(16) Untuk Hao, itu Bukan Apa-Apa

79 9 0
                                    

And just like that, doa Jiwoong dikabulkan! Ia begitu bersyukur ketika yang menyambutnya di pagi hari adalah hidung mancungnya itu, yang mengingatkannya pada paruh burung pemakan biji-bijian.

Tentu Yujin dan Jiwoong tidak berharap pada bintang malam sebelumnya. Aduh, Jiwoong, mohon dibedakan, karena pada malam itu, sebelum mereka bertukar tubuh untuk pertama kalinya, Yujin bukan berharap pada bintang, namun berharap pada Tuhan sambil memandangi bintang!

Ah, sudahlah.

"Heh---Hao!!"

Kebetulan Hao telah tiba ketika ia memasuki kelas. Dengan tergesa-gesa Jiwoong menghampiri sahabatnya yang terduduk di bangkunya. Mata anak itu nampak sedikit lebih keruh dari biasanya. Jiwoong mau tak mau berasumsi itu gara-gara dia.

"Ya...?" Aduh, suaranya seperti tak bernyawa...

"Aku minta maaf, Hao. Aku bener-bener minta maaf." Jiwoong bahkan menunduk sembilan puluh derajat di hadapan temannya.

"Jiwoong, nggak papa, kok---"

"Bo'ong!!"

"Oke, oke... Aku bohong kalo aku bilang aku nggak sedih, tapi nggak papa, emang aku mau ngambek berapa lama?" Hao menarik ujung bibirnya dengan sedikit paksaan. "Aku beneran kali ini. Kamu nggak usah mbeliin apa-apa. Kalo boleh berharap, aku cuma pengen ditemenin kamu."

Karena memang awalnya Jiwoong berniat untuk kembali mengajak temannya itu menginap, maka ia mengiyakan. Hao hanya perlu membawa kelengkapan sekolah untuk esok seperti biasa karena pastinya mereka akan berangkat bersama.

Bedanya, pada hari itu, Jiwoong menemani Hao ke kediaman anak itu sebelum pulang kembali ke rumahnya sendiri. Dan, seperti tebakannya, nenek Hao sedang tidak ada di rumah.

Setibanya di kediaman Kim, sebelum melangkah masuk ke dalam rumah, Hao dan Jiwoong berbincang-bincang seperti biasa, sesekali tertawa dan sedikit melontarkan candaan. Tetapi, ketika Jiwoong membuka pintu ruang tamu, dan bahkan belum masuk terlalu dalam, ia sudah disambut sang ayah yang menatapnya tajam.

"Bisa ngomong sama ayah sekarang?" Tanya tuan Kim dengan nada tegas. Untuk sesaat, Jiwoong dan Hao hanya terdiam.

"Di sini aja... kan?" Jiwoong berusaha mengamati situasi. Tak dapat dipungkiri, suasananya membuatnya waspada.

"Otakmu itu ternyata busuk gara-gara ketemuan sama paman Choi, ya? Keparat itu, kah, yang nyuci otakmu? Yang bikin ayah malu punya anak kayak kamu?!"

Jiwoong benar-benar terkejut, karena,... apa-apaan?? Mengapa pria itu menyerangnya seperti ini tanpa aba-aba? Bukannya pria itu tidak terlalu pandai bercanda?

"Ayah, ini---ini ada apa??" Jiwoong menatap ayahnya heran. Ia benar-benar gagal memahami situasi. Ibunya yang muncul dengan raut yang kentara sedang menahan tangis pun tidak membantu.

"Ternyata kamu kenal sama paman Choi, ya? Brengsek yang sok-sok pintar dan yakin masa depannya terjamin akan baik-baik saja itu?? Yang ngeremehin peluang untuk membangun keturunan bermutu??"

pls I'm sorry this sounds so ridiculous

"Ayah, adikku itu nggak salah!" Nyonya Kim menengahi, berusaha menenangkan situasi. "Coba dipikir, memangnya anak-anak gak boleh milih jalan mereka sesuai kemampuan---"

"Jadi kamu bakal diem aja bahkan kalo kamu tau anakmu ini sama bodohnya kayak adik sialanmu itu?" Tuan Kim berganti memarahi sang ibu. Perlahan-lahan otak Jiwoong paham keadaan, sekaligus menahan rasa pedih yang tumbuh di hati.

"Ayah..." Jiwoong membuka suara, dan pita suaranya menjadi bergetar karena emosi yang memuncak. "Sebenernya ada apa, sih...?"

"Tamumu kemarin itu..." Ayah Jiwoong menunjuk asal ke arah pintu. Bagi Jiwoong, amarah pria itu sama sekali tidak masuk akal. "...anak pungutnya paman Choi, bukan? Pantes aja mukanya gak asing. Ternyata kamu dipengaruhi kebodohan mereka, ya? Mereka beneran pembawa sial, ya?"

"Ayah, sudah!! Kalo ayah mau hina aku, hina aku aja, gak usah orang-orang lain---"

"Liat coba pengaruh buruk dari pernikahan kita!!" Tuan Kim membentak istrinya.

Keheningan yang merambat setelah itu rasanya mencekik, seakan-akan bisa menghisap semua udara, bahkan menusuk sampai ke dalam kulit dan meremas kepala Jiwoong yang berdenyut.

"Memangnya ayah siapa sampe ngehina banyak orang sekaligus?" Ucap Jiwoong, walau dengan suara kecil dan bergetar. Karenanya, sang ayah yang entah bagaimana tersulut emosi menembakkan tatapan tajamnya.

"Keluar." Ucap Tuan Kim, yang terdengar seperti perintah final. "KELUAR!!"

Jiwoong sudah tak tahan, tetapi tetap menuruti perintah ayahnya yang absurd itu. Ia juga tak mau jika harus satu atap dengan pria itu barang semalam lagi, maka Jiwoong menggandeng tangan Hao dan menariknya menaiki tangga menuju kamar.

"Ji-Jiwoong--"

"Gini amat cinta sama sekolah. Aaghh---sialan, pengen cepetan lulus, sumpah!! Rasanya kek buang-buang waktu aja!" Racau Jiwoong selagi ia mulai mengepak barangnya, memasukkan buku-buku pelajaran dan seragam dan pakaian lain ke dalam koper. Tidak lupa ia mengambil perlengkapan lain yang sekiranya akan ia perlukan.

Hao hanya berdiri dengan kaku di tengah-tengah ruangan. Ingin membantu pun ia tak tahu harus mulai dari mana. Paling tidak, Jiwoong yang tidak ikut-ikutan mengusirnya saja sudah cukup. Yah, walau melihat Jiwoong meneteskan air matanya selagi ia bergerak kesana kemari dengan gesit menyakiti hatinya.

"Jiwoong... Jiwoong, kamu beneran mau... keluar...?" Hah,... Hao tahu pertanyaan itu bodoh...

"Kamu ikut?" Jiwoong bertanya dengan serius. Walau intonasinya dingin, seperti hatinya dimatikan untuk sementara, sorot mata si sahabat seakan-akan tengah meyakinkan Hao bahwa ia tak ingin ditinggal sendiri.

Hao pun mengangguk.

[✓] [YOU]TH ㅣ HAN YUJIN & KIM JIWOONGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang