"Kanaya!" Suara Rafael bergema di rumah yang sepi. Tidak biasanya Kanaya tidak membukakan pintu untuknya. Biasanya, setelah Rafael pulang latihan, Kanaya selalu menyambutnya, tidak pernah sekalipun absen. Namun hari ini, pintu rumah tidak terkunci, dan Kanaya tidak ada.
"Kanaya, I'm home!" Rafael mengeraskan suaranya sambil menelusuri semua ruangan. Raut khawatir terlihat di wajah Rafael. Sambil berjalan ke lantai atas, tangannya telaten mencari kontak Kanaya dan meneleponnya.
Suara nada dering terdengar, membuat Rafael melangkah lebih cepat menuju arah suara itu hingga berdiri tepat di depan pintu kamar Kanaya. Apakah Kanaya tertidur? Namun, tidak mungkin perempuan itu tidak mendengar suara yang begitu nyaring.
"Kanaya? Are you here?" tanya Rafael sambil mengetuk pintu kamar berkali-kali. "Kanaya? Can I come in?" Tidak ada jawaban, tidak ada jawaban apapun dari dalam. Dengan hati-hati, Rafael membuka pintu kamar itu perlahan, hanya untuk menemukan bahwa kamar Kanaya kosong. Semuanya masih terlihat teratur, tidak ada yang mencurigakan. Namun, tiba-tiba, suara dari belakang menyapa, "Kakak ngapain?"
"Ugh!" Rafael terkejut bukan main. Ia segera memutar badannya, dan di sana, terlihat Kanaya yang tampak kebingungan. "Where were you?" tanya Rafael dengan wajahnya yang penuh kekhawatiran.
"Hehehehe, in Gabriel's room!" jawab Kanaya sambil tertawa. Dengan sedikit mendorong Rafael, Kanaya masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil ponselnya yang masih bergetar di atas kasur. "You had me worried, I thought something happened to you in the room. I've been calling you, didn't you hear?" jelas Rafael, suaranya terdengar penuh kekhawatiran, masih berdiri di depan pintu. Dia menunggu Kanaya mendatanginya lagi, karena Rafael enggan masuk ke dalam kamar perempuan itu dengan bau badannya yang bau keringat.
Rasanya aneh baginya untuk mengungkapkan rasa khawatirnya seperti ini, terutama kepada Kanaya. Namun, sejak kapan perasaannya seperti ini? Sejak kapan Kanaya begitu penting baginya? Mungkin karena dia terbiasa dengan kehadiran Kanaya yang selalu menyambutnya dengan senyuman hangat setiap kali dia pulang latihan. Hari ini, ketika dia tidak menemukan Kanaya, kegelisahan itu mulai menghantuinya. Bagaimana jika sesuatu terjadi padanya? Banyak pertanyaan yang mengganggu, sejujurnya.
"You shouldn't leave the door unlocked. What if someone else had entered?" Khawatir Rafael mengundang perhatian dari Kanaya. "Huh?! I didn't lock the door?" Kanaya panik sendiri, matanya membesar saat menyadari kelalaian tersebut.
"Yes. The door was unlocked when I entered." Rafael menggelengkan kepala sambil menghela nafas, namun senyum tersembunyi di bibirnya. Dengan gemas, ia langsung mengacak-acak rambut Kanaya. "Next time, be more careful, okay?" tanya Rafael sambil tersenyum, disambut dengan anggukan dari Kanaya yang masih sedikit canggung.
"Okay, now come downstairs and keep me company!" Rafael menggenggam tangan Kanaya dengan lembut dan membawa perempuan itu turun kembali ke lantai satu. Ruangan Rafael terletak di lantai satu dan ia butuh ditemani. Hanya ada Kanaya di rumah, jadi siapa lagi yang bisa menemaninya selain Kanaya?
"By the way, Mom and Dad won't be back until late. Kak Gabriel won't be back soon either. What do you want to eat? I can make it for you if you want." Kanaya duduk di sofa ruang tamu, menemani Rafael yang berada di dalam kamar tamu yang sekarang pintunya terbuka.
"Anything, I can eat anything. Even you, can I eat you too?" Goda Rafael dari dalam membuat Kanaya langsung menoleh ke belakang dan melempar bantal dari sofa ke dalam kamar. Sayangnya, bantal itu berhasil ditangkap oleh Rafael. Tentu saja, adalah sebuah kebodohan bermain lempar-lemparan dengan seorang pemain bola.
"Mandi sana! Kakak bau banget!" seru Kanaya sebelum ia kembali ke posisi semula dan membuka media sosial. Ia sempat mendengar Rafael tertawa sebelum suara lelaki itu menghilang.
"Pfft," Kanaya tersenyum melihat beberapa video Rafael yang diedit oleh penggemar. Ada juga Rafael yang sedang ditanya 'This or That' oleh beberapa akun fansite. Kadang menyenangkan juga ikut terbawa suasana dan terpikat pesona seorang Rafael Struick dengan alunan musik tentang cinta yang mengajak kita bermimpi.
"Why? Are you also captivated by me?" Suara Rafael kembali, kali ini lebih dekat. Tentu saja dekat, wajah Rafael terang terangan berada di atas Kanaya. Air dari rambut ikal Rafael yang basah jatuh dan mengenai wajah Kanaya. "Are you captivated by me, Kanaya Struick?" Tanya Rafael lagi, mendekatkan wajahnya lebih dekat dengan Kanaya.
Mata Kanaya yang membulat dan wajahnya yang memerah membuat Rafael makin tertantang untuk menggodanya. "Hai sayang?" Goda Rafael semakin menjadi-jadi. "STOP!" Kanaya meraih satu bantal lagi dan mengarahkannya pada wajah Rafael.
"Oh oh oh, do you want to fight, huh?" Rafael mengubah posisi. Ia beralih ke depan Kanaya yang sedang memegang satu-satunya bantal yang tersisa. "I'll throw this at your face! Stop teasing me!" Balas Kanaya terenggah enggah. "Just throw it, I'm not afraid."
Mereka sempat terdiam beberapa detik, saling memperhatikan taktik sebelum akhirnya Rafael berhasil mengunci gerak Kanaya. Sekarang Kanaya terbaring di atas sofa dengan Rafael di atasnya. "You won't be able to beat my speed, Kanaya. But if you want, I can teach you. Hahahaha," kekeh Rafael.
"You're annoying...," suara Kanaya melirik, jarak wajah mereka begitu dekat. Kanaya khawatir bahwa Rafael akan mendengar suara jantungnya yang berdegup kencang. "Yeah, I know, you said it before." Suara Rafael juga ikut memelan.
Lagi-lagi tatapan mata Kanaya yang lembut beradu dengan tatapan matanya yang sayu. Tatapan mereka sama-sama hangat menyebabkan mereka sama-sama terjatuh ke dalam perasaan yang lebih dalam lagi.
"You're gorgeous, kak Rafael. You always captivate me no matter what you do." Jawab Kanaya untuk pertanyaan yang sempat terlontar untuknya tadi.Mereka berdua terhipnotis. "Yeah, I did it on purpose to captivate you," balas Rafael mendekatkan wajahnya semakin dekat.
Kedua mata Rafael mulai menatap bagian wajah Kanaya yang lebih rendah. Satu tangannya terangkat, dan ibu jarinya menyentuh lembut bibir Kanaya sambil terus menatapnya. "Maybe next time, Kanaya. If you let me do it."
———
Woi jangan senyum-senyum woi :)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Overlooked Chapters
FanfictionDalam perjalananku mencintai lelaki itu, hatiku adalah sebuah pintu yang terbuka, sementara hatinya adalah waktu yang terlambat datang untuk menyadari betapa berharganya saat matahari telah terbenam. "You weren't the soul I was searching for." Namun...