Bab 6

253 29 8
                                    

Asa menatap bayangan dirinya sendiri untung yang ke empat puluh kalinya dalam 20 menit terakhir. Ia sudah berganti pakaian lebih dari sepuluh kali sebelum meneguhkan pilihan pada celana plisket coklat dan kaos turtle neck pink muda yang membentuk tubuhnya. Ia mengikat rambutnya menjadi kucir kuda memperlihatkan lehernya yang jenjang. Riasan wajahnya juga tidak se formal kemarin, eyeshadow peach dan lipstik pink muda yang netral. Asa menatap kantung matanya. Sesungguhnya Ia tak bisa tidur semenjak pulang dari Rumah Sakit, pikirannya melayang ke baju apa yang dipakai, topik apa yang akan dibicarakan, bagaimana Ia bisa memandangnya tanpa terlihat terlalu terobsesi dengannya. Dan sekarang lingkaran hitam samar-samar terlihat di area mata.

Asa kembali mengulas lipstick pink di bibirnya dan disaat yang sama ponselnya berbunyi.

Fadil : Aku udah di tower A.
Asa : 5 menit

Ia lalu meraih tasnya lalu melangkah cepat keluar dari apartementnya. Sampai di lobby Ia melihat Fadil terduduk disana sambil menatap keindahan lobby apartement Asa. Asa terdiam sejenak, bayangannya tadi Fadil akan membawa kendaraan dari kalimatnya "menjemput."

Fadil meliriknya, "Halo." Katanya sambil tersenyum. Ia memakai celana jeans berbentuk pipa yang menonjolkan kakinya yang panjang. Dengan kaos oblong putih yang dilapisi kemeja flanel kotak-kotak coklat. Asa bisa melihat rambutnya yang sebenarnya sekarang sebelumnya rambutnya basah dan lepek, ternyata rambutnya berglombang membuat wajah Fadil terlihat lebih tegas. Dan aroma daun teh itu kembali menusuk hidung Asa, membuatnya terlena.

Asa tersenyum, "Halo."
"Ayo." Katanya sambil melambaikan tangan. Asa mengangguk mengikutinya berjalan. "Kamu tidak keberatan kalau kita naik MRT?"
Saat itu juga Asa bersyukur memilih flat shoes karet saat keluar dari apartementnya. "Bukan masalah. Lagipula memang dekat."
Fadil kembali menatap gedung apartement saat mereka melewati pintu keluar, "Ini apartement bagus. Kamu sewa?"
Asa menelan ludah lalu memutar matanya dan juga berusaha berpikir dengan cepat, "Bukan punya temanku. Dia sedang sekolah di luar negeri, jadi meminjamkannya padaku."
"Ow kamu menyewa dari dia?" Tanya lagi sambil memberi kode agar Asa melompati trotoar yang tergenang air. "Bukan, aku hanya bayar biaya bulanan. Dia hanya mau apartementnya terurus orang yang dia kenal."
"Teman yang sangat baik." Fadil mengangguk-ngangguk.
"Ya lagipula lokasinya sangat dekat dengan tempatku bekerja. Jadi ini win win solution." Asa menelan ludah, berharap semua kalimatnya meyakinkan. Dan sepertinya Fadil percaya padanya.

Mereka menaiki eskalator dan mengantri MRT dengan pembicaraan ringan. Seperti Asa lebih menyukai Cafe Latte daripada cappucino, dan Fadil memiliki alergy susu jadi menghindari apapun yang mengandung susu. Fadil menceritakan Ia memiliki dua sahabat yang sama-sama bekerja di RS JMC. Seorang dokter pathology bernama Hari dan kepala laboratorium bernama Yuda. Salah satu yang membuatnya berpikir untuk meninggalkan rumah sakit itu adalah teman-temannya karena Ia sangat pemilih dalam hal berteman.

"Bagaimana denganmu?" Tanya Fadil saat mereka turun di stasiun Blok M. Asa menaikan alis, "Ah aku, aku tidak punya sahabat untuk saat ini."
Fadil memiringkan kepalanya, "Hah? Seorang perempuan tidak punya sahabat? Bukankah kalian butuh teman mengobrol?" Fadil terdiam sebentar lalu menatap taman didepannya, "Ah ini tamannya. Bagaimana kalau kita duduk dulu. Aku akan membelikanmu ehm Cafe Late?"

Asa mengangguk lalu duduk di kursi semen itu. Angin sore begitu menyegarkan dan membawa hawa dingin, sepertinya akan hujan. Ia menatap langit yang agak mendung. Beberapa keluarga muda bermain bersama anak balita mereka di area playground sambil tertawa. Asa langsung teringat adiknya yang berusia 13 tahun, Ale. Ale yang selalu perhatian padanya, mengetuk pintu kamarnya hanya untuk menanyakan "Kakak baik-baik?" Ale yang memeluknya saat Ia menangisi hubungannya yang hancur berantakan. Ale yang selalu mengatakan, "Ada Ale Kakak tenang saja."

Dan Asa malah meninggalkannya di Bandung. Meninggalkannya dengan kehidupan penuh tekanan.

"Hei." Suara serak Fadil membangunkan Asa dari lamunannya. Asa menolehkan wajahnya, "Terimakasih." Ia meraih gelas kopi yang disodorkan Fadil. Fadil duduk disebrang Asa lalu melihat ke arah playground. "Kenapa mau main ayunan?"

Asa meliriknya sambil tertawa, "Ayunan nya akan berteriak jangan naik berdua." Fadil tertawa lepas, "Sense of humor kamu bagus juga, lalu kenapa?"

Asa menghela nafas, "Ah tidak hanya ingat adikku."
"Oh kamu punya adik?" Fadil menyeruput kopi hitamnya.
"Ya, umurnya 13 tahun. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya."
"Oh ya? Berapa lama?"
"Sekitar dua bulan. Padahal aku bisa pulang ke Bandung setiap minggu. Aku bukan kakak yang baik bukan?"
Fadil menatap langit, "Tapi situasimu memang tidak memungkinkan bukan? Pasti adikmu mengerti. Dan kamu terlihat seperti kakak yang baik."
Asa menaruh kopinya, "Kenapa kamu jadi terlihat sedih?"
Fadil tersenyum kecut, "Ah tidak, aku jadi ingat adikku."
"Oh iya adikmu yang sudah lulus itu."
"Ya dia seumur denganmu." Wajah Fadil menjadi muram. Ia menggertakan giginya seperti ingin mengatakan sesuatu. Dan tiba-tiba tetesan air hujan mengenai tangan Asa. Mereka saling bertatapan lalu berlari ke tempat berteduh.

Hujan semakin deras dan Asa masih terkejut menatap tetesan air dari langit. "Kenapa langit selalu menangis saat kita bersama." Gerutu Asa. Fadil menyelimuti Asa dengan kemejanya, "Mungkin agar kita lebih lama bersama." Asa tersipu malu berusaha membuang wajah dari arah Fadil.

Lalu tak lama Ia merasakan tangannya mengenai tangan Fadil, lalu jemari Fadil memasuki jemarinya dan kehangatan menyelimuti seluruh tubuh Asa. Ia tahu wajahnya pasti memerah. Dan saat ini Ia yakin Ia telah jatuh cinta pada pria asing ini.

Between Lie and SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang