Bab 7

252 29 14
                                    

Asa menatap whatsapp nya, proses pengenalan kali ini cukup berbeda. Ia tidak merasakan posesifnya seorang lelaki menanyakan kabarnya setiap hari. Ia juga tidak mendapatkan perhatian berlebihan seperti dikirimi bunga. Tidak ada gombalan berlebihan juga darinya. Asa tahu Fadil cukup sibuk dan Fadil juga tahu Asa sangat sibuk. Fadil hanya menanyakan apakah Ia sudah pulang, atau apakah Ia tidur dengan cukup. Asa juga membatasi dirinya menanyakan hal yang cukup penting saja. Mereka juga tidak saling memaksa agar pesannya langsung dibalas, satu atau dua jam delay adalah hal normal.

Sesungguhnya ini baru pertama kali bagi Asa merasakan hubungan dengan pria dewasa. Ia sebetulnya memiliki nilai delapan dan sangat mengherankan bahwa Ia harus melalui tahap kencan buta untuk mendapatkan pasangan. Beberapa kali pertanyaan itu muncul dikepala Asa namun Ia berusaha menghilangkan semua kecurigaan itu. Fadil tidak punya social media, dia hanya punya sebuah linked-in dan beberapa jurnal. Asa sempat melihat namanya menjadi mahasiswa S2 namun dengan status Drop Out. Ia ingin menanyakan hal itu kepada Fadil saat bertemu nanti.

Pesan whatsapp terakhir adalah mengenai kencan mereka nanti malam, Menonton film thriller disebuah mall di Jakarta Pusat yang tentu saja dilewati MRT, Asa juga punya pertanyaan mengapa Ia begitu menyukai menaiki MRT.

"Asa." Suara penuh semangat itu terdengar dari pintu Restorant, Asa menatap seorang perempuan dengan wajah otentik Tionghoa yang berjalan ke arahnya. Ia berdiri, "Jessie." Mereke saling berpelukan. Jessie adalah salah satu temannya saat kuliah, saat sudah berjanjian dengan Fadil, Jessie menelpon Asa meminta bertemu untuk menyerahkan undangan pernikahannya dan bertemu di tempat yang sama akan lebih praktis. Jessie salah satu teman baik Asa, Ia kuliah kedokteran umum di Indonesia sebelum melanjutkan Spesialis Bedah Plastik di China. Wajahnya selalu ceria, tanpa beban dan memancarkan kebaikan hatinya. "Apa kabarmu?" Tanya Jessie.
Asa duduk sambil merapikan dressnya, "Baik tentu saja Aku baik."
Jessie menatapnya, "Aku turut prihatin."
Asa menggertakan giginya, "Sudah hampir dua tahun. Sudah selesai Jessie."
Ia mengepalkan lengannya, "Mereka tidak hanya menipumu, mereka menipu kita semua. Erland, Sinta, Kelly, Ryan. Semua mendukungmu Asa."
Menyentuh lengan Jessie, Asa tersenyum. "Sudahlah."
"Tidak, ini tidak bisa hanya menjadi 'sudahlah'. Aku tidak mengundang mereka."

Disaat yang sama pelayan datang dan Jessie masih berapi-api menggerutu sambil memesan lemon squash dan sepotong croissant. "Undang saja, bagaimanapun mereka temanmu." Asa tersenyum. "Aku sudah baik-baik saja."
"Kalau kamu baik-baik kenapa kamu tidak pernah berkumpul lagi?" tanya Jessie. "Aku tahu kamu sakit sekali Asa."
Menelan ludahnya, Asa menghabiskan Es Kopi digelasnya. "Aku hanya butuh ruang. Itu saja."
"Apakah ruangmu sudah cukup luas? Sekarang kamu bisa bernafas lagi?"

Asa melipat tangannya didada, Kejadian dua tahun lalu yang membuatnya tak bisa bernafas. Sudah lama Ia tak mau membicarakan hal ini lagi namun semua hal harus dihadapi. Asa memiringkan kepalanya, "Sepertinya ya. Aku sudah bertemu seseorang Jessie."
Jessie membelakakan matanya, "Tell me everything."

Jessie begitu semangat menanyakan mengenai Fadil, Ia bahkan mencarinya secara online. "Sepertinya dia orang baik." Komentar Jessie setelah Asa menceritakan semuanya yang hanya menghabiskan waktu 15 menit. Jessie tipe netizen yang akan langsung menilai dengan jujur. Jessie manatap Asa dengan mata sipitnya, "Tapi kenapa dia belum menikah diusia 35 tahun? Kamu gak bertanya-tanya?"

Apa yang Jessie pertanyakan sama dengan pertanyaan Asa, dan Ia belum tahu bagaimana harus menanyakan itu kepada Fadil. "Ya, aku juga cukup heran. Dia tidak jelek, menarik dan menurutku punya kharisma. Dia juga punya kedudukan sebagai apoteker utama di Rumah Sakit Swasta yang cukup besar, ia juga mengajar politeknik kesehatan. Entahlah apa masalahnya. Oh ya, dia punya adik."
Jessie memajukan tubuhnya kedepan, "Jangan-jangan adiknya bermasalah. Kamu sudah tau apa saja mengenai adiknya?"
"Aku hanya tahu dia seumur dengan kita, tapi selain itu dia belum bercerita lagi. Entahlah dia seperti sangat menjaga hal itu." Asa memanyunkan bibirnya.
"Kamu harus cari tahu Asa. Aku tahu seperti apa dirimu, kamu selalu all out apabila mencintai seseorang. Aku melihat bagaimana kamu begitu tulus mencintai Jaka, dan aku juga melihat bagaimana hancurnya dirimu saat kamu dikhianati olehnya. Jadi sebelum kamu memberikan hatimu, kamu harus tahu dulu semua tentangnya."
Asa terdiam, hatinya masih terasa sedikit perih saat mendengar nama Jaka. Pria yang membuat dirinya hancur berantakan. Jessie terdiam dan terjadu kesunyian sekejap. Jessie menutup mulutnya dengan tangan, "Maafkan aku."
Menatap langit langit mall, Asa membasahi bibirnya. "Aku yang minta maaf, aku bilang aku sudah baik-baik saja tapi ternyata masih ada sedikit bekas luka yang perih saat kamu menyebut namanya. Haaaah ternyata aku memang terlalu lemah." Ia mengenggam tangan temannya itu.
"Selesai tentangku, ceritakan tentang undangan ini." Asa mencoba mengubah suasana yang tidak terlalu menyenangkan ini menjadi lebih cerah.

Jessie menceritakan tentang calon suaminya yang merupakan Pembimbingnya saat spesialis di Cina. Ia expatriat dari Jerman, dan sekarang sudah kembali bekeja sebagai Dokter Bedah di Jerman. Seorang ayah tanpa pernikahan, memiliki seorang anak berusia tujuh tahun. Setelah berpacaran selama setahun calon suaminya membawanya ke Jerman untuk memperkenalkan dengan keluarganya dan langsung melamarnya saat itu juga. Dan sekarang setahun kemudian rencana pernikahan itu terwujud.

"Bali?"
Jessie tersenyum, "Ya, pernikahan pinggir tebing. Ajaklah pria itu." bisiknya.
"Aku akan memastikan beberapa hal sebelum mengajaknya ke acara pribadi seperti ini." Asa menaikan alisnya, "Aku menerima saranmu Jessie, sepertinya aku harus memastikan banyak hal."
"Aku hanya tak mau kamu terluka lagi Asa. Bukan hanya Aku tapi juga Erland, Sinta, Kelly, Ryan. Ingat kita dulu delapan sekawan yang tak terpisahkan. Ya sekarang tinggal enam tapi bagaimanapun kita punya masa lalu yang menyenangkan."
Asa menyetujui hal itu, masa-masa sulitnya saat awal kuliah disupport oleh teman-temannya. Yang selama dua tahun terakhir ini Ia hindari. "Oh ya bagaimana dengan Ayah dan Ibumu sehat? Ale? Dia sudah besar bukan?" Tanya Jesie.

"Ale sudah 13 tahun. Dia mau masuk SMP. Ibu sehat, semakin sibuk dengan Ikatan Istri Dokternya dan Ayah masih praktek dan mengajar." Asa menjelaskannya dengan singkat. "Ah aku rindu masakan Ibumu, dulu kita sering belajar dirumahmu. Sungguh masa yang indah." Jessie menopang kepalanya Ia terlihat memang sangat merindukan masa-masa usia mereka 19 tahun. Dulu semua terasa berat, padahal semua itu belum seberapa.

Tiba-tiba tatapan Asa bertemu tatapan yang dikenalnya. "Fadil." Asa berdiri sambil mendorong kursinya kebelakang. Mereka duduk di arah lorong dalam mall dan Fadil berjalan kearah mereka. Jessie ikut berdiri memutar tubuhnya untuk menatap pria yang dipanggil Asa. Fadil tersenyum memamerkan lesum pipinya. Ia memakai kemeja abu tua dengan rompi rajut abu-abu muda. tubuh kurusnya tertutup rapat oleh berlapis pakaian. Celana kain berwarna hitam keabuan membuatnya seperti eksekutif muda. Dan ketampanannya bertambah 1000%. Asa masih membeku karena terkejut, "Kok udah datang?" Tanyanya saat Fadil melewatinya dilorong. "Ya sudah selesai di Rumah Sakit." Fadil lalu melirik Jessie sambil mengangguk, "Halo."
Asa bingung dan merasa kikuk, "Eh ini temanku Jessie."
Jessie menyodorkan tangannya kearah Fadil, "Jessie."
"Fadil." Ia hanya mengusap jemarinya ke jemari Jessie dan itu membuat Asa tersenyum.
"Silahkan dilanjutkan, aku nunggu diatas ya." Fadil menunjuk eskalator ke arah bioskop. "Eh, kamu gak mau join disini?" Tanya Asa.
"Enggak usah, silahkan dilanjutkan." Fadil tersenyum kepada Asa lalu menolehkan kepalanya ke arah Jessie, "Duluan."

Jessie menatap Fadil lekat-lekat, "Oh ya silahkan." Katanya sambil terus menatap Fadil dari atas sampai bawah. Saat Fadil menaiki eskalator dan mereka duduk kembali Jessie memegangi tangan Asa, "Dia terlalu sempurna untuk seorang pria single berusia 35 tahun. Ikat dia dengan erat."

Asa tertawa kecil, "Kenapa kamu berubah 18o derajat setelah melihatnya langsung? Tadi kamu bilang aku harus berhati-hati." Jessie menarik nafas panjang, "Aku terlalu lemah terhadap pria tampan dan matang." Asa tersenyum, Fadil memang tampan dan dia memang terlalu sempurna. Ia akan memastikan malam ini juga apa yang membuatnya belum menikah sampai usia 35 tahun dan apabila alasannya bisa diterima, Asa akan pelan-pelan memberikan hatinya kepada Fadil dan semoga begitu juga sebaliknya.

Between Lie and SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang