[10] Lighters

836 61 7
                                    

"Ah, this is for your girlfriend, right?" bisik Kanaya lebih dalam lagi, suaranya hampir tenggelam dalam getaran kegelisahan yang memenuhi dadanya. Dia berusaha menyembunyikan rasa canggungnya, berharap Rafael tidak menangkapnya.

"What about this one? I like this." Rafael menunjuk salah satu tas, tidak menyadari bahwa itu adalah pilihan Kanaya sebelumnya. "Nice, isn't it? Seems like the latest model," balas Kanaya sambil mundur beberapa langkah. Seperti mencoba untuk menjaga jarak antara mereka. Ada sesuatu yang aneh, seperti sebuah ketidaknyamanan yang tak terucapkan.

"Okay, that's all. I'll go to the cashier," ucap Rafael sambil menunjukkan tas yang dipilih kepada pegawai. Sementara Rafael sibuk dengan pembayaran, Kanaya duduk di sofa, memutar-mutar pikirannya yang kacau, mencoba untuk menenangkan diri.

Tindakan impulsifnya membuatnya bertanya-tanya. Mengapa dia begitu ceroboh? Mengapa dia tidak bisa mengendalikan perasaannya sendiri? Dan mengapa dia begitu tergila-gila pada Rafael, padahal Rafael jelas memiliki kekasih?

Ah, Kanaya tak tahu, kebingungan merajalela dalam dirinya. Dia tidak ingin membenci Rafael, tapi dia juga tidak ingin membenci dirinya sendiri. Apakah dia harus marah pada Rafael? Apakah dia harus marah pada dirinya sendiri? Kanaya menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk mengendalikan dirinya sendiri. Dia bangkit dari tempat duduknya, langkahnya tergesa-gesa saat dia meninggalkan toko, mencari udara segar untuk meredakan kegelisahan dalam dirinya

Dalam hatinya, dia berbicara kepada dirinya sendiri, meminta maaf atas kelancangannya dan ketidaksadarannya. Dia merasa seperti segalanya menjadi semakin rumit, dan dia tidak tahu apa yang seharusnya dia lakukan.

"Bodohnya..." Lirih Kanaya, matanya terasa berat karena air mata yang hampir jatuh. Entah mengapa, rasanya sakit sekali.

"Kanaya," suara lembut Rafael memanggilnya, memecah keheningan yang menyelimuti. Kanaya berbalik dan mencoba tersenyum, walaupun hatinya masih teriris

"Take this," ucap Rafael sambil menyerahkan sebuah paper bag besar berisi tas yang mereka beli tadi. "Sorry?" Kanaya terkejut, matanya menatap tangan Rafael dengan kebingungan.

"I said, take this. You chose it, right? I wanted to buy it for you."

Hanya dalam sekejap, Kanaya menyadari maksud di balik tindakan Rafael. Tanpa bisa menahan lagi, air mata pun mulai mengalir dari matanya. "Kak Rafael...." suara Kanaya tercekat oleh tangisnya yang pecah.

Melihat reaksi Kanaya yang tiba-tiba, Rafael merasa panik. "Eh? What's wrong with you? Hey, don't cry." Rafael melihat sekeliling, khawatir bahwa mereka menjadi perhatian orang-orang di sekitarnya. Dia tidak ingin dicap sebagai sosok jahat yang membuat perempuan menangis.

"Kanaya, why? I'm sorry. Don't you like the bag? We can still buy another one if you want." Rafael merasa bingung, tidak mengerti apa yang salah. Mengapa Kanaya menangis? Apakah dia yang membuat Kanaya menangis sekarang?

Kanaya masih terisak, wajahnya memerah dan air matanya terus mengalir. Sekarang Kanaya membenci Rafael. Rafael membohonginya dan Kanaya membencinya. Namun entahlah, Kanaya sendiri bingung ia harus marah karena Rafael membohonginya atau senang karena atau Rafael berbohong tentang pacarnya itu.

"Kanaya, please don't cry. I'm sorry, I wanted to buy you the bag because your bag was broken yesterday, right? I didn't know which one to buy so I said it was for my girlfriend." Rafael menjelaskan, berusaha membuat Kanaya mengerti. Ia tidak berbohong. Ketika mereka berdua pergi bersama kemarin, tanpa sengaja ada seseorang yang menyenggol Kanaya, sehingga tas perempuannya terjatuh dan tergores beberapa baretan yang terlihat dengan jelas.

Rafael mengerti bahwa bagi sebagian besar perempuan barang yang rusak kadang tidak akan dipakai lagi karena merusak penampilan. Dia ingat saat Kanaya bercerita bahwa tas itu diberikan oleh Gabriel, dan Rafael ingin memberinya yang baru. Terlebih lagi, tas itu rusak saat Kanaya sedang bersamanya kemarin. Jadi Rafael yang seharusnya bertanggung jawab.

"You don't like the bag? I can buy a more expensive one if you want. Which one do you want, let's buy it now." Rafael yang semakin panik, langsung menggenggam tangan Kanaya dan mencoba menarik perempuan itu kembali masuk ke dalam toko. Namun Kanaya menahannya.

"I-I like it, thank you. I'm sorry, I'm just emotional," jawab Kanaya sambil terisak.

Melihat Kanaya yang lucu seperti itu, Rafael merasa tak kuasa menahannya. Dia mencubit pelan pipi Kanaya, mencoba mengalihkan perhatian Kanaya dari tangisannya sendiri. "Don't cry anymore, Kanaya. You're making me panic," kata Rafael sambil tersenyum.

Kali ini, Rafael kembali menemukan sisi menggemaskan dari Kanaya. Yang pertama ketika Kanaya dalam keadaan mabuk, dan yang kedua adalah saat ini. Kanaya begitu lucu, membuat gejolak dalam hati Rafael semakin tak terkendali. Tanpa disadari, tawa pun pecah dari bibirnya. Rafael cepat-cepat menutup wajahnya dengan satu tangan, berusaha menahan tawa yang menggemas melihat tingkah Kanaya.

"Are you laughing at me because I'm ugly?" Kanaya masih terisak dan ia kembali menangis lebih keras karena Rafael menertawakannya. "Hey, stop!" Rafael mencoba untuk menahan Kanaya agar tidak menangis tapi ia sendiri malah tertawa yang membuat Kanaya semakin mengencangkan tangisannya.

"Kanaya, if you don't stop crying, I'll kiss you. Be quiet, your eyes will swell." Ucap Rafael mencoba untuk serius. Mata Kanaya sudah merah sekarang, ia khawatir lama-lama itu akan bengkak dan menyakitkan. "Kamu nyebelin!" Balas Kanaya kesal bukan main.

"Yeah, yeah, I know, dear. I am annoying. This annoying guy apologizes to you, okay? Stop crying." Rafael menaruh paper bag itu di lantai dan menundukkan kepalanya agar sejajar dengan Kanaya. Kedua tangannya yang lancang mulai mendekap kepala kecil Kanaya dan ibu jarinya menghapus air mata yang terjatuh dari mata indah itu.

Mata Kanaya begitu indah, membuat Rafael terpesona. Dia merasa seperti terhipnotis oleh keindahan mata itu untuk kedua kalinya. "I'm sorry, I won't do it again." Bisik Rafael begitu lembut.

Pernahkah kalian membaca kalimat "He fell first, and he fell harder?" Mungkin di suatu lembaran buku atau di satu foto yang pernah kalian temukan. Mungkin juga, kalimat itu pernah tertulis di episode pertama tentang kisah Rafael dan Kanaya yang pernah aku mulai.

Tentang Rafael yang pertama jatuh cinta dan dia yang jatuh lebih dalam lagi.

———

Rafael William Struick:

Rafael William Struick:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Overlooked ChaptersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang