan skandal, laki-laki ini termasuk yang sopan adabnya.

"Lokal banget, ya. Padahal masnya bule, 'kan? Kirain bakal kayak Jackson atau Steven??"

Derai tawa memancur dari bibir kepunyaan Jaka. "Ada cerita unik di balik pemberian nama saya."

"Wahh, apa kalau boleh tau??"

"Besok saja, ya, Pertiwi. Ini belanjaannya, sudah saya kemas rapi." Jaka menunjukkan seonggok barang hasil daftar belanja yang jadi tujuan Lana kemari.

Gadis itu bahkan tidak sadar kalau sedari tadi Jaka lakukan pekerjaannya di sela laju konversasi yang menyergap. Multitasking-nya patut diapresiasi. Pun di sisi berseberangan, Lana dengan perangai yang selalu haus akan rasa penasaran menolak untuk pergi.

Dia menyatakan keinginannya dengan menggebu, "Sekarang juga nggak papa, aku bisa nunggu."

"Masih saja keras kepala." sudut lancip pigura Jaka lagi-lagi tak tahan untuk berkedut.

Jaka memajukan raga, meninjau kanan dan kiri untuk memastikan tak ada persona selain mereka yang memasang telinga. Kelereng biru kelamnya berlabuh pada kenari cokelat Lana, coba membangun fondasi keseriusan cengkerama dari sana.

"Besok, ketika matahari dengan jingganya hendak kembali ke pelukan jelaga, kamu temui saya di padang. Nanti saya jawab semua rasa penasaranmu."

Lana berdenting kecil, membisu. Kalimat itu bagai menyihirnya, mengangkat kembali goresan abstrak yang bawa nostalgia. Dia yakin pernah mendengarnya─di suatu tempat, atau masa, boleh jadi. Di luar itu, Lana tidak kuasa tebak jawabannya.

Mas Jaka, bule yang terlihat kuno itu sangat penuh misteri.


;; 📜✒️

Aku kembali melihatnya
Ternyata masih sama
Baik rasa sakitnya,
maupun bahagia,
kala melihatnya

Jakarta,
28 April 2024

[ 🎥 :: 19-24 ] ─ start!© 𝟤𝟰 𝄒 𝗆𝖺𝗇𝖽𝗎𝗸𝗰𝗶𝗲𝘀

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[ 🎥 :: 19-24 ] ─ start!
© 𝟤𝟰 𝄒 𝗆𝖺𝗇𝖽𝗎𝗸𝗰𝗶𝗲𝘀

Deviasi: Rekonsiliasi 1924Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang