[3] Mind Games

1K 70 0
                                    

Kanaya terkekeh pelan, "My father said that no one should hug me except my family," ucapnya dengan senyum ringan sebelum kembali menundukan kepalanya. Nafasnya keluar dan masuk dengan teratur.

Dengan mata yang penuh rasa ingin tahu, Rafael menjawab, "If you have a boyfriend, can't he hug you too?" Entah mengapa, dia merasa penasaran dengan kehidupan Kanaya. Perempuan itu dengan misteriusnya semakin membuatnya penasaran.

Sekali lagi, Kanaya menghela nafas panjang. Kali ini, dia tidak berani mengangkat kepala, hanya menunduk dengan lembut sambil bersandar pada dada Rafael. "Huh? Maybe it's okay?" Kanaya menjawab dengan hati-hati, suaranya samar.

"I think I'm going to fall as-" Kalimat itu terputus, Kanaya sudah kehilangan tenaga. Kala itu juga, Rafael tak mampu menahan senyuman yang mengintip di bibirnya. "I should have told you from the start, you shouldn't fall asleep like this when I'm curious about you," bisiknya dengan nada penyesalan.

"Is she sleeping?" Suara Gabriel merobek keheningan, langkah kakinya terdengar terburu-buru mendekati tempat Kanaya. "Ehm, should we move her to her room?" Tanya Rafael, masih bertahan sebagai sandaran bagi Kanaya.

Gabriel mengangguk pelan, "Here, I'll move her." Tidak sulit baginya untuk mengangkat Kanaya. Tubuh Kanaya yang terlalu kurus membuat semuanya menjadi lebih mudah. "Ugh, she just can't kick those unhealthy eating habits," gumam Gabriel terdengar oleh Rafael.

"What do you mean?" tanya Rafael dengan heran. Rafael mengikuti langkah kaki Gabriel yang tengah membawa Kanaya ke kamar tidur di lantai dua. "Her long-standing bad habits," jawabnya singkat, terlalu malas untuk menjelaskan kenangan buruk itu lagi.

Tak ingin menjelajah info kehidupan Kanaya lebih lanjut, Rafael menggenggam keingintahuannya yang merayap. Ia merasa tidak cukup dekat untuk bertanya sedemikian rupa, bukankah itu tidak sopan? Terlebih lagi, Rafael tahu betul bahwa perempuan seringkali memiliki banyak rahasia yang mereka simpan.

"Kakak," Kanaya melirik lagi, pegangannya pada baju Gabriel semakin erat, seakan-akan ia takut terjatuh. "Iya," jawab Gabriel gemas. Tingkah manja Kanaya yang jarang sekali ia jumpai. Hari demi hari, Kanaya semakin terkena dampak kedewasaan dunia, dan Gabriel tidak pernah siap saat sang adik harus pergi meninggalkannya.

Tibanya di kamar, Gabriel segera meletakkan Kanaya dengan lembut di atas kasur dan merapatkan selimut dengan erat di sekitarnya. Seperti pelindung setia yang menyelimuti malam gelap, selimut tersebut merangkul tubuh Kanaya dengan kasih sayang yang mendalam.

Beruntung, Kanaya telah diam, tidak memanggil Gabriel. Sehingga Gabriel bisa keluar dari kamar, membiarkan adiknya beristirahat dengan tenang.

"Tidur sana," usir Gabriel kepada temannya yang menunggu di luar kamar. Malam itu akan menjadi malam pertama Rafael tidur di rumah Gabriel. Rafael sudah mendapatkan kamar sendiri, kamar tamu yang masih sangat layak pakai itu menjadi pilihan yang baik.

"Can I sleep with you?" Canda Rafael sambil terkekeh renyah dan mendapat hantaman pelan di punggung. Tidak heran Rafael merasa asing, kamar pemilik rumah berada di lantai dua dan kamarnya berada di lantai satu di rumah yang megah itu. "Shut your mouth, Rafael," umpat Gabriel, sambil mengacungkan jari tengah yang membuat keduanya tertawa.

Semua orang tertidur dengan lelap pada malam itu, menikmati keindahan malam untuk beristirahat dengan tenang. Mimpi-mimpi tak terduga menyapa mereka, termasuk Kanaya yang memimpikan kedatangan seorang lelaki yang memberikan warna baru dalam hidupnya, menjadikannya pribadi yang paling bahagia di seluruh dunia. Dalam mimpinya, Kanaya berlari di tengah padang rumput yang luas, sambil meraih awan-awan yang turun ke bumi. Ia tengah menggengam tangan seorang pria, berlari bersama dengannya, hingga akhirnya Kanaya merasakan pelukan hangat yang membuatnya merasa begitu damai.

Ah, sebenarnya ada satu rahasia lagi, bahwa mimpi semacam itu juga bisa mengganggu seorang lelaki yang tengah berusaha tidur dengan lebih tenang. Dahinya mengerut berkali-kali, namun bibirnya terus tersenyum tak bisa dihentikan. Seandainya kalian dapat melihat mimpi orang lain, mungkin kalian bisa melihat betapa bahagianya Rafael bersama Kanaya di suatu kehidupan yang tak terduga, yang membuat mereka merasa seolah-olah berada di surga. "Kanaya," gumamnya dengan lembut.

---

Siapa yang akan menyadari bahwa pagi itu Kanaya bangun terlambat? Entahlah, mungkin tidak ada yang akan tahu. Hari itu, Kanaya terbangun agak terlambat. Biasanya ia bangun jam 6, tetapi kali ini ia terbangun jam 8 dengan seluruh tubuhnya terasa kaku dan bau alkohol.

Oh ya, Kanaya sudah mengingat semua kejadian memalukannya. Beruntung, Gabriel membantunya kembali ke kamar. Kanaya tidak bisa membayangkan betapa malu jika ia berkelakuan lebih aneh di depan Rafael. Tamu yang sangat dihormati dan disayangi satu negara itu akan sangat terkejut melihat tingkah aneh Kanaya yang diluar nalar.

Pagi itu, dengan semangat yang membara, Kanaya yang sudah mandi dan berpakaian rapi bersiap-siap untuk keluar dari kamar. Ia bermaksud berkunjung ke kamar Gabriel untuk berpamit kepada kakak tersayangnya. Kanaya ingin pergi bersama temannya, William, yang telah meneleponnya kemarin. Kalian masih ingat kan? Kanaya membatalkan janjinya dengan William karena harus menjemput Rafael.

Kini perempuan itu melangkah dengan semangat yang tinggi, mungkin karena istirahatnya sudah lebih dari cukup, sehingga energinya kembali pulih. Saat dalam perjalanan menuju kamar Gabriel, terdengar alunan musik yang mengalun dari dalam kamar. Gabriel memang senang mendengarkan musik sejak pagi, tak heran jika rumah mereka sering diwarnai dengan berbagai jenis kebisingan. Setibanya di sana, tanpa ragu, Kanaya membuka pintu kamar Gabriel dengan riang, senyum cerah terukir di wajahnya, dan ia berseru, "Kakak!"

Naas, yang dilihatnya bukanlah Gabriel. Di depan matanya sendiri, terpampang tubuh bagian atas Rafael yang terbuka telanjang. Rafael baru saja selesai mandi, dan hanya ada penampakan itu di depan Kanaya. Tanpa menunggu lama, Kanaya dengan cepat menarik kembali gagang pintu untuk menutup ruangan tersebut. Nafasnya terengah-engah, matanya membulat, dan jantungnya berdebar-debar. Tidak seorang pun yang akan menduga penampakan seperti itu yang harus dilihat oleh Kanaya.

Belum sempat ia kembali menutup pintu, tubuh Kanaya terhuyung ke dalam dan didorong dengan keras ke pintu. Ia sangat terkejut, hingga tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Matanya hanya berdenyut ketakutan, bahkan lebih tepatnya, ia merasa malu sampai ke tulang sumsum. "What are you doing?" Tanya Rafael dengan suara yang agak merendah. Dari nada yang terdengar, lelaki itu tampak sangat marah hingga membuat bulu kuduk Kanaya berdiri tegang.

'Baby, there's another side that you don't know, you don't know'

Kanaya terdiam, belum mampu memproses apa pun, ketika tubuhnya ditekan oleh tubuh Rafael yang masih basah. Tetes demi tetes air dari rambut Rafael jatuh ke wajahnya. Setelah itu, keduanya sama-sama terdiam, berkomunikasi lewat pandangan, sembari merasakan irama musik yang terus berputar tanpa henti.

'I can't wait to get you all alone, all alone'

"K-kak Gabriel...," bisik Kanaya, mencoba menjelaskan secara singkat tujuannya datang sambil terus menatap mata Rafael dengan penuh kehati-hatian, tak berani memalingkan pandangannya dari Rafael, sebab sorot mata Rafael memaksa dia untuk tetap terjaga.

'Once I'm in, there ain't no letting go, letting go'

Rafael menghela nafas dalam-dalam, menyadari bahwa tindakannya telah membuat gadis pemalu itu ketakutan. "Sorry, I freaked out, thinking you were some kind of stalker. I'm sorry, Kanaya," ucap Rafael sambil melepaskan pegangan Kanaya, ia mundur perlahan dengan rasa bersalah yang membebani dirinya.

Sekali lagi, Rafael tidak memiliki niat untuk berbuat seperti itu. Ia hanya belum terbiasa dengan kehadiran seorang perempuan yang begitu dekat dan melakukan kontak fisik dengannya.

"Kanaya, I'm really so-," kata Rafael terpotong. Kanaya memotongnya dengan cepat, "No worries, my bad for bothering you!" Tanpa kata-kata lebih lanjut, Kanaya melarikan diri. Wajahnya memerah tidak terkendali. Kanaya merasa sangat malu. Sungguh sangat malu.

There's another side that you don't know, you don't know, Kanaya. You will never know.

The Overlooked ChaptersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang