Bab 2

262 30 10
                                    

Asa memilih duduk didepan jendela besar dengan pemandangan taman belakang Cafe. Ia sudah memikirkannya matang-matang, apabila semua terlalu membosankan atau terlalu menyebalkan Ia bisa menatap taman Indah itu untuk menjernihkan pikirannya.
Asa sedikit alergi terhadap romansa. Sebagai
seorang pragmatis yang setia, dia percaya
bahwa kriteria utama dan satu-satunya untuk
kencan makan malam adalah makanan enak dan diskusi yang menyenangkan. Ia juga memilih datang lebih awal agar bisa beradaptasi dengan sekitar, Ia tidak memiliki prinsip bahwa pria harus menunggu. Semua punya hak yang sama.

Sudah beberapakali Asa kesini bersama Dokter di Rumah Sakit dan sandwich disini memang luar biasa walau harganya agak overprice tapi masih worthed dengan sofa empuk dan ruangan ber ac yang bersih, belum lagi interior berwarna biru tua yang begitu elegant membuat mata Asa termanjakan.

Waktu yang disepakati adalah jam 12, dan
Asa tiba tiga puluh menit lebih awal,
duduk sendirian di meja, menunggu. Diusianya yang menginjak 27 tahun Ia tak memikirkan tata krama antara perempuan dan laki-laki. Baginya kencan buta ini adalah simbiosis mutualisme, apabila mereka tidak saling membutuhkan maka sebaiknya tidak diperpanjang. Kalau Ia tidak suka Asa datang lebih dulu maka lebih baik ini segera berakhir. Ia hanya mau jadi dirinya sendiri. Kecuali bahwa Ia anak Ayahnya, baiklah Ayahnya hanya bagian kecil dari dirinya jadi seharusnya itu tidak termasuk berbohong.

Tepat jam dua belas, pelayan atang untuk kedua kalinya sambil memegang menu dan berkata, "Mbak, apakah Anda ingin memesan sekarang?"

Asa menatap kembali keluar tak ada tanda seorang pria datang sendirian. Pada suatu kencan, sebaiknya memesan bersama sebagai salah satu bahan pembicaraan selanjutnya. Jadi, dia berkata, "Orang yang saya temui belum datang. Aku akan menunggu lebih lama
lagi."
Pelayan itu memaksakan senyum palsu
profesional dan pergi.
Dengan mengalihkan pandangannya, Asa
mengangkat ponselnya dan melihat ke layar
yang terkunci, terbaca "12:21." Dia merenung
seyenak dan kemudian melihat riwayat
obrolannya dan Fadil yang sangat pendek

Dia tidak mengirimkan pesan yang salah;
Janjinya Jam dua belas.
Jadi, kenapa dia belum datang?
Apakah dia kesulitan menemukan tempatnya,
atau ada sesuatu yang terjadi di menit-menit
terakhir?
Haruskah dia mengirim pesan untuk bertanya?
Atau mungkin menelepon?
Asa memiliki sedikit kecemasan sosial,
dan dia akan menghindari menelepon orang
asing jika dia bisa. Pada akhirnya, dia mengirim pesan WA:
Asa : Apakah kamu sudah sampai ?
Satu menit kemudian, pesan tersebut dibalas oleh Fadil.

Fadil : Maaf tapi disini hujan. Aku tidak bawa payung.

Asa mengerutkan alis, Ia lalu menatap keluar Saat dia tiba, matahari sedang bersinar,
namun kini cuaca tiba-tiba berubah suram,
dan hujan rintik-rintik mulai turun di luar
jendela. Dan bahkan Ia tidak menyadarinya padahal duduk disebelah jendela. Asa kembali melihat layar ponselnya, dan Fadil sedang mengetik.

Fadil : Aku naik MRT karena terlambat, maaf.

Asa tersenyum, Ia suka dengan seseorang yang langsung menyadari kesalahannya.

Asa : Tidak apa, aku tunggu.

Ia tak membalas lagi, Asa menatap hujan rintik yang sebetulnya sangat syahdu. Suasana ini lebih tepat untuk berselimut dikamarnya. Tamu lain masuk, dan suara pintu berayun tertutup terdengar. Orang itu menepuk kepalanya yang basah, lalu bergegas masuk dengan
langkah tergesa-gesa. Mungkin karena mengantuk, Asa meliriknya.
Pria ini tinggi, mengenakan jaket corduray coklat yang agak basah, dan didalamnya memakai polo shirt putih, dengan celana panjang corduray dengan warna coklat lebih tua.

Dia sangat kurus, tulang pipinya menonjol namun Ia tetap tampan. Mata kecilnya melengkapi hidung mancung dan bibirnya yang tipis terlebih lagi Ia terlihat begitu sopan.
Tidak yakin berapa kali dia membuka kunci
ponselnya, tatapan Asa terpaku lama
pada kotak obrolan antara dirinya dan Fadil. Pesan terakhir adalah gelembung
hijau yang bertuliskan.

Asa : Tidak apa, aku tunggu.

Asa mengerutkan alis, apa Ia terlalu terdengar pasrah. Masih belum ada jawaban. Asa menghela
nafas.
Tiba-tiba, suara yang serak dan kalem
terdengar di telinganya.
"Selamat Siang, dengan Asa?"
Asa mendongak dan menemukan bahwa
pria tampan, yang tadinya begitu jauh
beberapa saat yang lalu, kini tiba-tiba menjadi
dekat.

Dia sedikit bingung dan berkata, "...Ya."

"Aku Fadil." Fadil mengulurkan
tangannya ke Asa.

Ia dengan santai menyentuh
buku jari Fadil dengan tangan
kanannya, dengan cepat memindahkannya.

"Maaf, aku telat. Tadi ada sedikit masalah." Fadil duduk didepan Asa lalu menatapnya dan mendecakan lidah. Asa bertanya, "Kenapa?"

"Ah sungguh kacau, kamu begitu rapi dan cantik. Sedangkan aku begitu basah dan berantakan." Ia membuka jaketnya yang basah.

Asa tersipu malu lalu segera memanggil pelayan untuk memesan makanan.

Between Lie and SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang