Bab 12

230 40 0
                                    

"Lihat, bagus bukan? Kamu gak bisa sih." Asa memperlihatkan indahnya pemandangan tebing Uluwatu dari kamarnya kepada Fadil. Fadil tersenyum, "Aku bener-bener lagi sibuk. Besok ada ujian tengah semester juga."
Asa memasang wajah kecewa yang manja, "Resiko punya pacar yang dewasa dan sangat sibuk."
Fadil memasang wajah manja yang sama, mengejek Asa. "Resiko punya pacar dokter lebih banyak. Mau aku list?"
Asa menggeleng, "Enggak-enggak aku salah udah."
"Ya udah, have fun sana."
"Thank you, kabarin aku ya."
Fadil mengangguk lalu mematikan teleponnya.

Asa sedikit kecewa Fadil tidak ikut dengannya untuk menikmati pemandangan ini. Ia menempelakan tubuhnya ke pagar besi balkon menghirup udara laut yang mengundangnya untuk menikmatinya lebih dekat.

Ia akhirnya memutuskan untuk memgganti baju memakai celana pendek dan tanktop dilapisi baju pelapis tembus pandang lalu berjalan ke bawah menuruni ratusan tamgga dan l tiba di tepi pantai menjelang sore, matahari masih terik di langit tak berawan. Asa memperlambat langkahnya, berjalan menuju pantai private milik hotel. Saat ini bukan musim liburan keluarga, jadi hanya ada beberapa pasangan dan liburan pertemanan. Asa masih memakai kacamata hitamnya agar tidak terlihat ketika mengamati orang-orang yang berada disana. Ia menghindari aroma losion anti uv yant menyengat, dan pasangan yang tak henti berciuman. Asa ingin menikmati bau air garam tercium di udara, aroma pantai.

Terlepas dari Ia hany sendirian disini, Asa tidak bisa menahan senyum. Bagaimanapun Ia selalu menyukai Bali, karena setiap tahun Ia selalu kesini dengan keluarganya sampi dua tahun lalu.

Menatap sebuah kursi pantai yang berada dipojok area Asa memutuskan berjalan lebih jauh kesana demi sebuah kenyamanan. Seorang pelayan menyapanya dan memberinya air kelapa segar dilengkapi hiasan payung berwarna pink. Asa merebahkan tubuhnya di kursi pantai, menutup matanya lalu menikmati indahnya suara deru ombak yang begitu merdu.

Setelah melewati berbagai ritme kehidupan dua tahun terakhir ini Asa baru menyadari Ia tak pernah liburan selama itu. Ia mengatasi patah hatinya dengan menyibukkan diri dengan sesuatu yang Ia harus Ia lakukan, belajar dan bekerja.

Beberapa orang memilih makan coklat berhari-hari atau tidak melakukan apapun berhari-hari. Tapi Asa tidak melakukan itu, saat Ia mengetahui Jaka berselingkuh dan menipunya dengan sahabatnya. Asa langsung mempercepat study spesialisnya, lalu melamar PNS dan kabur dari dunia yang dikenalnya.

Asa tidak suka berada dalam jenis jatuh bebas. Berada di terjun bebas berarti kehilangan kendali. Asa belajar tanpa henti, mengisi hari-harinya, lalu saat Ia mengalami hal yang sama lagi. Mengenal pria yang hanya memanfaatkannya Ia tahu sudah waktunya untuk melakukan sesuatu yang lebih drastis. Keluar dari kota Bandung.

"Awas Bola." Teriakan pelayan yang ada didekatnya membangunkan Asa, Ia membuka matanya tapi sudah terlambat sebuah bola plastik mengenai keningnya dan menekan kacamata hitamnya. Asa mencoba menyadarkan dirinya, Ia merasakan keningnya agak panas tanda bahwa bola itu mengenainya dengan kecepatan tinggi. Setelah beberapa detik Ia berusaha untuk dudul, "Gak papa Mbak?" Tanya pelayan yang masih berdiri disebelahnya, Ia memasang wajah khawatir. Asa menggeleng, "Aku baik-baik saja."

Asa bisa melihat kaki seorang pria berjalan ke arahnya, kepalanya masih sedikit pening. Ia lalu membuka kacamata hitamnya. "Maaf, sekali kami tidak senga—- Asa." Suara itu sangat dikenalnya. Asa menengadahkan kepalanya sambil masih memegangi kening, "Jaka." Giginya berbunyi saat Ia menutup mulutnya. Jantungnya berdegup kencang, dan Ia merasa aliran darahnya mengalir ke kepala. Penuh amarah. Ia menciba menenangkan diri, mengatur nafasnya yang memburu, mengerjapkan matanya dan mengepalkan jemarinya.

"Oh, aku pikir itu salah kami," kata suara lain.

Asa melihat ke arah suara kedua dan melihat itu adalah salah satu pemain bola ditepi pantai. Wajahnya terlihat sedih dan bersalah. Asa memberikan senyumannya, "Tidak apa-apa." Jaka lalu memberikan bola itu, "Ini bolanya." Pemain bola itu tersenyum lalu menunduk meminta maaf sebelum kembali ke tepi pantai.

"Tidak apa-apa?" Tanya Jaka yang tiba-tiba sudah duduk di kursi sebelah Asa. Asa menggeleng, "Tidak aku baik-baik saja."
Asa berusaha membuang muka, namun bagaimanapun Ia adalah Jaka, kekasihnya selama empat tahun. Asa sangat memgenali sosoknya, rambut lebatnya yang selalu dibelah tengah. Tubuh tinggi kurusnya, kulit putih mulusnya, jemarinya yang panjang dan kehangatan telapak tangannya. Wajahnya sedikit berisi, pipinya menggoda Asa untuk mencubitnya, dan hidungnya yang mancung mengingatkan Asa bagaimana Ia begitu mengaguminya.

"Liburan?" Tanyanya lagi. Asa menatap pantai berusaha menjaga agar tidak melihat matanya. "Hmm bukan, aku ada urusan."
"Pernikahan Jennie bukan?" Tanyanya. Asa menoleh ke arannya, "Kamu tahu?"
Ia menarik tangannya keatas, "Tentu saja aku tahu. Aku tidak diundang dan aku tahu penyebabnya." Asa tak menggubrisnya.
"Kamu gak nanya aku lagi apa?"Jaka menatap Asa. "Gak." Jawab Asa singkat.
Jaka lalu menatap Asa dari atas sampai bawah dan Ia merasa risih. "Kamu semakin cantik."
Asa tertawa sinis, "Oh Tuhan Jaka, apa maumu?"
"Gina meninggalkan aku Asa." Katanya lirih.
"Lalu?"
"Aku sungguh menyayanginya, namun dia tak kuat dengan omongan orang tentangnya."
Asa tersenyum kecut, "Oh dia punya perasaan juga?"
"Ayolah Asa, dia juga temanmu bukan?"
Asa memelototi Jaka, "Kamu gila atau gimana?"
Wajah Jaka menjadi muram, "Entahlah mungkin sebentar lagi aku gila."
Ia masih Jaka yang Asa kenal, wajah muramnya menyedihkan. Jaka lalu menatap Asa, "Jadi, bisalah kita berdamai Asa."
"Maksudmu apa?" Asa mengerutkan alisnya.
"Berdamai, misalnya dengan kamu mengajakku ke pernikahan Jennie besok."
Asa melangkah mundur, "Oh Tuhan kamu memang gila."
Ia lalu membalikan badannya berjalan menjauhi Jaka menaiki tangga tebing menuju hotel. "Asa tunggu." Jaka berteriak dan Asa mempercepat langkahnya menaiki tangga yang curam.
"Asaa." Semakin keras suara Jaka semakin cepat langkah Asa.

Tak lama, langit menjadi gelap dan bunyi gemuruh petir begitu keras. Asa melangkah lebih lebar. Tiba-tiba ketika ada kilatan petir, Asa tak bisa menjaga keseimbangannya dengan sendal jepit yang Ia kenakan, dan Ia terguling ke belakang dengan teriakan kaget. Seolah hari ini tidak bisa lebih buruk lagi, Ia langsung menabrak Jaka yang membuatnya kehilangan keseimbangan juga, dan mereka berdua terjatuh ke pasir.

Asa bahkan tidak punya kesempatan untuk berlari karena mereka terjerembab ke pasir pantai dan Asa bisa merasakan darah mengalir dari keningnya.

Yang bisa Ia rasakan hanyalah nyeri diseluruh tubuhnya lalu matanya terasa gelap.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 09, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Between Lie and SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang