Bab 18

35 6 0
                                    

[Udah nyampe rumah, Ga?]

Untuk pertama kali dalam hidup Nesya, dia menghubungi seorang pria selain saudara, di luar kepentingan sekolah atau jualannya.

Nesya mendesah berat setelah mengirimkan chat barusan. Bukan ingin sok akrab apalagi gatal pada Naga. Dia hanya ingin mengatakan sesuatu.

Tring!

Naga membalas tak sampai lima menit. Sepertinya, pria itu sedang senggang saat ini dan memang tengah memegang ponselnya.

[Belum]

Jawaban khas Naga sekali. Singkat dan padat.

Tring!

Baru akan membalas, ternyata Naga mengirimkan chat susulan.

[Balikin mobil dulu]

Ah ... sampai lupa. Renata bilang, demi membawa Nesya ke rumah sakit Naga memang sampai meminjam mobil temennya. Entah siapa itu. Tetapi mengingat soal mobil, Nesya kembali mendesah panjang kala mengingat pula bagaimana sang kakak tadi mengomel perkara Naga dan mobilnya.

"Bego lo! Harusnya yang kayak tadi lo pepet terus. Kan mayan itu bisa lo manfaatin buat antar jemput gratisan. Gue juga bisa pinjem nanti-nanti buat nongkrong sama temen. Meski kayaknya mobilnya nggak terlalu mahal, sih, penting punya mobil. Bisa naikin gengsi itu. Ah, jangan lupa sama hp-nya. Mupeng banget gue sama tuh hp. Pokoknya ya, Nes. Lo harus pepetin dia. Tapi awas! Jangan jadian sebelum gue bolehin!"

Mata Nesya memejam erat mengingat omelan kakaknya. Segitu mobil pinjaman yang Naga bawa, kakaknya udah menekannya sedemikian rupa. Gimana kalau sang kakak tahu siapa Naga sebenarnya? Bisa budek kuping Nesya di rong-rong setiap hari.

Ah, sialan! Kenapa sih, Nesya harus punya kakak seculas Tama?

Tring!

Bunyi notifikasi membuyarkan lamunan Nesya. Melirik layar depan ponselnya, terdapat notifikasi lanjutan dari Naga.

[Kenapa?]
[Ada yang ketinggalan di mobil]

Nesya menepuk kening pelan saat menyadari jika dia lupa memberikan balasan tadi. Gegas saja Nesya mengetik apa tujuan awalnya, agar Naga tak salah paham.

[Enggak, kok]
[Cuma mau mastiin aja lo udah sampe rumah apa belum?]
[Sekalian gue juga mau minta maaf]

Nesya mengigit bibir bawahnya tanpa sadar, menunggu balasan dari Naga.

[Untuk?]

Balasan Naga muncul dengan cepat. Namun, seperti biasa, sangat singkat. Tidak masalah, meski begitu Nesya mengerti kok maksud chat itu.

[Untuk kakak gue]
[Sorry, ya? Lo pasti nggak nyaman sama ocehannya, kan?]
[Tolong jangan masukin hati ya, Ga. Dia emang gitu]

Nesya mengirim chat itu dengan hati yang malu sekali. Malu pada kelakuan Tama, yang seenaknya dan tak punya sopan santun.

[Ok]

Meski Naga menjawab demikian. Nesya tetap aja nggak nyaman. Dia takut Naga jadi ilfeel padanya dan menjauh seperti yang sudah-sudah.

'Ah, Nesya. Apa yang lo pikirin? Bukannya bagus kalau Naga menjauh. Hidup lo pasti akan kembali tenang seperti dulu' Nesya mengingatkan dan menyemangati dirinya sendiri.

[Thank's Ga]
[Kalau gitu selamat malam, selamat istirahat]

Naga
[Ya ...]
[Good night too, Nesya]

Nesya menonaktifkan ponselnya setelah mendapat balasan dari Naga. Meletakan ponsel itu pada nakas, lalu merebahkan tubuhnya yang lumayan lelah. Namun, tiba-tiba sesuatu terasa mengganjal dari balik tubuhnya. Saat di cek, ternyata itu dasi seragam milik Naga, yang belum sempat ia balikin tadi. Bukan nggak sempat sebenarnya, tapi lupa. Keburu di debat Tama soalnya.

"Besok harus gue balikin," ucapnya seraya memandang lekat benda itu, dan perlahan tertidur tanpa ingat mengganti seragam yang masih ia kenakan.

***
Sementara Nesya sudah mulai memasuki dunia mimpi, di belahan bumi lainnya seorang pria terlihat menatap datar layar ponsel yang sudah tak menunjukan balasan lagi.

"Ga?" Sebuah panggilan menginterupsi. Membuat pria tadi, yang tidak lain adalah Nagata Putra Hardikusuma lantas memasukan ponsel mahalnya pada saku jaket yang tengah ia kenakan.

"Gimana kondisi Nesya? Masih di rumah sakit atau udah pulang?" tanya pemuda yang tadi menginterupsi, seraya duduk di sebelahnya. Marlo namanya.

"Sudah pulang." Naga menjawab seadanya.

Marlo mengangguk paham. Sudah terbiasa dengan cara bicara sang ketua geng, yang memang terkenal irit.

"Terus gimana sekarang? Kalian udah official dong ya ...?" Marcel menggoda Naga seraya memainkan alisnya.

Kali ini Naga tak langsung menjawab. Malah mengalihkan wajah dan menghela napas dalam. "Menurut lo?"

"Loh, kok malah nanya balik? Ya elo tadi udah nembak dia belum?" Marlo mendengkus kesal kesal mendengar jawaban Naga yang kadang memang menyebalkan. Namun, Naga malah diam.

"Lah, nggak jelas banget nih bocah?"

Naga hanya menanggapi dengan menggedikan bahu acuh. Sejujurnya dia pun tengah bingung. Apa yang terjadi beberapa hari ini di luar rencananya. Meski harus ia akui, jika sebenarnya ia pun lumayan terbantu. Dengan begitu, Nesya jadi tahu perasaannya tanpa harus Naga sendiri yang mengungkapkan.

Bukan tidak ingin menyatakan layaknya orang kasmaran pada umumnya. Hanya saja, banyak hal yang Naga pikirkan sebelum melakukan hal itu. Terutama hal-hal yang bersifat demi kebaikan Nesya. Dia tahu siapa Nesya dan bagaimana jalan pikirannya. Karena itulah, selama ini Naga memilih memendam perasaannya sendiri. Lagi pula, Nesya itu juga terlalu bodoh menangkap perhatian lebih darinya.

"Tapi kalau menurut gue, ya? Lo nembak juga udah percuma." Suara Marlo kembali menginterupsi.

"Kenapa?"

"Ya, karena sekarang bukan cuma tim inti saja, tapi semua orang tahu udah tentang perasaan lo sama Nesya."

Benar juga.

"Udah gitu, lo juga nggak pernah bantah gosip itu, kan? Bahkan tadi, sebelum gulat sama si Venus. Lo juga menegaskan hal itu. Makanya ya ... kalau kata gue sih, udah nggak perlu ada acara tembak-tembakan lagi, kalian hari ini udah auto official!"

"Ya, nggak bisa gitu juga!" Seorang lainnya tiba-tiba ikut nimbrung dan menghampiri. Dia adalah Devan. "Lo lupa atau gimana? Cewek kan makhluk yang selalu butuh validasi. Jangan soal perasaan, soal baju mau jalan aja. Musti aja nanya berkali-kali sebelum beneran jalan."

Ini juga benar.

"Iya juga, sih." Marlo pun menggumam paham. "Kalau gitu, lo emang harus nembak Nesya, Ga!" Marlo berubah haluan.

"Emang harus. Lagian, yang kita tahu kan selama ini cuma perasaan Naga aja. Sementara perasaan Nesya sendiri, gimana?"

"Kalau soal itu, sih. Gue rasa nggak perlu ditanyakan." Marlo menyahut riang. "Siapa sih di sekolah ini yang bisa menolak pesona ketua kita ini? Yee kan?" tukas Marlo menyanjung Naga.

"Lah, lo lupa atau gimana? Nesya itu nggak kayak cewek pada umumnya yang suka liat tampang dan isi dompet. Kalau dia kayak gitu, udah dari lama kali dia nerima si Venus. Atau paling tidak barang pemberiannya. Dua tahun, Lo! Dua tahun! Si Venus nggak pernah nyerah ngejar si Nesya. Gue yakin, itu juga alasan si Venus ngereog tadi ke lo, Ga."

Naga mengangguk paham. Begitu pula dengan Marlo. "Ya, terus. Gimana ini jadinya? Nembak atau Nggak."

"Tembak!"

"Nggak!"

Jawab Devan dan Naga kompak. Namun, dengan jawaban yang berbeda. Membuat Marlo semakin bingung di tempatnya.

"Lo nggak mau nembak si Nesya, Ga?" Devan memastikan jawaban Naga yang tadi di dengarnya. Kawannya itu mengangguk membenarkan.

"Loh, kenapa? Bukannya udah kayak gini? Lo masih mau ngumpet atau gimana?" Jawaban dari Naga yang di dengarnya sungguh membuat Devan bingung sekaligus kesal.

Katanya cinta, tapi kok nggak mau nembak. Ngumpet terus!

Cemen!

Diam-Diam BucinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang