Bab 3

257 30 15
                                    

Asa menelan ludah, membuat dirinya tenang agar aliran darah tidak naik ke wajahnya dan membuat pipinya semakin memerah. Ia mengalihkan perhatian kepada seorang pelayan yang tadi dipanggilnya. "Mau order sekarang?"
Asa tidak mengatakan apa pun atau bergerak, menunggu Fadil mengambil menu.
Fadil melihat situasinya dan dengan ramah mengambil menunya tetapi
membalikkannya, menyerahkannya kepada Asa. "Silakan, pesan apa pun yang kamu suka, aku akan mentraktirnya."
Asa tersenyum, "Aku sudah pernah makan disini dan classic sandwichnya sangat enak." Fadil menggelengkan kepalanya, "Oh maaf apakah kmu vegetarian?"

Fadil menatapnya sambil tersenyum, "Bukan bukan itu. Aku tidak begitu suka mayonaise."

Pelayan, memanfaatkan situasi ini, tersenyum dan menyarankan, "Ada sandwich dengan saus thailand yang agak asam."
Dan pada akhirnya, proses pemesanan sebagian besar mengikuti rekomendasi pelayan kecuali Es kopi yang sudah Asa pesan sebelumnya.

Asa mengalihkan pandangannya, menatap Fadil sekilas. Tiba-tiba, dia tidak tahu bagaimana memulai percakapan.
Ponselnya tergeletak telungkup di atas meja, dan postur tubuhnya agak kaku dan tidak nyaman. Dia tidak tahu apakah harus menyesuaikannya atau membiarkannya apa adanya. Untungnya, dia bisa mengalihkan pandangannya dengan bebas.

Fadil memulai pembicaraan saat selesai dengan layar ponselnya. "Kamu pernah kesini?"
Asa mengangguk, "Beberapa kali, tempat ini cukup dekat dengan tempat kerjaku."
Ponselnya bergetar dan Ia membalas beberapa pesan dari ibunya yang menanyakan situasinya, dia dengan santai berkata,"Cafe ini hidden gems berada di tengah kota namun terpencil."
Akhirnya, dia mendengar kata-kata pertama dari sisi lain, dan Asa dengan canggung setuju, "Bisa dibilang begitu."
Fadil melanjutkan, "Tadinya aku mau naik taxi tapi navigasi peta mengatakan butuh waktu dua jam menembus kemacetan. Jadi aku memakai MRT, hasilnya malah kehujanan. ini benar-benar membuat frustrasi."
Asa terus menyetujuinya, "Ya, kalau tidak hapal daerah sini memang menyebalkan."

Dengan cara ini, percakapan berakhir dalam waktu setengah menit. Asa duduk diam di sana, dengan ekspresi kosong di wajahnya.
Dia sebenarnya menyesal tidak angkat bicara, merasa percakapan itu hanya sandiwara kencan buta.
Untungnya, Fadil tidak ikut diam. Dia mengambil inisiatif lagi, dengan mengatakan, "Tetapi aku suka suasananya. Disini banyak perkantoran dan sepertinya jadi titik pertemuan."

Kali int, Asa berpikir sejenak dan akhirnya memberikan sedikit usaha untuk memperluas pembicaraan. "Titik pertemuan, memang banyak yang ke daerah sini untuk titik pertemun."
"Cukup banyak, ini daerah Jakarta Selatan bagian Selatan. Dekat Pondok Indah, dekat juga ke area ciputat dan bintaro."
Asa mengangguk, lalu perlahan berkata, "Ya, itu benar juga. Maaf aku baru setahun di Jakarta."
"Oh begitu," kata Fadil, melanjutkan dengan pertanyaan, "Jadi darimana asalmu?"

Asa menjawab, "Aku dari Bandung."
Fadil tersenyum dan berkata, "Dulu aku hampir berkuliah di Bandung, tapi tak jadi. "
Asa bisa memahami topik ini. Dia bertanya, "Ah kenapa? Katanya kamu anak Farmasi? Mau kuliah di ITB kah?"
Fadil terkekeh, "Ya, seharunya aku punya ijazah cap gajah. Tapi tidak jadi."
"Kenapa?" Asa mulai tertarik dengan pembicaraan ini.

"Banyak hal, terutama aku tak bisa menunggalkan adikku. Aku jadi kuliah di Jakarta. Walau harus menunggu setahun lagi untuk SPMB." Disaat yang sama pelayan membawakan secangkit air putih untuk Fadil.

"SPMB?" Tanya Asa.
Fadil meliriknya, "Ya, ah mungkin beda namanya saat angkatanmu. Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Aku hampir lupa usia kita beda 8 tahun."

Asa tersedak dan hampir mengeluarkan kopi tetes terakhir dari mulutnya. Fadil dengan cekatan mengambilkan tissue untuk Asa. "Kamu gak papa?" Tanya dengan wajah khawatir. Asa mengelap mulutnya lalu mengerjapkan mata. Ia tak terlihat berusia diatas 30 tahun. "Ah maaf aku tidak sopan, seharunya aku memanggil dengan Mas atau Pak."

Fadil tertawa dengan renyah, Ia seperti akan mengatakan sesuatu tapi seorang pelayan membawakan makanan kami. Ia menaikan alisnya tanda senang saat melihat piring indah berisi sandwich ala vietnam itu. "Semua orang di rumah sakit sudah memanggilku Pak dan aku punya adik yang memanggilku Mas. Panggil namaku saja."

Asa sedikit ragu lalu menyuap sandwichnya, "Jadi kamu seorang Apoteker?"
Fadil mengangguk, "Ya aku apoteker di Rumah Sakit JMC."
"Sudah lama?"
"Sudah 12 tahun, aku bekerja disana dari awal."
Asa mengangguk-ngangguk lalu Fadil bertanya, "Lalu apa yang kamu lakukan?"
Asa memutar matanya, "Aku Dokter, Dokter anastesi."

Kali ini Fadil yang hampir tersedak, ia lalu dengan cekatan mengambil tissue. "Dokter?" Ia mengelap mulutnya.
Asa tersenyum, "Aku Dokter Anastesi, bukan Dokter yang menyembuhkan pasien. Kamu gak tahu kalau aku dokter? Biasanya itu yang membuat orang mau menemuiku di kencan buta."

Nada suara Fadil terdengar agak terkejut, dan Asa, yang tersembunyi di bawah meja, mengepal, dan
ujung jarinya menekan dagingnya, menyebabkan sedikit rasa sakit.
"Aku hanya tahu kamu bekerja di bidang kesehatan, bukan seorang Dokter. Apalagi Dokter Anasthesi yang siap dipanggil kapanpun. Kamu terlalu manis untuk itu."
Tiba-tiba, tangan Asa menjadi rileks. Asa mendongak, merasa agak linglung.
Ini adalah pertama kalinya dia mendengar pujian seperti itu. Biasanya orang menghinanya dan menanyakan kenapa dia tidak mengikuti jejak ayahnya.

"Kamu menyukai pekerjaanmu sebagai apoteker?" Asa menyuap potongan sandwich terakhirnya. Fadil mengangguk sebelum menjawab, "Ya aku suka, aku memang menyukai kimia tapi awalnya aku ingin mengajar menjadi dosen. Namun situasi membuatku harus bekerja di rumah sakit."
"Oh ya? Kenapa?" Asa menopang dagunya dengan tangan.
Fadil meliriknya sekejap lalu kembali fokus kepiringnya. "Aku harus segera bekerja untuk adikku. Menjadi dosen berarti menerima gaji yang tidak begitu besar dan itu tidak cukup."
"Lalu sekarang adikmu sudah lulus?"
Fadil terdiam sebentar lalu berdehem mengosongkan kerongkongannya. "Ya sudah, aku juga sudah mengajar semenjak enam tahun lalu. Menjadi dosen kontrak di hari sabtu."

Asa bertepuk tangan, "Luar biasa, kamu berhasil mewujudkan keinginanmu dengan cara lain."
Sambil memiringkan kepalanya, Fadil memamerkan lesum pipinya. "Terimakasih, bagaimana denganmu? Apakah keinginanmu sudah terkabul?"

"Hmm aku, ya mungkin sebentar lagi." Asa mengigit bibirnya sambil mencuri pandang kepada Fadil. Ia merasa pipinya merona. Mungkin semua keinginannya akan tercapai, lepas dari bayang-bayang ayahnya dan mendapatkan pria yang tulus mencintainya. Itu cukup.

Between Lie and SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang