[9] Wishes

868 70 8
                                    

Rafael dikejutkan oleh serbuan sentuhan yang mendekatinya. Lelaki yang sedang memegang mixer itu terdiam, merasa terkejut melihat bahwa pasangannya dalam memasak adalah seorang perempuan paruh baya yang masih memancarkan semangat muda.

"Halo, Moms. Tebak saya lagi sama saya moms?"

"Pfft," Kanaya tidak bisa menahan gelak tawanya. Perutnya sakit karena harus menahan tawa sejak tadi, terutama melihat Rafael yang berusaha keras menahan diri untuk tidak kabur dari situ. Hari itu menjadi berharga karena akhirnya Rafael berhasil menarik perhatian dari seluruh ibu di Indonesia.

"Saya lagi sama Rafael Stuirck, moms." kata si tante dengan senyum riang. Rafael, meskipun dengan senyuman terpaksa, menyahut, "Oh, Struick. Rafael Struick," dan wanita itu pun tertawa. "Dia dipanggilnya Rafael Strukik, ya, Moms. Semoga kita semua sehat-sehat ya Moms."

"Strukik ini ganteng banget, Moms, dan tinggi banget calon mantu saya xixixi," tambah wanita itu dengan semangat. Kamera terus berputar, menyoroti wajah Rafael yang terlihat canggung. "Haha, Struick," ucap Rafael sekali lagi sambil memberikan jempol, selalu siap dengan pose andalannya.

"Ganteng banget, Moms..."

"Kanaya," Rafael segera memutar badan saat menyadari ada celah untuk dirinya kabur dari sana, mendatangi meja di mana Kanaya dan William asik menikmati kegiatan mereka. Berbeda dengan meja Rafael dan si ibu narsis yang kacau tak terkendali. Awalnya, mereka seharusnya membuat roti berbentuk bulan, tetapi wanita itu memaksakan kehendak dengan membuatnya berbentuk hati.

"Kanaya..." keluh Rafael, bibirnya terpaut kesal. Terlebih lagi setelah mendengar namanya disebut lagi, "Moms, disitu ada Rafael Strukik yang ganteng."

"Kanaya, please..." panggilannya terdengar penuh kerumitan, memohon bantuan dari Kanaya. "Just stay with me, don't go anywhere," jawab Kanaya dengan tawa kecil, menghiraukan permohonan Rafael. Mereka tinggal menunggu sebentar lagi roti akan selesai dipanggang, dan mereka bisa pulang.

Rafael, akhirnya, memilih untuk bersembunyi di tempat itu. Setiap langkah Kanaya dan William, selalu diikutinya. Rafael sudah menyatakan keinginannya untuk bersama Kanaya saja, tapi William terus saja mengganggunya. Bahkan, Rafael merasa William sangat jahat sekarang.

"Look, your bread is done," ucap Kanaya dengan senyum puas, melihat hasil karya Rafael yang baru saja keluar dari oven. Tanpa ragu, Kanaya mengajak Rafael kembali ke tempat semula dan membantunya.

"Ini, Moms, hasil kerja keras saya sama Strukik," ucap si ibu-ibu sekali lagi, sementara video yang direkam selama dua jam itu terus berputar layaknya vlog yang tak kunjung berakhir. Meskipun begitu, wanita tersebut masih penuh semangat. "Saya lagi baking, Moms, sama anak-anak muda. Sukses Moms,"

"Kanaya, let's proceed. We need to leave now, I can't endure it any longer," bisik Rafael dengan tekad, siap untuk melarikan diri dari tempat yang terasa angker itu. Kanaya tersenyum dan berkata, "Okay, take this and follow me." Ia menyerahkan paper bag berisi roti buatan Rafael, lalu menarik Rafael kembali ke mejanya bersama William setelah memberikan senyuman singkat kepada wanita yang masih asyik membuat vlog "a day in my life".

Tidak lama kemudian, mereka bertiga meninggalkan tempat tersebut, berjalan menjauh dari kerumunan dan masuk ke sebuah toko makeup. "You guys can head to the car first, I want to buy something here."

"Yaudah, sini barang-barang kamu. Aku taruh di mobil dulu, nanti aku kesini lagi," ucap William sambil mengambil alih paper bag milik Kanaya. "Do you want to come with me or?" tanya William kepada Rafael. "Kanaya," jawab Rafael. William kemudian ikut mengambil paper bag Rafael, pergi untuk menaruh semua barang di dalam mobil agar mereka bisa lebih leluasa pergi ke mana saja.

Akhirnya, hanya Rafael dan Kanaya yang tersisa. Kanaya pun fokus mencari barang yang diperlukannya, sadar bahwa beberapa stok di rumahnya telah habis, sehingga tak ada salahnya untuk membeli beberapa hal lagi.

"Prefer this one," tanpa menunggu pertanyaan, Rafael memberikan pendapatnya, Rafael sadar bahwa Kanaya terlihat bingung di antara dua blush yang diperhatikan perempuan itu sejak tadi, jadi Rafael pun ingin membantu, "Okay, thank you," jawab Kanaya tanpa keragu-raguan.

Saat keduanya terus berkeliling, meski sebenarnya tidak ada yang istimewa, namun Kanaya merasa berbelanja seperti biasa menjadi lebih berarti. Kehadiran Rafael memberikan sensasi bahwa mereka diperhatikan dari sekitar. Meskipun beberapa orang enggan mendekat, ada yang berani meminta foto juga.

"You don't want to buy this? You ran out of stock," Rafael menunjukkan sebuah liptint yang biasa dipakai Kanaya. "Ah, thank you! I almost forgot," ucap Kanaya tanpa banyak kata, langsung mengambilnya dari tangan Rafael. Rafael berhasil mengingatnya dengan baik.

Di tengah kesibukan mereka, tiba-tiba Rafael menyampaikan, "Kanaya, actually there is something I want to buy." Kanaya membalas dengan ramah, "What do you want to buy?" merespons permintaan yang jarang sekali terucap dari Rafael.

"Perhaps a bag?" Rafael menggaruk kepalanya, terlihat kikuk dan malu. Tak heran dia enggan mengajak William. Ternyata, Rafael punya sesuatu yang ingin dibeli. "Sure, we can go now. Just wait a moment, I'll pay for it first."

Tak lama berselang, Kanaya membayar dan pergi bersama Rafael ke sebuah brand mewah untuk mendapatkan barang yang diinginkan Rafael. Karena Rafael kurang berpengalaman, Kanaya memberikan panduan dengan menunjukkan beberapa motif.

"Not for me, for a woman," ungkap Rafael lebih pelan, khawatir ada yang mendengar. "Ah, for your mom?" Kanaya baru sadar, memutar arah, dan mencari tas yang cocok untuk ibu Rafael. Kanaya dengan penuh semangat, menyentuh beberapa tas menarik yang menarik perhatiannya, lalu dengan penuh antusias memperlihatkannya pada Rafael, mendorongnya untuk memberikan pendapat.

Namun wajahnya yang semula bersemangat tiba-tiba berubah menjadi datar karena tiba-tiba terdengar suatu kalimat yang membuatnya terkejut bukan main. "Wh-What did you say?" terlontar dari bibirnya dengan ekspresi aneh yang tak terbendung.

Kanaya mendapati kesulitan dalam mengartikulasikan kata-kata yang diungkapkan oleh Rafael dengan jelas. Mungkin disebabkan oleh kejelasan suara Rafael yang kurang, atau mungkin karena Kanaya sedang mengalami kesulitan dalam menerima kenyataan yang baru saja diungkapkan olehnya. Jika diberi kesempatan untuk memutar waktu, Kanaya tidak akan memilih untuk pergi bersama Rafael.

Dalam refleksi dirinya, Kanaya menyadari bahwa dia tidak ingin menimbulkan pertanyaan atau menemukan dirinya di posisi saat ini. Sejenak, dunianya tampak berhenti sebentar, dan tanpa menyadarinya, ada sesuatu yang retak, mungkin sebuah kehampaan, yang membuatnya merasakan ketidaknyamanan.

"I said I wanted to give the bag to my girlfriend, Kanaya."

"She will come here tomorrow."

---

A special update for users with a profile featuring a peeking Panda against a pink background who were looking for me yesterday! "Kuajak kau melayang tinggi dan kuhempaskan ke bumi."

The Overlooked ChaptersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang