iv ,Pesan Dari Angin

50 10 8
                                    

Hawa sejuk menerbangkan anak-anak rambut nona Pertiwi. Awan putih mendominasi cuaca hari ini, dengan latar belakang kanvas semesta yang berwarna biru cerah, pula alam tropis Hindia yang hijau. Dersik angin bersahutan dengan suara merpati, seakan menunjukkan keberadaannya dan tak mau kalah keras bersuara dari ingar bingar masyarakat.

Di samping Pertiwi, ada Jakob dengan jas putih rapi dan rambut emasnya yang membara dimandikan sinar baskara. Dengan dipayungi sinar matahari yang tak terlalu mengerahkan cahyanya, pula koloni payoda yang menyelimuti angkasa, mereka berdua menanam jejak di tanah Wilhelmina Park. Kencan di hari Minggu, di tengah-tengah padatnya aktivitas kota Batavia.

Hal menarik yang dapat diceritakan dari Taman Wilhelmina adalah, karena letaknya yang sangat dekat dengan Sungai Ciliwung, pengunjung dapat mendengar suara gemericik air mengalir. Selain itu, di lokasi ini terdapat benteng bernama "Benteng (Citadel) Prins Frederik Hendrik", yang oleh warga pribumi sering kali disebut sebagai "Gedung Tanah", serta sebuah Monument "Waterloo" atau dikenal juga dengan nama "Atjeh Monument". Sebuah monumen yang dibangun untuk memperingati tewasnya para serdadu Belanda dalam perang di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam, "Batavia grondleggers gezag noord Sumatra".

Beberapa pengunjung yang kebetulan orang kaya pribumi membawa semacam bekal atau rantang makanan serta alas kain untuk menyajikan makanan begitu waktu makan siang datang, tidak terkecuali dengan dua sejoli yang juga menerbangkan alas berwarna kuning cerah di atas permadani hijau. Tak lupa, eksistensi keranjang rotan berisi macam makanan. Semua disiapkan dengan begitu matang, semua demi "Rencana Kabur Seharian dari Rumah de Groot" yang sudah disusun dari lama sekali.

Bibir merah muda Pertiwi dibawa menyeletuk satu nama. "Jakob,"

Pun si tuan merasakan kontra. Pandangan mereka bersiborok, dengan ekspresi kesal Jakob yang terpantul dari iris Pertiwi. "Ucapkan," titah yang yang laki-laki, mutlak.

"Ya?"

"Namaku."

"Jakob de Groot."

"Bukan Jakob, tapi Jaka."

"Namamu Jakob, Tuan Muda." tawa si nona mengais ruang udara akibat tuan yang muka kesalnya tak lenggana meluruh.

Pertiwi menelisik makanan di alas kain. Ada onbijtkoek, yaitu kue bolu dengan bahan dasar gandum hitam yang kaya akan rempah. Dia mencomot sepotong onbijtkoek, lalu mengoleskan mentega untuk menyeimbangkan rasa, ditemani segelas susu di samping kiri.

Sementara untuk Jakob, Pertiwi─yang kepalang hafal kalau Jakob menginginkan makan agak berat─mengambil sepotong roti tawar. Roti Belanda terkenal sebagai roti berongga karena menggunakan ragi dalam pembuatannya. Dia mengubah roti tawar polos menjadi hagelslag, yaitu roti tawar yang diolesi mentega atau krim hazelnut, lalu ditaburi dengan mises coklat.

Hasta Tiwi teralih memberikan sepotong roti cokelat yang dibalas tolehan kepala ogah-ogahan. Perempuan itu mendengkus kecil sebelum berkata, "Untuk Jaka." yang memunculkan kembali mentari dari wajah majikannya.

"Terima kasih, Kelana."

"Sama-sama, Jaka."

Selepas pembicaraan kecil itu, mereka menikmati aksi menyantap roti dengan santai. Jakob tidak suka keheningan, maka dia selalu coba bangun pembicaraan. Berbeda dengan di rumah, di mana diterapkan tata krama meja makan yang tidak membolehkan dia bersuara. Di sini, Jakob bisa bebas mengekspresikan apa saja. Dia dan Pertiwi, bebas mengekspresikan semuanya.

"Jaka, tentang pembicaraan kita kemarin. Aku ingin tahu, hadiah yang mau kauberi untukku." Tiwi menonaktifkan acara menyantap rotinya untuk mendapat jawaban dari lelakinya.

Deviasi: Rekonsiliasi 1924Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang