Bab 9

258 32 23
                                    

Weekend ini terasa seperti hari kerja bagi Asa, Dokter Hendi seniornya yang juga satu-satunya Dokter Anastesi selain Asa di Rumah Sakit sedang cuti berlibur dengan keluarganya jadi hanya Asa satu-satunya Dokter Anastesi yang bisa dipanggil. Ada kecelakaan karena penguei mabuk yang cukup menggemparkan karena mengganggu jadwal MRT, ada juga seorang Ibu Hamil yang sudah 36 jam kontraksi dan dipaksa melahirkan normal sampai hampir pingsan, ada juga operasi usus buntu yang harus dipercepat karena hampir pecah. Di hari minggu sore Asa merasa tubuhnya berantakan, Ia menyelimuti dirinya sendiri dengan selimut namun menyalakan AC di 16 derajat. Ia ingin meraskan kehangatan didalam selimut dan menghirup udara dingin dari hidungnya.

Ponsel Asa bergetar, dan nama "Fadil" terlihat jelas. Setengah mengantuk Ia mengangkat panggilan dari Fadil. "Halo."
Fadil berdehem, "Hmm, Halo. Kamu masih tidur? Aku ganggu?"
Asa membuka matanya, "Tidak apa-apa aku memang harus bangun. Aku tidak mau menjadi koala yang tidur 20 jam sehari."
Suara tawa renyah terdengar di telinga Asa. "Sudah bertemu dengan adikmu?" Tanya Asa, kemarin Fadil mengatakan akan bertemu adiknya hari ini. "Sudah." Jawab Fadil, Ia terdiam sebentar, "Aku menceritakan tentangmu." Asa langsung terduduk, "Oh, oke. Lalu."

Fadil masih terdiam seperti menjaga kata-katanya. "Weekend depan kamu libur?"
Asa sedikit bingung, "Sepertinya masih piket. Aku akan ambil libur rabu ini."
"Baiklah, Rabu. Aku akan mengambil cuti."
"Untuk apa?"
"Mempertemukanmu dengan adikku." Kata Fadil dengan nada pelan.
"Di hari kerja?" Tanya Asa spontan.
"Jadwalnya flexible."Ia terdiam.
Asa menelan ludah, Ia merasakan tangannya basah. "Apakah reaksinya baik-baik saja saat kamu menceritakan Aku?"
Fadil kembali terdiam, "Ya dia ingin bertemu denganmu." 

Asa bangun dan membuka gorden, langit sudah oranye tanda matahari akan terbenam. Ia merasakan ada yang aneh dari Fadil. Entah apa, dia seperti sedih. "Kamu sungguh tidak apa-apa?"
"Ya aku baik baik saja, kamu sudah makan?" Tanyanya.
"Aku akan memasak mie instant, jatahku seminggu sekali." Asa menghirup udara dari mulut. Fadil terkikik, "Sungguh kamu membuatku ingin membeli di warung indomie."

"Atau kita makan bareng?" Tanya Asa, Ia berharap Fadil mengatakan ya. "Maafkan aku, aku sudah bilang ada janji dengan teman-temanku bukan?"

"Ah ya, maaf aku lupa. Sepertinya otakku terlalu lelah." Asa membuka kulkas dan mengeluarkan sawi juga telur. "Baiklah, rabu. Kita bertemu rabu." suara Fadil lebih bersemangat. "Ya, rabu. Sampai jumpa."
"Sampai jumpa." Asa menutup panggilan Fadil.

Sambil memotong sawi pikiran Asa berlarian kemana-mana. Aneh, Ia bersemangat tapi juga sedih di satu waktu yang sama. Apakah adiknya tidak menyukai dirinya. Atau ada yang Asa tidak tahu.

Dua hari beralu dengan cepat, Asa sudah menyiapkan bajunya dari minggu malam. Ia menyiapkan celana plisket berwarna abu dengn keatasan kemeja putih berenda. Ibu selalu mengatakan bahwa pakaian berenda membuatnya terlihat lebih manis. Tepat jam tujuh pagi Asa menyetir mobilnya menuju tempat mereka janjian.

Asa tiba pukul setengah delapan di daerah Rasuna yang cukup padat dengan para pekerja kantoran. Ia memasuki gerbang rumah sakit dan melihat Fadil berdiri di lobby dengan seorang pria yang tingginya sama dengannya. Asa sedikit ragu apakah sebaiknya Ia memakirkan mobilnya atau langsung menjemput Fadil di lobby. Tapi diwaktu yang sama sebuah mobil keluar dari parkiran tepat didepannya. Dan Asa menganggap ini pertanda Ia harus memakirkan mobilnya. Asa segera memasukan mobilnya, lalu membuka vanity mirror. Merapikan sedikit eyeliner yang buram karena tergesek oleh tangannya, melapisi kembali wajahnya dengan bedak tabur, lalu menebalkan lipstick pinknya. Ia lalu memastikan tidak ada barang pribadinya menempel dimanapun. Asa sudah mencopot magnet foto Ale, menyimpan semua gantungan lanyard conference dari kaca spion tengah. Merapikan minyak wangi dan peralatan lainnya memasukannya ke tas kecil yang Ia taruh dibelakang.

Ia lalu menghela nafas panjang menenangkan dirinya lalu keluar dari mobil. Ia berjalan berhati-hati di tanjakan lobby. Mengintip ke arah Fadil yang sesekali tertawa kecil dengan temannya itu. Saat Ia sedang mengangguk, matanya tertaut dengan mata Asa. Dan Asa menaikan alisnya sambil tersenyum.
"Asa." Sahutnya.
Teman mengobrolnya langsung memutar tubuhnya. Dan menatap setiap jengkal tubuh Asa sampai Asa berada tepat didepannya. Asa merasa seperti dinilai oleh calon Ibu mertuanya. Asa berusaha menjaga senyumannya, lalu melambaikan tangan pada Fadil. "Halo."
Fadil mencolek pria tinggi berwajah keras itu, "Hey, dia takut liat muka Lo."
Pria itu tersikap, lalu mukanya menjadi rileks. "Ah sorry, too excited" Ia terdiam lalu mengulurkan tangannya, "Kenalkan gue Hari."
Asa mengusap jemari itu tanpa tenaga, "Asa."

Hari mengerutkan alis, "Kayaknya gue pernah liat Lo deh dimana ya?"
Asa mendekatkan diri ke arah Fadil, "Oh ya? Dimana?"
Ia memasang wajah serius, "Entahlah."
Fadil menepuk punggung Hari, "Udahlah Lo buang-buang waktu aja. Gue pergi dulu, kalau ada apa-apa call ya."

Fadil merangkul pundak Asa, Asa terkejut dan menatap Fadil. Lalu saat Fadil mendorongnya menjauh Ia berpamitan pada Hari dengan menanggukan kepalanya. Tak sampai beberapa langkah, Fadil melepaskan pundak Asa lalu sibuk mengetik di layar ponselnya. Ia terus berjalan menjauh saat Asa sudah berhenti berdiri didepan mobil merahnya. Senyum Asa merekah, namun Ia tak memanggil Fadil sampai Fadil sadar bahwa Asa tak ada didekatnya. Fadil memutar tubuhnya mencari Asa, Asa melambaikan tangan sambil tersenyum. Ia memperhatikan pakaian Fadil hari ini, celana jeans berpotongan lurus yang berwarna yang sudah menjadi keabuan dengan keatasan polo shirt putih dan jacket corduray yang sepertinya pernah dipakai Fadil saat kencan buta pertama mereka. Asa tersenyum, mengingat bagaimana Ia jatuh cinta pada pandangan pertama pada pria yang berjalan kearahnya.

"Kenapa?" Tanyanya sambil memasukan ponsel ke saku jaket. Asa meliriknya, "Ini mobilnya, aku udah kasih tau kamu kan."
Fadil membasahi bibir lalu merapikan rambut dengan tangan, aroma tubuhnya membuat Asa ingin memeluknya.

"Oh ya, kamu bilang. Aku udah bilang kita ke karawang kan?" Tanyanya. Asa mengangguk dan memasang mata seperti anjing kecil yang manis, "Ya, aku biasa menyetir ke Bandung." Fadil menatapnya dengan raut wajah tak bisa menolak, "Ini mobilmu?"
Asa menggeleng, "Oh bukan-bukan ini mobil temanku. Ia minya dibantu service dan aku bebas memakaianya."
"Aku jadi semakin ingin mengenal temanmu yang ini. Siapa namanya?"
Asa menatap sekelilingnya, dan tepat didepan rumah sakit ada billboard Dian Sastrowardoyo. Mulutnya langsung bereaksi, "Dian, namanya Dian." Asa sedikit gagap tapi sepertinya Fadil tak menyadarinya.  "Baiklah ayo masuk, arahkan aku ya."

Asa segera mengajak Fadil masuk ke dalam mobil, Ia hanya berharap hari ini akan baik-baik saja.

Between Lie and SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang