Bab 11

232 60 0
                                    

Asa membuka jas dokternya lalu memasukannya ke dalam loker, hari ini tidak terlalu sibuk. Dan Ia lebih banyak membuat laporan mingguan daripada didalam ruang operasi. Tetap saja bahunya terasa cukup pegal. Hujan turun dari dua jam yang lalu, tidak deras, hanya hujan ringan yang membuat jalanan sangat padat tentu saja. Dari lantai dua belas Asa bisa melihat bagaimana padatnya jalan raya Fatmawati dan bagaimana kereta MRT terus melewatinya setiap lima menit. Mobil dan motor sudah menyalakan lampunya dan beberapa orang berteduh dibawah rel MRT.

Menghela nafas panjang, ruangannya sepi. Memang tidak banyak pasien yang Ia bawa kesini kecuali untuk konsultasi khusus. Ruangan kecil berukuran 3x2 meter ini hanya berisi meja kecil dan sebuah tempat tidur pasien tidak seperti ruangan Dokter lainnya yang penuh dengan alat canggih. Asa mempercantik ruangan dengan bunga mawar hidup yang Ia ganti setiap minggunya agar ruangan membosankannya ini terasa lebih berwarna.

Saat Ia masih membuang waktunya menatap hujan dan jalanan ponselnya berbunyi, Ia mengambil ponsel dari mejanya "Ibu". Asa berpikir sejenak, menimbang antara merejectnya dengan alasan sibuk, atau mengangkatnya dan segera menutupnya dengan alasan sibuk. Setelah beberapa saat Ia memilih mengangkatnya terlebih dahulu karena Ibu akan terus menerornyac apabila Ia tidak mengangkat teleponnya.

"Halo Ibu." Asa berusaha membuat nada tidak tenang.
Terdengar bunyi dentingan piring saat Ibu menjawab, "Halo. Asa, pulang jam berapa?"
Asa mengerutkan alisnya, "Pulang? Ke Bandung? Aku agak sibuk sekarang. Bisa aku telepon lagi?"
"Oh masih kerja? Baiklah. Ibu cuma mau mengabari Ibu sedang ada di Jakarta. Kalau bisa mampirlah ke Hotel."
Setengah terkejut Asa berdiri dari duduknya, "Jakarta???"

Dua jam kemudian. Asa berada didalam lobby Hotel Four Season, Lobby Hotel Berbintang enam adalah sesuatu yang lain. Asa memperhatikan Lobby Indah dengan marmer hitam yang elegant  membentang diseluruh ruangan tanpa sambungan. Lampu emas mekar secara berkala di sepanjang permukaannya seperti bunga eksotis, remang-remang dan bersinar lembut. Seluruh area dilapisi karpet kaya warna merah anggur yang begitu mewah dan di sekelilingnya terdapat sofa empuk berbahan beludru, Asa cukup sering menginap di hotel sebelum Ia bekerja di Jakarta. Namun Hotel ini memang berbeda.

Seorang penerima tamu menoleh ke arah Asa dengan senyum terlatih, dan Asa merapikan kemeja satinnnya.

"Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?" katanya bersemangat.

"Restoran Langham, diarah mana?" Tanya Asa, mata Asa menatap sekeliling. Terlalu banyak lorong disini.

Perempuan itu tersenyum. "Di west wing lantai dua puluh." Ia menunjukan arah, "Mari saya antar."

Asa mengikuti langkah perempuan itu menuju lift. Lalu menatap bayangannya sendiri saat didalam lift. Banyak perubahan dalam dirinya dua tahun terakhir, berat badannya turun 15kg, Ia hanya memiliki lima pasang baju kerja dan lima pasang baju pergi. Ia juga hanya memiliki empat pasang alas kaki. Pikirannya melayang ke rumah, dimana Ia memiliki ruang wadrobe berukuran 5x5 meter yang penuh dengan pakaian dan sepatu. Ia juga punya lemari tas branded yang Ia share bersama Ibu sambungnya. Ia sudah lama tak membuka lemari-lemari itu. Ia sudah lama tidak tidur didalam kamarnya, Ia sudah lama lari dari semua masa lalunya.

Pintu lift terbuka langsung didepan gerbang masuk restaurant, restaurant bergaya penthouse dan interior berwarna merah cerah dengan menu makanan Italia. Asa tahu siapa yang mau makan pasta. "Kakaaaaaaaak." Suara melengking itu bergaung di seluruh sudut restaurant, untung hanya ada beberapa tamu disana. Asa menaruh telunjuknya di bibir, menandakan jangan berisik. Lalu Ia bersimpuh untuk memeluk adiknya yang berlari kearahnya itu.

"Kamu sudah besar." Bisik Asa. Ale memanyunkan bibirnya yang membuatnya semakin terlihat seperti Ayah. "Kakak jarang pulang, sombong." Ia memukuli bahu Asa. Asa mengusap pipi adiknya itu, "Kakak kan kerja." Wajahnya masih polos dan lugu walau sudah akan masuk SMP. Ibu selalu memperlakukanya seperti bayi, sama seperti Ia memperlakukan Asa. Ale sangat tampan, karena Ia memiliki rambut Ibu yang lurus bukan rambut Ayah yang ikal. Wajah Ayah juga tampan, namun rambutnya yang berantakan dan mimiknya yang terlihat ingin memarahi orang membuat ketampanannya berkurang jauh.

Between Lie and SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang