(9) Hao was Clueless, and Still is

122 11 0
                                    

Chapter ini boleh dianggap damage control, sedikit peringatan, mungkin untuk diperiksa lagi setelah chapter-chapter lain sudah rilis.

Zhang Hao adalah anak yang kuat. Sebenarnya ia adalah pribadi yang cukup peka, sensitif dan memiliki sisi emosional. Hanya saja ia sudah terlalu ahli dalam menciptakan topeng untuk menutupi perasaan sebenarnya. Bisa saja hatinya sedang bergemuruh dan pecah dan berserakan, tetapi wajahnya menampilkan senyum hangat seperti hidupnya bergantung dengan itu. Mungkin ia akan melepasnya ketika ia sedang sendiri, mungkin sedikit menangis dan memanjatkan doa. Selama ini pun ia baik-baik saja hanya dengan melakukan itu.

Hao adalah yatim piatu. Ia juga memiliki seorang kakak, namun kakaknya itu juga telah tiada, berangkat bersamaan dengan kedua orangtuanya.

Semua bermula ketika tiga anggota keluarga kecil itu secara tiba-tiba terjangkit penyakit menular. Awalnya tidak ada yang curiga, karena mereka pikir itu hanya penyakit menular biasa. Mereka mengupayakan kesembuhan dengan perawatan yang konsisten, namun nyatanya ajal menjemput mereka secara bersamaan.

Pada saat itu, yang merawat pasangan Zhang dan sang kakak adalah nenek dari pihak ibu, dan mereka juga memperkerjakan satu perawat. Berhubung Hao masih terlalu muda untuk memberi bantuan secara penuh, maka ia hanya sesekali menolong sebisanya. Anak itu bahkan masih sedikit terlalu muda untuk memahami konsep kematian.

Karena syok berat, sang nenek berubah. Beliau tak lagi sama, seperti sepenuhnya berubah wajah. Beliau kini sangat mudah terpancing emosi, bisa menjadi kasar hingga main tangan dan banyak menghabiskan waktu untuk berbelanja, menghamburkan uang untuk kegiatan keluar rumah yang tidak perlu. Beliau bisa saja meninggalkan Hao sendiri di rumah tanpa menanyakan kabar, sementara beliau berekreasi dengan teman-teman lamanya. Sang nenek bagaikan memiliki dua jiwa yang berbeda, bagaikan berkepribadian ganda. Ketika beliau di luar rumah, beliau akan tampil mewah dan banyak tertawa. Namun, ketika di rumah, beliau kembali menjadi sosoknya yang penuh amarah.

Rumah besar itupun hanya ditinggali Hao dan neneknya. Memang benar, dulu Hao hidup dengan sangat tercukupi berkat tingkat profesi ayahnya---rumah itupun adalah hasil keringat beliau. Namun kini rumah itu nampak menyedihkan, bahkan dengan Hao yang masih berusaha merawat sebisanya. Pihak keluarga yang lain acap kali mengirim bantuan berupa uang, sembako dan keperluan lain. Naasnya, bantuan yang berupa uang sebagian besar hanya akan digunakan oleh neneknya. Yah, Hao masih berusaha untuk mensyukuri karena paling tidak ia terkadang masih diberi jatah ketika sang nenek sedang punya hati nurani. Toh, ia sanggup mengatur pengeluaran dan mengendalikan keinginannya.

Maka, apakah Hao menyimpan trauma?

Tidak.

Tetapi, kehampaan dalam hatinya tak dapat dipungkiri. Itu titik di mana ia merasa sendiri; ia kesepian.

Karena itu Hao sangat menyayangi Jiwoong sebagai temannya, tetapi bukan karena kemewahan materi yang mengitari anak itu. Dengan Jiwoong, ia bisa menjadi dirinya yang kadang manja dan sensitif, karena mau serapuh apapun dia, Jiwoong akan mengimbanginya dengan cara tersendiri untuk menghibur. Sifat Jiwoong yang jahil dan blak-blakan justru membantu memberi warna dalam dunianya yang kelabu. Ia bisa saja kesal karena celetukan temannya itu, namun sekaligus terhibur dan merasa geli sendiri, dan semua kepedihan dalam hatinya akan terasa konyol. Berkat si sahabat, mau sesedih apapun, senyumannya pasti akan kembali.

Hao kini merasa beruntung, sekaligus merasa memiliki hutang, juga kadang terbebani. Ia beruntung karena Jiwoong-nya yang berharga akan tetap bertahan dalam rengkuhannya. Ia tahu lelaki itu tak akan meninggalkannya, karena bahkan ketika ia tak memiliki apapun untuk dipamerkan pun temannya itu menetap. Hao tidak punya rencana untuk menjadi orang yang punya harga mahal dan gengsi dalam namanya di masa mendatang, tetapi jika berbicara soal jangka panjang, ia ingin membuat Jiwoong terus bertahan dalam genggamannya. Entah Jiwoong nanti akan menjadi sosok seperti apa ketika dewasa, Hao berharap namanya akan selalu menjadi yang paling sering terucap, yang paling sering terlontar melalui bibir tipis lelaki itu. Oleh karenanya, ia selalu berusaha menjadi yang selalu ada, selalu bersedia untuk mendengarkan apa saja dan menghibur kapan saja. Yah, soal berkelahi dan berselisih itu sudah wajar, namanya juga anak lelaki. Toh mereka akan kembali bersama paling lama setelah beberapa hari.

Memang benar, perumpamaannya Hao hanyalah setitik jiwa kesepian yang sebelumnya hanya berjalan mengikuti angin, yang lalu kebetulan bertabrakan dengan Jiwoong.

Mengesampingkan sisi sentimentilnya, Hao juga mengagumi Jiwoong. Seharusnya ini tidaklah mengherankan, karena,... siapa lagi yang bisa seberuntung Hao untuk memiliki teman yang bisa ia kagumi setiap saat? Jiwoong itu sangat tampan, walau anak itu merasa sebaliknya. Hao tidak percaya, tetapi memilih untuk tidak berargumen soal itu. Yang penting hatinya tulus mengagungkan sosok si sahabat. Jujur saja, bukankah ketidakpercayaan diri Jiwoong adalah penghinaan??

Hao mungkin saja jatuh hati, mungkin saja tidak.

"Kayaknya aku bakal cinta mati-matian sama kamu kalo misal aku lahirnya perempuan." Ungkapnya pada suatu malam yang sunyi, ketika keduanya sedang beristirahat bersama di kediaman Kim. Ia sama sekali tidak menutup-nutupi raut kagumnya. Binar matanya jujur dan transparan, dan, harusnya Jiwoong melihat itu, batinnya.

"Aku nggak." Timpal Jiwoong santai, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.

Sakit?

Hmm, yah! Cuma sedikit.

Tetapi Hao percaya ia perlu mendengar itu. Tak apa, setidaknya ia sempat merasakan indahnya melayang di atas awan sebelum ditarik kembali ke bumi. Maka ia hanya tertawa singkat.

Ya, walau ia punya kesadaran diri, ada satu kekurangan Hao.

Ia tak tahu apa itu cinta.

Karena itu, ia kadang bingung,... Jiwoong itu apa?

[✓] [YOU]TH ㅣ HAN YUJIN & KIM JIWOONGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang