XII: Sangkar Emas

6 6 22
                                    

Eurosia melepaskan blazer nya dan topi tinggi nya, melipat blazernya dan meletakkannya di lengan kursi dan topi tingginya di ujung kursi.  Ia tak percaya bahwa ia akan kembali ke tempat ini, tempat dimana ia pernah dibesarkan sebagai laki-laki dan bekerja sebagai perempuan di malam hari.

Waktu-waktu itu berkelebat di otaknya dengan cepat ketika suara anak-anak berlarian di lapangan keropos penuh tawa hambar dan kekosongan sebelum dipaksa mengangkat ember dan menyiram kotoran keledai di jalanan seperti seharusnya ia dulu.

Eurosia mengalihkan pandangan, menatap Johanken yang sibuk melinting tembakau nya sambil bersenandung. Eurosia mengeluarkan kartu nya dan mencelupkan ujung kartu ke dalam teh yang masih mengepul.

"Aku tidak pernah mencoba meracuni mu." Johanken buka suara.

Eurosia menatap ujung kartu yang tidak berubah warna sebelum mengangkat kepala untuk menatap nya. "Siapa yang tahu?"

"Aku ingat ketika kau masih seumuran mereka." Johanken berhenti melinting dan menatap anak-anak dengan pakaian lusuh itu saling mengejar satu sama lain.

"Setidaknya keadaan seperti ini lebih baik daripada dulu. Rupanya kau sudah tobat." Eurosia menyilangkan kaki dan bersandar pada kursi sambil bersedekap.

"Eu-rosia Mority Magreta."

"Magreta itu tidak usah kau sandingkan lagi."

Johanken tertawa hingga memperjelas kerutan-kerutan di wajahnya. Ia menyodorkan linting tembakau yang ia buat sesempurna mungkin pada Eurosia.
"Bibi pengasuhmu itu meninggal karena sakit."

"Sepertinya kau akan menyusul." Eurosia mengambil linting tembakau itu dan mengapitnya dengan bibir, mencondongkan tubuh ketika Johanken berinisiatif membakar ujung tembakaunya. Eurosia kembali bersandar pada kursi sambil meniup asap ke udara.

"Kita semua akan mati, Eurosia."

Memento Mori." Eurosia terkekeh sarkas sambil menghisap rokok nya. "Lalu apa harapan kematian mu?"

"Agar kau berhenti menjadi Eu-rosia yang seperti ini."

Eurosia berhenti menghisap rokok nya, ia menurunkan nya dari bibir dan menatap Johanken lekat-lekat. "Kau pikir aku tidak tahu kau juga mendanai rumah bordil De lune karena begitu mencintai ibuku. Kau mematahkan kakinya agar ia tidak bisa lagi berdansa dan melacur di sisa hidupnya."

"Ibumu itu seperti merpati cacat yang sangat indah."

"Aku lelah bermain-main, Johanken. Apa kau yang membunuh Yuan Hikai?"

"Ada bagian yang tidak kau tahu, anakku." Tangan Johankan terangkat untuk menyentuh helai rambut Eurosia. "Berapa usiamu sekarang? Dua puluh bukan?"

Eurosia menepis tangannya. "Kau benar-benar berdelusi untuk memiliki anak dengan ibuku. Padahal kau mandul." Sudut bibir Eurosia terangkat. "Bagian mana yang tidak ku ketahui?"

Eurosia mencondongkan tubuh dan menggebrak meja hingga teh yang disajikan untuk mereka berdua bergetar dan terombang-ambing. "Aku ditinggal mati ibuku di usia lima tahun. Walaupun kau memungut ku seperti bangkai. Kau tidak akan bisa menjadi sosok ayah."

"Aku menyelamatkanmu." Johanken melipat tangan di atas pahanya sendiri sambil menghela nafas.

"Supaya kau bisa membunuhku."

"Aku menemuimu untuk memperingati mu, Eu. Berhentilah membicarakan masa lalu."

Eurosia mencebik dan bersandar lagi pada kursi dengan kasar, menaikkan kaki ke atas meja setelah menyapu bersih semua yang ada di atasnya. Bubuk tembakau berterbangan dari balkon, derai gelas porselen yang bertebaran di bawah meja seperti karya mozaik dan tumpahan teh itu sebagai tintanya.

Death WishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang