(11) Apakah pada Malam itu Langit Juga Bertabur Bintang?

121 12 0
                                    

Jiwoong terbangun dari tidurnya yang tanpa mimpi, dan kemudian mengucek mata sebelum membukanya perlahan. Ia dapat merasakan dinginnya kamar yang gelap tanpa penerangan lampu memberikan sambutan familier. Selimut empuk dan tebal yang membungkusnya rapat juga membuatnya merasa seakan menyatu dengan kasur.

Eh, sebentar...

Sekonyong-konyong Jiwoong bangkit menjadi posisi duduk. Ia mengedarkan pandangannya, dan meraba-raba wajahnya.

Astaga,...

Ia kembali!!

Dengan tergesa bocah itu melompat menuruni kasur dan berlari menuju cermin full body yang terletak di dekat lemari. Di sana, ia mendapati penampilan dirinya tersenyum balik dengan cerah.

"Yes!!" Soraknya. Ia lalu menyambar ponselnya yang sedang di-charge, dengan niatan menelepon Yujin untuk memberi kabar.

"Jiwoong...? Kenapa bangun?"

Jiwoong menoleh ke arah kasur, mendapati sahabatnya yang terbangun dengan mata yang masih terlalu berat untuk dibuka. Ya ampun, Jiwoong merindukan pipi gembil anak itu!

"Ututuu, Jjang Pao, Jjang Paoooo~!!" Jiwoong berlari menuju kasur dan menghajar sahabatnya yang masih setengah sadar dengan cubitan brutal di pipi. "Apa kabar aduh sayangku cintaku kicikku maniskuu~~!!!"

Hao malang yang terpojok ke dinding mulai menggeleng-geleng dan memberontak dan merengek namun Jiwoong tidak memberinya kelonggaran, dan justru meremas wajah anak itu untuk menahannya selagi ia menghujani pucuk kepala dan pipinya dengan kecupan, menyerangnya tanpa ampun. Sesekali ia menggumamkan kata-kata sayang yang tidak terlalu jelas terdengar, dan Hao pun membeku sejak kecupan pertama mendarat.

Setelah puas melampiaskan rasa rindunya, ia menatap lamat-lamat wajah Hao.

"Kangen..." Rengek Jiwoong dengan bibir mencebik.

"E-eh, emang k-kamu abis dari mana?!! Atau apa ka-k-kamu mimpi buruk...?!!" Hao menepuk-nepuk wajahnya yang bersemu. Jiwoong melihat jelas bagaimana pipi anak itu memerah seperti delima, tetapi ia tak peduli.

Yang Jiwoong lakukan hanya memberi Hao senyuman lebar yang murni datang dari hatinya. Tidak, ia tidak mimpi buruk. Ia hanya tiba-tiba senang kembali ke tubuhnya. Karena masih merasa harus merayakan dengan heboh, Jiwoong membanting tubuh sahabatnya ke samping lalu menimpanya dan memeluk bocah manis itu dengan erat seperti boneka beruang raksasa. Setelah mengeluarkan sedikit suara pelan karena ditimpa bobot Jiwoong, secara otomatis Hao membalas pelukannya dengan lembut.

"Ada apa, nih? Kamu keliatan seneng banget..."

Jiwoong terkekeh, dan Hao tersenyum tipis.

Namun seketika tawa Jiwoong berhenti.

Iya, ya? Kenapa dia senang? Bukannya dia suka berubah menjadi Yujin?

Jiwoong melepaskan pelukannya, meninggalkan Hao yang terkulai lemas di kasur akibat tabrakan brutalnya tadi. Ia kembali menggunakan ponselnya yang tadi ia tinggalkan.

Sambil berjalan keluar kamar, Jiwoong pamit sebentar pada Hao dan menyuruh anak itu untuk kembali tidur. Memangnya siapa yang bersiap-siap untuk sekolah pada jam satu pagi?

Rupanya Jiwoong memenuhi niatnya tadi untuk menghubungi Yujin. Ia telah menelepon dua kali, namun panggilannya belum kunjung diangkat. Baru pada panggilan ketiga, dengungan panjang yang membuatnya bosan berhenti berbunyi, diganti dengan suara Yujin.

"Halo?"

"Kak!! Kita udah balik!!" Serunya pada orang di seberang. "Kakak nyadar, gak?"

"Oh---oh, iya. Astaga, aku masih mengantuk..." Suara parau Yujin terdengar jelas, khas orang bangun tidur. Wah, suaranya saja tampan, batin Jiwoong."Jam berapa ini...?"

"Jam satu, kak!"

"Yasudah. Catet jamnya. Barangkali nanti kita perlu."

"Emmh, oke! Oh, ya, kakak istirahat, deh! Nanti kakak masuk shift siang! Anu, kayaknya fisik kakak tipe yang gampang ngantuk. Minum kopi lebih awal, ya! Eh, oh, astaga! Nanti juga baik-baik sama Matthew! Yang aku ceritain itu, lho! Kalian harus akrab!"

"Oke, oke."

"Baik, kakak! Selamat beristirahat---"

"Inget-inget lagi apa yang aku bilang, coba? Aku sudah tau kamu bakal senang kalau kita balik ke badan masing-masing."

"Iiih, kan, em, aku cuma kangen!! Tapi aku tetep suka kok jadi kakak!"

"Hah, terserah. Istirahat, sana..."

Yujin mengakhiri telepon singkat mereka, meninggalkan Jiwoong yang tersenyum lebar sambil menatap layarnya.

Anak itu tadi berjongkok di pojokan space terbuka yang berfungsi untuk mencuci baju. Ia kembali ke dalam untuk tidur. Saat ia memasuki kamar, ternyata Hao sedang duduk di tepian kasurnya. Lampu juga kembali menyala. Mereka bertatapan langsung ketika Jiwoong baru saja membuka pintu.

"Ada apa?" Hao bertanya dengan suara lembutnya itu. Suara yang cukup representatif untuk seorang anak lelaki yang baru saja berkembang dewasa, seperti sekuncup bunga yang merekah. Ah, matanya sudah dapat terbuka lebar, kelihatannya karena ia khawatir jika terjadi sesuatu.

"Gak papa, kok! Aku cuman telponan sebentar."

"Kok malem-malem gini? Emang diangkat sama dia?" Hao mengernyitkan dahinya. Matanya sama sekali tak beralih dari Jiwoong yang kembali menaiki kasur. Tangannya juga ia ulurkan untuk mengusap pelan pipi Jiwoong. Sebenarnya ia ragu jika anak itu benar-benar punya pipi. Sepertinya ia sudah kehilangan lemak khas anak-anak yang dulu tersimpan di wajahnya.

"Iya, kok. Udah gak usah khawatir, semua baik-baik aja." Jiwoong memamerkan cengirannya, membuatnya nampak seperti anak polos. Ia menarik tangan Hao dan menggenggamnya erat. Namun pada ujung jari bocah itu nampak sesuatu yang tidak wajar. "Hao, tanganmu kenapa?"

Hao pun mengamati tangan yang tadi dicekal Jiwoong. Ternyata ada bekas luka dengan darah mengering di ujung telunjuknya.

"Oh. Mmh, mungkin ini gara-gara aku bantu cuci alat masak..." Ucap Hao tenang. "Gak papa---"

Aduh.

"Kenapa?" Jiwoong sedikit terkejut saat ia menyadari perubahan ekspresi Hao. Bocah itu terlihat memucat, seperti ada sesuatu yang membuatnya panik. "Oi---"

Hao tidak menjawab dan bangkit dari kasur dengan tergesa-gesa, lalu mengambil selembar tisu, bahkan ia tanpa sadar menggulingkan kotaknya. Ia kemudian kembali duduk dan menarik pelan lengan Jiwoong. Letak spesifiknya adalah di trisep kanan Jiwoong. Ternyata di sana terdapat bekas darahnya yang sudah mengering. Iapun berusaha membersihkannya, walau sulit karena tidak dibantu air.

"Oalah." Jiwoong terkekeh pelan. "Kirain kenapa. Santai aja, kali. Emang aku vampir?"

Hao tak menanggapi lelucon temannya dan terus fokus menghilangkan darahnya. Entah, rasanya seperti ia baru saja berbuat kesalahan besar.

[✓] [YOU]TH ㅣ HAN YUJIN & KIM JIWOONGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang