iii ,Dua Amatiran

58 10 5
                                    

kalimat bergaris miring artinya bicara dalam bahasa asing.

─ ੭୧ ─

Batavia, 1924

Matahari menyamankan diri di singgasananya, di puncak tertinggi. Sinar terangnya tumpah-ruah membanjir bumi, merajut kain guna hangatkan bumi. Di pelosok Batavia, seorang Pertiwi tengah lakukan aktivitas menjemur pakaian, mumpung terik cuaca, dengan kepungan awan siang di udara.

Begitu panasnya waktu itu, sampai-sampai peluh membasahi tubuh dan badannya dengan brutal. Meski demikian, Tiwi tetap lanjutkan pekerjaan dengan sadrah. Ya, mau bagaimana lagi, dia 'kan memang bekerja untuk mengisi pundi-pundi. Beda dengan Tuan Muda yang sedang sekolah, yang dia tunggu kehadirannya sejak tadi.

Kelir putih tiba-tiba saja disibak. Pria dengan rambut emas pelakunya, Jakob de Groot yang kini memampangkan wajah gembira. "Selamat pagi."

Pertiwi tersenyum sambil menggantung kain. "Het is geen ochtend meer, Jonge Meester."

[ Ini bukan lagi pagi, Tuan Muda. ]

"Benar juga," kelakarnya.

Sekonyong-konyong tangan pucat Jakob tarik pergelangan langsat kepunyaan Pertiwi, membawanya menjauhi pelataran. Bersama dengan burung-burung yang hilir mudik di udara, Jakob berlari menuju paviliun liliput dengan tangannya yang masih betah mengurung milik Pertiwi.

Mereka menjatuhkan diri di paviliun, efek terkuras energinya akibat kabur kalau-kalau ada yang melihat. Selagi keduanya menabur tawa, Jakob tangkap rambut legam Pertiwi yang menjuntai indah, dipilin dengan irama konstan.

"Terlampau banyak kuhabiskan waktuku di sekolah, sampai aku kehilangan banyak waktuku untukmu."

"Zeg dat niet." Tiwi ambil tangan Jakob dari rambutnya, beralih dia genggam tangan itu erat-erat. "Jake harus sekolah, supaya jadi manusia hebat suatu saat."

[ Jangan katakan itu. ]

"Seperti Pappie?"

"Groter dan de Meneer."

[ Lebih hebat dari Meneer. ]

"Bicaralah dengan bahasa Melayu, Tiwi. Aku ingin dengar."

Pertiwi memilih menolak. Dia tunjukkan kemampuan berbahasa Belandanya sebagai ucapan terima kasih kepada Jakob yang berbangga hati mengajarinya. Pun kepada Nyai Gayatri, seorang nyai pendiri sekolah untuk para bumiputra. Sedikit yang tidak Tiwi ketahui, Nyai Gayatri bekerja sama dengan Jakob sebagai dalang di balik rumah ilmu kecil-kecilan itu. Awalnya dibuat khusus untuk Tiwi, namun berkembang menjadi untuk umum.

Siapa saja boleh datang, menjadikan muridnya bermacam-macam. Mulai dari paruh baya, anak remaja, hingga bocah-bocah pribumi, keturunan Cina, Arab, India, ataupun anak blasteran lainnya.

"Tiwi harus membiasakan diri," jelasnya, masih dalam bahasa Belanda.

Jakob mengesampingkan kata-kata Tiwi barusan. Dia sibuk memadu retina dengan yang terkasih, tahu-tahu dia sudah curi kecupan dari bibir yang merekah manis. Dan dengan kurang ajarnya wajah elok itu malah tampilkan senyum kemenangan. "Tahukah engkau, Tiwi? Konon ada ungkapan, di samping suami yang hebat, ada istri yang hebat pula. Menurutku, Pappie bisa sehebat ini sebab ada Mammie."

Deviasi: Rekonsiliasi 1924Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang