Bab 8

239 1 6
                                    

Fadil tak banyak bicara saat mereka menonton, sebelum masuk studio mereka membeli popcorn dan minum. Lalu didalam Ia fokus kepada filmnya, walaupun menurut Asa film thriller ini tidak terlalu menarik. Saat keluar dari studio, Ia hanya mengambil sampah dari tangan Asa dan membuangnya.

"Temanku tadi, Jennie dia menyampaikan undangan pernikahan."
Fadil menjawab, "Kamu bilang tidak punya teman."
Asa tersenyum kecut dan menjawab, "Sudah lama aku tak bertemu dengannya."
Dia melanjutkan untuk bertanya kepada Fadil,  "Apa kamu terganggu?"
Fadil meletakkan ponselnya kedalam saku celana dan memberi tahu Asa, "Kamu tidak bilang padaku ada janji yang lain. Apakah ini sebuah rahasia?"
Asa mengerutkan alisnya, "Tentu bukan."
Fadil bertanya, "Apakah dia teman kuliahnu?"

Asa menjawab, "Ya, sejak tingkat satu. Dia melanjutkan kuliah di China. Dulu Ia sering datang ke rumah bersama teman yang lain. Mengerjakan tugas kuliah"
"Tugas mahasiswa kedokteran. Aku bahkan tak bisa membayangkannya."
"Ya untung ada teman-temanku itu, kamu dulu berdelapan." Asa berdehem.
Fadil bertanya,"Lalu kenapa kalian hanya berdua?"
Pembicaraan mereka terhenti saat mereka melangkah ke dalam lift, kerumunan orang mengepung mereka.

Saat pintu lift tertutup, Asa mengamati wajah orang-orang di dalam dan hampir semua pasangan. Ada yang terus berpegangan tangan. Ada juga yang berswafoto. Ada yg tertawa kecil sambil berbisik sedangkan Fadil berdiri didepannya dengan acuh.

Beberapa menit kemudian, lift tiba di lantai delapan. Lift sudah kosong dilantai 6 tempat parkir terakhir. Lantai delapan lokasi restorant dimana Fadil sudah membookingnya. Mereka diarahkan duduk dengan kursi di ruang yang agak bersembunyi. Hanya berisi meja untuk dua orang . Asa kagum dengan lampu kristal indah yang membuat suasana ruangan semakin mewah, kursi dengan bahan bludru biru tua, meja kayu jati tanpa ukiran dan tatanan piring serta gelas yang sangat rapi. Fadil mengambil menu dari pelayan yang sudah berdiri disana sebelum mereka datang. "Apa kamu sudah menentukan pilihan?" Tanya Fadil. Asa mengigit bibirnya, melihat gambarnya saja air liurnya sudah menetes. Tapi gilanya disini tak ada harga yang tercantum. Asa berpikir cepat, "Pasta, aku minta aglio olio." Harga pasta tidak akan melambung terlalu tinggi. Fadil menutup menunya, "Samakan saja. Aku minta mineral water dan espresso."
"Aku ice coffee, black ya" Asa menyerahkan menunya pada pria muda itu.

Asa menatap jalanan yang masih ramai di jam sepuluh malam. Entah kenapa Fadil terasa dingin. Asa menggertakan giginya, "Kamu marah?"
Fadil memasang wajah masam, "Untuk apa?"
"Entahlah kamu terasa dingin." Asa menyandarkan tubuhnya.
Fadil melakukan hal yang sama, Ia memejamkan matanya menengadah ke langit-langit. "Entahlah Asa, ini terasa aneh. Sudah lama aku tak seperti ini."
"Maksudmu?"
Fadil menatap Asa, "Ada perasaan marah dalam diriku saat melihat kamu bersama temanmu tanpa memberitahu aku. Kamu mengerti? Bahkan temanmu itu perempuan bukan laki-laki. Ah entahlah." Ia menggaruk kepalanya.

Asa terdiam menatap pria itu, lalu memberanikan diri memegangi jemarinya yang tergeletak diatas meja. Fadil tersentak lalu menatapnya, "Aku menyukaimu Fadil." Kata Asa sambil tersenyum, "Sungguh dan aku tak malu mengatakan perasaanku ini karena aku tahu kamu juga menyukaiku." Asa merasakan jemari Fadil mengenggam jemarinya. "Asa." Suara Fadil meringis. Asa mencoba berbicara dengan nada tenang, "Namun aku belum tahu banyak tentangmu. Begitu juga sebaliknya bukan? Jadi bagaimana kalau kita jalani semua ini sambil saling mengenal."

Fadil tersenyum, "Mengapa kamu mengambil semua kalimatku?" Asa memanyunkan bibirnya, "Aku bisa baca pikiranmu sekarang." Celotehnya.

Tawa Fadil begitu renyah, Ia lalu menarik tangan Asa dan menciumnya. "Kalau begitu apakah kamu mau jadi kekasihku Asa?"

Asa mengangguk sambil tersenyum, "Tentu saja."
Tawa dan senyum Fadil sudah kembali dan pembicaraan mereka tentang teman-temannya. Asa menceritakan ke lima sahabatnya sedangkan Fadil menceritakan ketiga sahabatnya. Fadil melihat jam tangannya, "Jam sebelas. Sebaiknya kita pulang. Kamu keberatan naik MRT? Apa kita naik taxi." Asa terdiam ini kesempatan yang baik untuk bertanya. "Maaf aku mau sedikit bertanya. Apa kamu tidak bisa menyetir?"
Fadil membasahi bibirnya, "Ya aku tidak bisa."
"Hah betulkah? Kamu mau aku ajari?"
Fadil tertawa, "Kalau aku mau menyetir aku pasti sudah diajari teman-temanku."
Asa mengerutkan alis, "Lalu?"
Sambil menggelengkan kepalanya Ia berkata, "Aku tidak mau."
"Apa kamu keberatan kalau aku yang menyetir?" Tanya Asa.
"Kamu punya mobil?" Tanya Fadil.
Asa panik, "Bukan begitu. Aku suka meminjam mobil temanku. Kalau ada urusan penting atau lainnya. Kalau suatu waktu aku yang menyetir bagaimana?"
"Tidak masalah." Fadil memanggil pelayan untuk membayar bill. Dan pertanyaan Asa sudah terjawab.

Mereka turun ke lobby dan Fadil memanggilkan taxi untuk Asa. Ia lalu mengarahkan Driver ke apartement Asa. Fadil lalu meminta Asa membuka jendelanya, "Kabari aku. Kabari tentang apapun yang kau anggap aku perlu tahu. Dan jangan bermain dengan pria lain."
Asa tersenyum lalu berbisik, "Kamu juga jangan macam-macam. Karena aku terlalu menyukaimu dan kamu harus bertanggung jawab."

Asa kemudian mengecup pipi Fadil dan dengan segera menutup kacanya. "Jalan Pak." Asa meminta driver segera berjalan. Dari kaca belakang Taxi, Asa bisa melihat Fadil masih berdiri disana memegangi pipinya dnegan wajah bersemu merah. Dan saat itu Asa yakin bahwa pria itu menyukainya.

Between Lie and SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang