ii ,Pada Suatu Masa

70 12 6
                                    

Batavia, 1915

Namanya Pertiwi. Kasih Pertiwi. Lahir dari pasangan pribumi, ketika warsa mulai menjejali angka 1907. Ibu dan bapaknya mengajarkan, bahwa hidupnya tidak berarti di sini, kecuali untuk mengabdi. Mengabdi kepada keluarga de Groot, yaitu Meneer Joffrey dan Mevrouw Rosanne. Hollander itu adalah majikannya, sekaligus pemegang kelangsungan hidup mereka.

Joffrey de Groot, si Belanda totok yang sukses sebagai pebisnis. Dialah pemilik ladang-ladang, pun sawah-sawah yang terbenam di tanah Batavia. Bersama istrinya, Rosanne, dia tinggali pinggiran kota, membangun wisma megah nan mewah, serta mengelola ladang dan peternakan di sana. Rumah mereka yang besar tentu tak mungkin dibereskan seorang Nyonya Besar Eropa seorang diri. Dengan suami yang selalu pergi kerja, dia tak kuasa mengurus ratusan hektar ladang maupun sawah, kebun, serta puluhan kuda dan hewan ternak lainnya yang mesti diberi pakan dan perawatan. Belum lagi untuk mengurus anak, ataupun berbagi malam hangat di ranjang bersama sang Tuan Besar.

Makanya, rumah tangga akan diurus orang-orang yang disebut baboe. Dan ibunya Tiwi adalah orang yang termaktub dalam profesi itu. Dialah pribumi yang bertugas sebagai emban, pengasuh anaknya Joffrey dan Rosanne. Mereka hanya punya anak tunggal, laki-laki pula, tapi dua-duanya terlalu fokus dengan kehidupan glamor nan sibuk milik Nederland.

Ibu selalu sibuk dengan si anak laki-laki, melupakan Tiwi, melupakan kulawangsa asli. Tiwi kecil sebal, Bapak juga sibuk menggarap ladang, dia tidak dapat perhatian. Lantas gemuruh berkecamuk di sanubari gadis cilik itu, membuatnya tantrum yang bikin pusing Ibu dan Bapak tujuh keliling.

Berita amukan gadis cilik itu sukses mengetuk gendang rungu Mevrouw Rosanne yang baik hati. Wanita berambut pirang panjang itu lalu mempertemukan Pertiwi dengan putranya. Seorang anak laki-laki yang tampan, kepalang tampan!

Dikatakan, namanya Jakob de Groot. Anak laki-laki yang sirahnya ditumbuhi surai pirang menyala-nyala, ikal dan terlihat lembut seperti wol domba. Wajahnya dihuni titik-titik konstelasi, pipinya merah bagai buah persik matang. Pun kulitnya begitu putih, sampai Tiwi yakin kalau itu bisa mengalahkan putihnya awan di siang buta. Hiperbola, itu biasa. Yang paling menarik adalah netra biru gelap yang memancarkan ketenangan sekaligus keanggunan, bagai melihat laut hanya dengan menatapnya.

Kendati, Tiwi kecil belum tahu apa itu terpesona. Dia malah tudingkan telunjuknya, lagi-lagi membikin Ibu panik. "Kamu! Kamu yang curi ibuk dari aku!" katanya dengan pekik.

Si Jakob malah bersembunyi di belakang Mammie-nya. Rasa puas menyeruak dalam diri Tiwi, tak tahukah dia kalau Ibu panik setengah mati takut diusir dari sini? Hidup mereka yang bergantung dari gulden keluarga de Groot betul-betul di ambang keboyakan.

Rosanne membelai lembut surai putranya, berkata dengan sayang, "Tidak apa, Jake. Mammie kenalkan kawan untukmu. Namanya Pertiwi, anak Yu Agni."

Pertiwi kecil seketika berbinar mendengar kata 'kawan'. Di lingkup de Groot, hanya dia seorang yang masih kanak-kanak, tidak ada yang sebayanya. Kala tahu dia akan dapat teman, hastanya langsung tersodor ke depan, bermaksud menjabat tangan anak Belanda yang masih malu-malu sembunyi di ketiak ibunya.

Dan, segala drama kecemburuan Pertiwi maupun kesepian milik Jakob berakhir ketika mereka menjabat tangan satu sama lain. Senar asa masing-masing telah terukir dan terpilin menjadi rasa saling mengasihi dan menyayangi. Kini, mereka teman. Teman yang baik, terlalu baik malah, sebab Jakob kini jadi hitam karena matahari kerap ambil kesempatan untuk mengecupnya. Mammie-nya bahkan berang waktu tahu anaknya selalu pulang dengan bau kecut mentari dan kulit putihnya yang terbakar merah-merah, sebelum matang jadi gosong.

Tetapi dua bocah cilik itu mana ada peduli. Mereka sibuk melanglang buana kosmos Batavia sepanjang hari: menjejaki hutan, ikut membajak sawah dengan naik kerbau, serta menemani orang-orang di kebun bekerja. Kalau dapat buah, ya, mereka makan. Enak! Bahkan Jakob mulai ikuti permainan Tiwi, yaitu masak-masakan. Dalam artian menumbuk dedaunan dan tanah.

Tetapi, perlu digarisbawahi, kalau mereka berbeda. Dari warna kulit, bahasa, kehidupan, semuanya berbeda. Itulah yang tertancap dalam hidup mereka, itulah belenggu rumit yang membungkus diri mereka, tanpa bisa mereka kendalikan sekalipun.

Ibu dan Bapak mengajarkan, Tiwi tidak boleh melewati batas. Tapi, berteman dengan Jakob de Groot sudah termasuk melewati batas. Andai Mevrouw Rosanne tahu bagaimana ke depannya, boleh jadi dia akan mempertimbangkan ratusan kali tindakannya.

Kamu jangan melewati batas. Oleh karena itu, Tiwi berusaha tidak iri ketika melihat Jakob setiap pagi berangkat sekolah. Dia bisa mengenyam pendidikan, beda sama Tiwi yang malah mengenyam ocehan bersama ayam-ayam atau tercampur dengan lenguhan sapi.

Kamu jangan melewati batas. Oleh karena itu, Tiwi berusaha tidak iri ketika banyak pesta diadakan di wisma megah itu, sementara dia hanya bisa memandang kelap-kelip lampunya dari gubuk. Gubuk remang dengan cahaya kuning lampu teplok, pula dengungan nyamuk sebagai musik pengantar tidur. Nyamuk, katak, jangkrik, bahkan kadang dari hewan ternak, bukanlah dari musik piringan hitam mahal milik para Eropa.

Kamu jangan melewati batas.

Kamu jangan melewati batas.

Lagi-lagi, mereka anak kecil. Ibu sudah berbusa mulutnya sebab sering betul menasihati putrinya untuk tidak terlalu dekat dengan si tunggal de Groot. Tiwi yang patuh juga sudah memasang jarak, tapi Jakob selalu gigih menghapus jarak itu. Jakob akan selalu menemuinya, bagaimanpun caranya. Mereka bahkan membuat nama samaran sekarang. Jaka, untuk Jakob. Dan Kelana, untuk Tiwi. Katanya dibuat sebab gadis itu suka berkelana, alias melipir ke mana-mana. Kalau nama Jaka, katanya hanya itu yang terlintas di pusat otak Tiwi. Untung pria kecil itu senang berseri-seri.

Hari itu sudah sore, mau magrib. Para dua anak bandel masih bercokol di bale-bale sawah. Cakrawala yang membentang mulai memudarkan biru indahnya, digantikan paduan rona jingga keunguan, tanda lembayung menerpa. Sepoi-sepoi bayu berembus, berhasil membuat sejuk epidermis tubuh.

"Aku tidak bermaksud ambil ibumu. Mammie dan Pappie tidak sayang aku, makanya Yu Agni jadi mengurus aku." Jakob bicara dengan bibir menekuk layaknya bebek yang sedang mandi lumpur di sawah depannya.

"Meneer dan Mevrouw itu sayang Jake. Tiwi juga sayang Jake!" deretan gigi milik Tiwi ditunjukkan, dia tersenyum manis. "Tidak apa. Ibuku itu ibu kita berdua!"

Dan begitulah, dua anak kecil itu terus berteman.

Dan berteman.

© 𝟤𝟰 𝄒 𝗆𝖺𝗇𝖽𝗎𝗸𝗰𝗶𝗲𝘀

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

© 𝟤𝟰 𝄒 𝗆𝖺𝗇𝖽𝗎𝗸𝗰𝗶𝗲𝘀

Deviasi: Rekonsiliasi 1924Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang