Bab 4

258 30 16
                                    

Asa menatap keluar hujan semakin besar, sedangkan piring mereka sudah kosong. Fadil mengambil gelas air putihnya, meminumnya dengan pelan lalu tersenyum memancarkan kepuasan. Bahkan Ia mensyukuri segelas air putih. Sungguh langka. "Kamu mengemudi kesini?" Asa memulai pembicaraan tahap ketiga mereka, di progress kencan ada beberapa tahap pembicaraan. Tahap pengenalan terjadi saat memesan menu, lalu tahap kedua saat mereka menikmati santapannya, biasanya apabila tidak cocok maka pembicaraan akan langsung berakhir di tahap dua. Tapi kali ini Asa tidak mau ini berakhir, dan Ia memulai tahap ketiga dengan natural.

Fadil menggelengkan kepalanya, "Aku tadi sudah bilang kalau aku naik MRT bukan?" Ia mengerutkan alisnya. Asa menutup mulutnya dengan tangan, "Ah iya maafkan aku. Aku terlalu bingung mencari bahan pembicaraan. Dasarnya aku bukan makhluk sosial yang biasa melakukan hal seperti ini."

Fadil begitu dekat, tersenyum melipat tangan dimeja. "Kalau begitu aku anggap itu tanda kamu tidak bosan mengobrol denganku?"
"Ada yang bosan mengobrol denganmu?" Tanya Asa.
Ia kembali tertawa, "Oh Tuhan kamu sungguh menarik. Lebih baik kita memesan dessert."

Fadil memanggil pelayan meninggalkan Asa bertanya-tanya, mereka baru bersama kurang lebih 60 menit tapi Fadil sudah memujinya sebanyak tiga kali. Dan ini moment yang cukup langka. Walau Asa tahu bahwa secara fisik dirinya cukup menarik, tapi menurut beberapa orang kepribadiannya membosankan.

Asa menyendok puding caramelnya dan mengunyahnya dengan pelan, aroma tubuh Fadil begitu menenangkan. Aroma daun teh yang baru saja terkena air hujan. Fadil menghabiskan puddingnya dengan cepat lalu meletakan sendoknya, "Sepertinya hujan tidak akan berhenti dalam waktu dekat." Asa mengangguk dengan sendok dimulutnya lalu menelan secara cepat, "Ya sepertinya begitu. Apa kamu terburu-buru?"

Fadil menggelengkan kepalanya, "Tidak, jadwal mengajarku sudah selesai pagi tadi."
"Oh ya, kamu bilang kamu mengajar. Di hari sabtu?"
"Ya, Senin-Jumat aku bekerja di rumah sakit. Bagaimana dengan jam kerjamu? Aku punya teman yang juga dokter anastesi, hidupnya sungguh berantakan." Fadil melirik ke arah Asa yang wajahnya sedikit masam. "Ah maafkan aku."

Asa mengigit bibirnya, "Ya itu benar, aku harus selalu siap sedia kapanpun. Aku juga PNS jadi tanggung jawabku lebih besar." Fadil mengangguk, "Kamu tidak menyadari kalau kamu luar biasa? Kenapa kamu mau kencan buta dengan orang sepertiku? Aku menjamin banyak Dokter yang mau denganmu." Ia menatap Asa dengan dalam sehingga Asa merasa mata Fadil menusuk keningnya.

Sambil tersenyum Asa tahu yang dikatakan Fadil benar, "Masalahnya tidak sesederhana itu. Bagiku sebuah hubungan harus tanpa pamrih, bagaimanapun statusnya, pekerjaanya dan keluarganya. Menikah hanya sekali aku mau dengan orang yang menyukaiku apa adanya bukan yang melihat profesiku ataupun hal lainnya." Asa berhenti sejenak menyingkirkan gelas kosong yang didepannya menatap Fadil, "Lihatlah bagaimana kamu bereaksi saat mengetahui aku seorang Dokter. Nilaiku langsung bertambah bukan? Bahkan kamu belum melihat bagaimana diriku yang sebenarnya."

Fadil tersipu, "Itu benar. Tapi itu hal yang natural bukan?"
"Ya itu hal yang natural, tapi aku tak mau dinilai dari semua itu. Aku mau dinilai dari diriku yang sebenarnya." Asa menghela nafas, "Aku terlalu lelah dinilai dari hal lain yang bukan diriku sendiri."Ia bersender ke sofa menatap hujan disertai petir.

Mereka terdiam sebentar, Fadil menatap Asa dengan dalam sepertinya Ia memikirkan sesuatu. Ia lalu menatap hujan deras yang membuat kaca disebelah mereka berembun. "Ramalan cuaca menyebutkan akan hujan sampai jam dua siang."
"Hah?" Asa terkejut, "Benarkah?"
"Ya. Sepertinya kita terjebak disini." Jawab Fadil.
Asa memandangi hujan lebat itu, "Ya sepertinya."
"Atau kamu mau naik MRT denganku?" Tanyanya.

"Oh aku---" Terdiam Asa berpikir cepat, mereka sepertinya saling tertarik dan memiliki tali koneksi mengatakan Ia membawa mobil akan merusak koneksi itu. "Kamu arah kemana?"
"Aku tinggal didekat Rasuna, agar dekat rumah sakit."
"Oh aku tinggal daerah sini. Biar aku menunggu hujan reda saja."

Fadil terdiam lalu kembali duduk tegak, "Mau aku temani?"
Asa menatapnya, bagaimanapun Ia tak bisa berbohong pria didepannya sungguh menarik dan memiliki pesona sendiri. Dia begitu dewasa namun tetap menyenangkan. Dan dia belum mengetahui siapa keluarganya. Ia lalu mendekatkan kepalanya, "Kamu mau menemani?"

Fadil tersenyum kembali memperlihatkan lesum pipinya, " Baiklah bagaimana kalau kita saling jujur. Ini sebuah kencan buta bukan? Apakah kamu mau bertemu denganku lagi?"
Asa menaikan dagunya, "Aku menunggu jawabanmu dulu."

"Aku mau mengenalmu lebih dekat." Fadil mengatakan kalimat itu dengan penuh keyakinan. Asa bersender lalu tersenyum, "Aku juga mau bertemu denganmu lagi."

Mereka saling memandang dan tersenyum. Tak lama kemudian, matahari mulai mengintip dari balik awan dan hujan berangsur-angsur menghilang.  Fadil menatap jendela, "Sepertinya langit memeprmainkan kita. Kamu diamlah disini aku akan kedepan."

Asa melirik profil Fadil saat berjalan ke arah kasir. Ia tidak menyusulnya bagaimanapun membayari kencan buta sebuah kebanggaan bagi seorang pria. Ia begitu jangkung dan kurus beberapa orang mungkin akan menganggaonya terlalu kurus tapi Asa menyukai tipe pria seperti Fadil. Ia tidak suka pria berotot yang suka ke Gym atau yang terlalu memikirkan apa yang ia makan. Dia sempurna, entah berapa kali Asa mengatakan hal itu pada dirinya sendiri.

Fadil kembali duduk didepannya. "Terimakasih," kata Asa sambil tersenyum. "Sama sama." Mereka saling menatap, tanpa canggung memperlihatkan ketertarikan satu sama lain. Dan Asa tahu sesuatu terjadi di dalam hatinya.

Between Lie and SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang