[2] Strawberry

1.3K 80 9
                                    

Rafael memandang Kanaya di sampingnya dengan penuh perhatian. Kanaya tengah konsentrasi saat mengemudi, mengantarnya ke rumah baru yang akan ditempati selama beberapa bulan ke depan. Bukan karena tidak memiliki rumah, tetapi kedua orang tua Rafael sedang berada di Belanda untuk beberapa urusan, dan Rafael merasa tidak nyaman tinggal seorang diri di rumah. Oleh karena itu, keputusannya sudah bulat, ia akan tinggal di rumah sahabatnya, Gabriel.

Berbeda dengan sudut pandang Kanaya yang merasa gugup setelah menyadari bahwa sahabat kakaknya memperhatikannya. Itu hari pertama Kanaya bertemu dengan Rafael, meskipun ia tahu bahwa kakaknya berteman baik dengan si atlet, Kanaya tak terlalu memperdulikan hal itu.

Namun, hari ini adalah hari di mana ia harus menjemput Rafael setelah Gabriel yang tiba-tiba tidak bisa melakukannya. Kanaya merasa sangat gugup dan Gabriel sepertinya tidak menyadari betapa tegangnya Kanaya. Suasana canggung diantara mereka tidak dapat dihindari.

Di tengah alunan musik dari radio yang mengalun, tiba-tiba ponsel Kanaya berbunyi. Sementara Kanaya kesulitan mengambil tasnya, Rafael dengan sigap mengambil handphone dari dalam tasnya dan memberikannya kepada pemiliknya. "Thank you," ucap Kanaya dengan senyuman.

Kanaya menjawab panggilan tersebut dengan sopan, "Halo." Setelah itu, ia menambahkan, "Maaf ya, aku gak bisa dateng hari ini. Gimana kalau kita pergi besok aja? Besok waktu aku kosong kok, kamu bisa jemput aku." Ujar Kanaya kepada seseorang yang berbicara melalui telepon dari lokasi yang berbeda.

Tidak lama kemudian, sambungan telepon terputus. Kanaya kembali meletakkan ponselnya ke dalam tas, dan pada saat yang sama, mereka tiba di rumah. "Yuk! Aku bantuin turunin barang-barang kamu," kata Kanaya sambil tersenyum. Perempuan itu memang suka tersenyum kapanpun dan kepada siapapun.

Rafael dan Kanaya bersama-sama menuju pintu bagasi yang sudah terbuka. Meskipun langit terlihat mendung, hujan yang sejak tadi dikhawatirkan ternyata belum juga turun.

Sepertinya alam hanya bermain-main dengan bumi, menahan hujan dari kedatangan mereka. Sejak Kanaya menjemput Rafael, gerimis saja yang menemani perjalanan mereka. Itu sebabnya tak heran jika mereka memutuskan untuk keluar tanpa membawa payung. Omong-omong, barang bawaan Rafael tak terlalu banyak, hanya satu koper besar dan beberapa kantong. Namun tetap butuh bantuan dari Kanaya kan?

"Your friend?" tanya Rafael tiba-tiba. Kanaya terkejut dengan pertanyaan itu, "Hah?" Kanaya tidak mengerti. "Someone called you earlier." lanjut Rafael sambil terus mengamat-amati Kanaya dengan cermat. Anehnya, Kanaya malah terpesona. "Ah, that's my friend, he's my friend," jawabnya dengan senyum tipis.

Rafael hanya mengangguk singkat tanpa berkata apa-apa dan masuk ke dalam lingkungan rumah. Ia meletakkan barang-barangnya di depan pintu sebelum pintu besar itu terbuka, dan Gabriel datang menyambutnya. Keduanya berbicara, sementara Kanaya hanya terdiam, memperhatikan bagasi yang kini sudah kosong. Rafael telah membawanya semua, entah mengapa bisa begitu.

Kanaya tebak ia tidak akan bisa menikmati waktu liburannya selama beberapa bulan ke depan. Kedatangan Rafael tampaknya akan memiliki dampak besar pada kehidupan Kanaya.

---

"Huft," Kanaya menghela nafasnya berat. Kesadarannya sudah mencapai batas, hingga kepalanya sudah disandarkan ke meja. Kanaya tak bisa lagi bergerak. Dia mabuk, hanya karena tidak sengaja menelan minuman keras rasa stroberi. Rafael yang sejak tadi memperhatikan perempuan itu mulai merasa khawatir. "Is she okay?" ucapnya sambil menoleh ke arah Gabriel.

Rafael merasa sedikit bersalah karena kedatangannya tampaknya membuat Kanaya agak kacau. Tapi sebenarnya, dia tak bisa menahan senyuman melihat betapa menggemaskannya Kanaya. Eh, apa?

Maksudnya Kanaya jadi terlihat kelelahan.

"It doesn't matter, she's actually not that strong with alcohol," ujar Gabriel sambil menikmati potongan ayam yang baru saja ia beli.

Untuk merayakan kedatangan Rafael, mereka memesan ayam goreng Korea dan mendapatkan satu botol minuman beralkohol berasa stroberi. Namun, dengan polosnya, Kanaya justru menghabiskan setengah botol tersebut hingga akhirnya tidak sadarkan diri.

"Kakak, kakak," Kanaya bergumam dengan suara lirih, kepalanya terasa begitu berat dan wajahnya sudah merona. Gabriel terkekeh mendengar ucapan adiknya yang lucu itu, yang terus bersikap konyol. Minuman alkohol rasa stroberi, apakah benar-benar bisa membuat adiknya mabuk? Oh, stroberi? Sungguh?

Gabriel tetap memandangi layar TV di depannya, mereka sedang menonton sebelum akhirnya ia menyatakan, "Rafael belajar ngomong pake bahasa Indonesia dong." Rafael menghela nafasnya dengan rasa lelah, "I've tried my best." Jujur saja, Rafael merasa lelah harus menjadi sorotan berulang kali ketika lagu Indonesia Raya diputar di stadion. Dia masih belum hafal, tolong.

Sebenarnya Rafael sudah mengerti beberapa kalimat dalam bahasa Indonesia. Ia dapat memahami ketika orang lain berbicara. Namun, Rafael masih kesulitan dalam merespon dengan bahasa Indonesia. Saat ini ia sedang berada dalam proses pembelajaran.

Gabriel sempat tertawa mendengar jawaban dari sahabatnya. "Dahlah, aku mau ke toilet sebentar. Jagain Kanaya dulu ya sebentar." Tak lama kemudian, Gabriel bergerak dari tempatnya dan berjalan ke atas, meninggalkan Rafael dan Kanaya di lantai bawah.

Rafael, yang merasa bingung karena ditinggalkan, hanya bisa diam sambil memperhatikan Kanaya yang kepalanya masih terbaring lemah di atas meja. Rafael sebenarnya ingin mengabaikannya, tetapi begitu melihat Kanaya dalam keadaan seperti itu, dia sungguh merasa khawatir. Benar-benar khawatir.

"Kakak," Kanaya bergumam dengan lirih, terus-menerus memanggil kakaknya dengan suara yang samar. Mendengar panggilan itu, hati Rafael semakin terketuk. Ia bangun dari tempatnya dan mendatangi Kanaya dengan lembut. "Kanaya," panggilnya.

Rafael bingung, ia bingung harus melakukan apa lagi. "Hey, Kanaya," Rafael mencoba membangunkan Kanaya dengan mengangkat kepalanya dari atas meja. Pada saat itu, pipi Kanaya sudah memerah karena telah lama menerima tekanan yang berlebihan.

"Kanaya," panggilnya sekali lagi. Kanaya merasa terusik dan tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya ke arah Rafael, bersandar pada dada lelaki itu sambil bergumam dengan kata-kata yang tak jelas. Hal tersebut membuat Rafael merasa panik. "Ka-Kanaya," pikirnya, bukan seperti ini yang dia harapkan. Rafael tidak ingin mengambil kesempatan dari situasi yang sulit ini.

Rafael merasa gugup, ini kali pertama ia berada sedekat ini dengan seorang perempuan. Perempuan asing yang baru saja ia kenal. Batinnya dipenuhi dengan umpatan, mencerminkan betapa tegangnya dan perasaannya yang tidak dapat ditahan lagi untuk menyentuh tubuh Kanaya.

Tiba-tiba, Kanaya mengangkat wajahnya. Pipinya yang memerah dan rambutnya yang berantakan terlihat jelas di mata Rafael. Jarak dekat di antara mereka memungkinkan Rafael untuk melihat dengan jelas tatapan sayu dari kedua mata Kanaya. "Can you give me a hug..." gumam Kanaya, sambil tersenyum lagi.

Mengapa perempuan itu terus tersenyum sejak tadi? Apakah dia tidak menyadari bahwa senyuman seperti itu mampu meruntuhkan pertahanan seorang lelaki? Keadaan Kanaya yang berantakan menambah kesan tersendiri bagi Rafael.

Rafael terdiam, perlahan ia mengangkat tangan. Dengan keajaiban, jari-jarinya yang lentik merapikan rambut Kanaya yang menutupi wajah cantiknya. Rafael tidak melepaskan tatapannya, mata lembut itu terus bersinar di sana, mata yang penuh dengan perasaan yang asing, lalu ia kembali bertanya, "What kind of hug do you want, Kanaya?"

The Overlooked ChaptersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang