I- Jangan bermain bodoh denganku

18 7 29
                                    

'Detektif Jagung sudah lama tak terlihat, kemana generasi emas Terebis menghilang?'

Milian melempar koran itu dari lantai dua penginapan nya, koran itu mendarat di kepala opsir yang kebetulan mendongak untuk mengintip Milian yang menatap tajam kearah nya dari jendela.

"Milian, kita harus bicara!" Opsir itu berkata sambil memungut koran yang tadi menimpa kepala plontos nya.

Milian merotasikan mata coklat muda nya yang pucat. Pun dilapisi lingkaran hitam ganjil di bawah mata. Siapapun mungkin menduga Milian sedang praktek menggunakan arang. Ia menutup gorden dengan sombong. Laki-laki itu menghindar berbagai bentuk interaksi sosial saat ini.

Rambut hitamnya kusut dan mulai panjang hingga mudah di jambak. Milian duduk di sofa rendah sambil menatap langit-langit penuh mahakarya laba-laba hingga ia mendengar engsel pintunya patah.

"Louise, kau gila! Aku belum melunasi biaya penginapan ini dua bulan!" Milian berteriak sebelum jatuh terbaring lemas di sofa. Ia tidak melengkapi nutrisi berhari-hari, berbicara membuat nya seperti akan segera mati tak lama lagi.

Opsir Louise masuk tanpa repot-repot membuka sepatu karena debu berterbangan seperti badai saat pintu terhempas terbuka. Opsir Louise menarik kursi dari meja makan, kursi itu tidak bergeser berhari-hari dari tempat nya hingga jejak bersih tempat terakhir kali kursi itu berdiri terlihat mengkilat.

"Kau mau mati disini tanpa di temukan?" Louise mendesah frustasi sambil melempar baretnya ke tubuh Milian yang berbaring memunggunginya. Udara musim panas di Terebis benar-benar agak gawat, ruangan tak seberapa besar yang ditempati Milian pengap dan apek tanpa ada satupun ventilasi udara yang dibiarkan terbuka kecuali pintu yang tadi patahkan Opsir Louise.

"Milian! Kau mirip bangkai sekarang, lihatlah dirimu!" Louise melipat tangan di depan dada, mulai jengkel dengan pria dua puluh tiga tahun yang bersikap kekanak-kanakan dengan mengurung diri dari peradaban seperti ini.

"Kau bukan ayahku jadi kau tidak berhak." Milian berkata, suaranya sedikit teredam karena ia menguburkan wajah di sela-sela sofa kempes itu.

"Aku bisa menyeret mu sebagai aparat keamanan sekarang juga," Louise membalas.

"Dan aku juga bisa melaporkanmu karena merusak properti warga sipil," sanggah nya.

"Milian, aku bisa menenggelamkanmu di sungai Diech, kau tahu?"

"Dalam perjalanan kesana, aku sudah pasti bisa dengan mudah kabur bahkan sebelum sehelai rambut di kepalamu tumbuh."

Louise mendesah keras. Berdebat dengan orang pintar adalah bunuh diri.

"Kita harus bicara serius, Milian."

"Beginilah aparatur negara berbasa-basi dan kabur dari argumen bodoh yang mereka mulai, kau-"

"Milian!" nada Louise meninggi beberapa oktaf, nada yang tidak nyaman karena bergema di seluruh tembok.

Milian diam, ia bahkan seperti menahan nafasnya. Louise mengerang dan bersandar pada kursi sebelum menarik nafas.

"Milian. Yuan Hikai meninggal tiga hari lalu, kasus bunuh diri biasa sampai di temukan kartu di dalam lengan mantel korban. Kau-"

"Pergilah, kau tidak bicara hal seperti itu dengan ku," Milian menyela dengan cepat sebelum perlahan bangkit. Lantai kayu berderit menerima bobot pria jakung yang kurus itu.

"Milian!" Louise terdengar hampir memohon sekarang.

"Apa gunanya detektif resmi jika kau terus datang padaku." Milian membuka pintu bolong itu dan menelengkan kepala untuk menunjukkan kemana arah Louise harus pergi.

Death WishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang