Tidur Mary sama sekali jauh dari kata nyenyak. Bahkan, ia tak sempat berganti baju semalam. Sepertinya memang semesta sengaja membuatnya begitu, karena matahari bahkan baru muncul tatkala pecahan nyaring itu menusuk pendengaran si gadis.
Hal yang pertama Mary lakukan adalah loncat dari kasur. Refleks membawanya berlari ke ruang makan tanpa membawa apa pun selain kemeja putih dan celana coklat tartan yang melekat di badan. Nyaris ia terjatuh di anak tangga terakhir, namun sekelebat bayangan tertangkap oleh mata kelabunya.
Pasti itu penyebab suara keributan pagi ini.
Mary langsung mengejar sosok yang entah siapa—atau apa. Sosok itu berlari ke taman belakang. Tak hanya dia sendiri rupanya yang mengejar, Ms. Adaline juga. Maid berambut ungu itu begitu kencang berlari hingga ia bisa menangkap sosok itu lebih dulu.
Pemuda itu tersandung akar. Tubuhnya yang kurus kering langsung meringkuk, jelas menguarkan aura kewaspadaan. Racauannya tak dapat ditangkap oleh otak Mary yang masih dalam proses transisi ke dunia nyata. Gores merah di atas kulit pucat pada lengan lelaki itulah yang membuat kesadaran si gadis mungil langsung berkumpul sempurna.
Sejujurnya, walau sudah satu dekade berlalu dari masa perang, darah adalah pemandangan yang Mary benci. Tentu saja ia jeri melihat darah yang mengalir. Masalahnya, ia tidak mengenakan jas atau apa pun yang bisa dipakai untuk menutupi luka. Alas kaki pun ia lupa mengenakan—ia baru sadar saat sensasi luka lecet menjalar ke tubuh.
Perempuan bermata kelabu itu merogoh saku celana dan hanya menemukan sapu tangan mungil di dalam sana.
Yah, Mary memang bukan dokter, tapi dia punya insting. Ia langsung meraih bagian tangan si pemuda yang terluka dan menekan-nekan dengan sapu tangannya. Ia mengerjap saat menemukan mata sosok itu.
Kelabu, seperti milik Mary.
Wajah itu sekurus badannya, dengan bercak tanah dan janggut tipis berantakan. Matanya berwarna abu buram sementara bibirnya kering dan pecah-pecah. Sosok itu langsung mengerang tatkala tangannya yang tak terluka ditarik oleh Ms. Adaline.
Mata almon Mary menatap si pemuda dan Ms. Adaline bergantian. Pemuda histeris dan gadis kebingungan.
"Kau kenal?" Mary bertanya dalam suara beratnya. Seharusnya Ms. Adaline belum tahu kalau ia wanita—kecuali Harold membocorkan hal itu.
"Tidak." Ms. Adaline menggeleng.
Luka di tangan manusia ringkih yang tampak awut-awutan itu masih tampak mengenaskan dan sapu tangannya sudah setengah merah, tapi setidaknya sudah tidak mengalir separah tadi. Sayatan di lengan membuka kotak pandora lain di kepala gadis berambut brunette itu.
Darah. Darah. Yang mengalir di lantai rumahnya, berasal dari tangan—
Bukan waktunya kenangan buruk menguasai akal. Bibir tipis Mary digigit keras-keras oleh si empunya, berharap dengan itu fokusnya beralih.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] The Ambiguous Reporter - RP NPC 2023
غموض / إثارة[Mystery] 1926. Mary kira, dengan menjadi Mario Mitford, ia tak lagi diremehkan. Hidupnya sudah ada di titik nyaman sempurna sejak Perang Dunia I berakhir. Pekerjaan sebagai reporter dan identitasnya sebagai seorang lelaki sudah cukup membuatnya hid...