vi ,Bumi Hindia

23 7 12
                                    

Parade awan tampak meramaikan birunya awang-awang. Dalam rengkuh taman kediaman de Groot, serumpun mawar putih mekar dengan apik. Pertiwi di dalam sana bersenandung kecil, deriji-derijinya aktif mengayomi seluk-beluk kelopak dan batang. Pula mentari sempat meninggalkan kecup semu 'tuk koloni mawar, titipkan harapan agar mereka tumbuh baik dan cantik laksana persona yang merawatnya.

"Hmm~ harum sekali. Kalian sudah menepati janji padaku untuk tumbuh dengan baik, ya," kata si gadis, kala hidungnya menyesap ambu dari mawar-mawar yang dengan bangga membentangkan kelopaknya.

Pelan-pelan Tiwi membenahi sulur-sulur yang teronggok acak. Duri-duri tajam si mawar dikikis dengan rapi, hasilkan simetri yang buatnya senyum berseri. Mawar putih ini adalah kesayangannya, dia siapkan sepenuh hati untuk Tuan Muda tercinta. Kendati tiba-tiba air mukanya membentuk sepercik raut tak suka.

Pada mulanya, setangkai mawar putih adalah bunga yang pertama kali diberikan Jakob kepadanya, sebab katanya mawar putih adalah simbol keabadian cinta, juga bunga yang Jakob rasa mirip dengannya. Dan kini, mawar-mawar ini adalah hadiah untuk Jakob dan tunangannya. Disiapkan sebagai dekorasi pertunangan mereka, dengan Pertiwi yang mengurus untuk tunjukkan lambang abdinya.

Si dara telah terlarut dalam urusannya, tidak sadar akan eksistensi Tuan Muda yang sejak tadi berdiri di belakang sana. Jakob menyandar pada pilar sambil bersilang dada, ekspresinya sarat akan taksa. Pemuda itu memajang sorot tajam, terpoles corak asing pada bola mata. Relung jiwanya dipenuhi kabut-kabut emosi antah-berantah yang tidak diketahui namanya, sebab teringat kata-kata sang ibunda.

"Segeralah ucapkan selamat tinggal pada Pertiwi. Orang tuanya telah mempercayakannya kepada orang lain. Dia 'kan pergi esok."

Jakob tidak bodoh untuk bisa ambil konklusi kalau gadisnya akan segera dinikahi. Dirinya telah dikerubungi labirin emosi, selalu memutar keping-keping ilusi akan dirinya dan Pertiwi yang menggilas seluruh realita, hanya tayangkan fatamorgana. Bahkan akal sehatnya tak kuasa mengatasi. Dari situlah dia biarkan impulsifnya ambil alih diri, ciptakan pawarta yang tak sempat dipikirkan dampak jangka panjangnya: kawin lari.

"Tiwi," suara itu berdenting mengetuk gendang telinga Pertiwi. Perempuan itu memutar hulu, sontak mukanya penuh semarak bahagia kala temui entitas yang ditunggu.

Tiwi berhambur ke pelukan Jakob. Dengan sayang si pemuda usap lembut gadisnya dalam rengkuhnya, bubuhkan kecupan manis pada puncak kepala. Bena rindu yang membuncah berhasil ditumpas, sampan afeksi berhasil berlabuh selepas berlayar dalam gulungan-gulungan riuh tempias. Surai hitam Tiwi dipilin halus yang buat si gadis terdistraksi. Tiwi beralih membingkai wajah sempurna prianya, meninggalkan ciuman tepat pada bibir, menuangkan cinta sebanyak mungkin. Jakob kembali peluk erat sang dahayu, pula sepertinya Tiwi yang tak berniat menyudahi acara melepas rindu.

Setelahnya, Jakob mengecup telinga Tiwi yang langsung refleksikan rona merah, sebelum akhirnya membisikkan klausa yang berhasil sudahi pelukan keduanya. "Menikahlah denganku."

Pertiwi mundur beberapa langkah. Dari tangkapan netranya, sang pria tampak berbeda. Itu bukan Jakob yang biasanya, spekulasinya berkata ada sesuatu yang menjadikannya enigma. "Jake..." lirih si dara. "Tidak bisa..."

Jakob di seberang masih berdiam diri. Dari mukanya tak ditemukan secuil ekspresi, namun tak lama terpahat sebuah seringai. "Karena kau memilih orang lain? Kau 'kan meninggalkanku hari ini juga, betul?"

Maka, Tiwi tidak bisa menahan ekspresinya terkejutnya. Dia sengaja tidak memberi tahu Jakob agar tidak merebut fokus pemuda, tapi dia lupa bahwa semua orang di kediaman de Groot punya mata dan telinga.

"Tidak perlu kaget, aku sudah tau." Jakob di seberang tertawa. Tangannya yang semula bersembunyi di balik lipatan kini terbit memantulkan cahaya, sebuah cincin keluar dari sana. Tiwi dibuat kembali terkejut, sedangkan Jakob mengulum senyum kabur. Dirinya perlahan maju menyambangi gadisnya. "Tapi mana aku peduli? Terimalah, Tiwi," ucapnya, menyodorkan cincin yang sayangnya tak kunjung diterima pemudi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 6 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Deviasi: Rekonsiliasi 1924Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang