Part 14

76 6 0
                                    

*Happy Reading*

"Gimana keadaannya?" tanya Davin, saat akhirnya bisa menyusul Naga dan Renata ke rumah sakit.

Sebenarnya di dekat sekolah mereka ada sebuah klinik 24 jam. Namun, Naga tetap memilih melarikan Nesya ke rumah sakit karena ingin yang terbaik untuk gadis itu.

"Udah di tangani. Tapi masih belum sadarkan diri." Renata yang memberi jawaban. Karena Naga seolah tak perduli pada kedatangan temannya itu. Dia tetap fokus pada Nesya yang masih terbaring tenang di atas brankar.

"Kenapa begitu?"

"Mungkin karena obat anestesi juga. Soalnya sudut kening Nesya ternyata ada luka. Cukup dalam dan harus di jahit."

Davin hanya bergumam saja tanda mengerti. Setelah itu mendekati Naga dan menepuk bahu kawannya tersebut seraya menaruh tas milik ketiga orang itu yang sengaja ia bawakan dari sekolah. Serta jaket Naga pada sang pemiliknya.

"Gimana si bangsat?" Masih ada amarah dalam suara Naga. Bahkan pria itu seolah tak sudi menyebut nama Venus lagi.

"Di skors."

"Berapa lama?"

"Seminggu."

"Ck, kenapa nggak langsung di keluarin aja, sih?" keluhnya kemudian. Meski begitu, tatapannya masih tak teralihkan dari Nesya yang masih saja terlelap. Lalu suasana pun tiba-tiba hening.

Sebenarnya kondisi Nesya tak terlalu parah. Masih bisa di tangani di ruang UGD saja. Namun, karena Naga orang berduit. Bahkan anak pemilik rumah sakit tersebut. Ia pun meminta Nesya di tempatkan di ruang khusus. Sekaligus jaga-jaga kalau misal teman-temannya malah menyusul.

Naga tak ingin kehadiran teman-temannya yang tak sedikit itu, sampai mengganggu pasien lain. Makanya dia terpaksa menggunakan sedikit kuasanya untuk mendapatkan perlakuan istimewa. Tinggal nanti ia harus pandai-pandai mencari alasan pada sang Mama, yang memang tak pernah suka jika anak-anaknya menggunakan hal itu seenaknya.

Mama Arletta memang mendidik keras anak-anaknya, untuk selalu merendah dan tidak bersikap arogan seperti anak orang kaya umumnya.

"Eh, eh, guys. Liat, deh. Tangan Nesya bergerak!" seru Renata tiba-tiba, setelah entah berapa jam keheningan menyelimuti.

Naga dan Davin yang memang memilih duduk di sofa tak jauh dari brankar, gegas menghampiri kala mendengar ucapan Renata. Dan benar saja, mereka memang melihat jari jemari Nesya mulai bergerak. Ketiga orang itu pun menatap wajah Nesya penuh harap.

Perlahan tapi pasti, mata itu pun akhirnya terbuka. Membuat mereka semua lega luar biasa. Renata bahkan sudah mencengkram lengan Davin saking senangnya.

"Ka-kalian siapa? A-aku di mana?"

Degh!

Euforia yang sempat muncul pun seketika sirna. Berganti dengan raut bingung di sertai resah yang kembali hadir. Ketiga orang itu saling lempar pandangan.

"Nes, lo nggak inget kami?" tanya Renata. Nesya diam saja.

"Ya, ampun. Jangan-jangan dia kena amnesia gara-gara benturan tadi." Renata berseru panik.

"Cepet panggil dokter! Cepet!" Renata memukul Davin dan Naga bergantian. Lalu ketiga orang itu malah jadi kalang kabut sendiri. Bingung mencari tombol emergency di kamar itu saking paniknya.

Renata yang menemukan tombol itu pertama kali pun gegas meraih benda tersebut. Bersiap menekan jika saja tangannya tidak di tahan Nesya.

"Canda. Serius amat sih, lo?" Nesya terkekeh pelan menatap Renata.

Diam-Diam BucinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang